Paparkan Akuntansi ala Bugis, 2 Kader Muda NU Sulsel Diapresiasi
Sabtu, 16 Oktober 2021 | 04:00 WIB
Makassar, NU Online
Dua kader muda Nahdlatul Ulama (NU) Sulawesi Selatan (Sulsel) meraih Best Presenter dalam acara Temu Masyarakat Akuntansi Multiparadigma Indonesia (TEMAN) ke-8 tahun, Jumat (15/10/2021).
Keduanya, yakni Muhammad Aras Prabowo yang juga merupakan Dosen Akuntansi di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) dan Ummu Kalsum, Dosen Akuntansi di Universitas Muslim Indonesia (UMI).
TEMAN merupakan program tahunan yang digelar oleh Masyarakat Akuntansi Multiparadigma Indonesia (MAMI) yang berkolaborasi dengan berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Tahun ini, Prodi Akuntansi UMI yang menjadi penyelenggara kegiatan tersebut.
Muhammad Aras dan Ummu Kalsum mempersembahkan hasil riset berjudul Te’seng Accounting: Alternatives in Realizing Sustainable Development Goals (Spradley-style Ethnographic Study of the Bone Bugis Tribe).
Aras, sapaannya, mengungkapkan tujuan penelitiannya itu untuk menggali bagaimana Akuntansi Teseng pada Suku Bugis Bone (SBB) mampu mewujudkan tujuan SDGs. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan paradigma interpretatif dan pengumpulan data ala Spradley, alur penelitian maju bertahap.
“Riset saya dengan Kak Ummu Kalsum berhasil menjawab bahwa Akuntansi Te’seng dapat menjadi alternatif dalam mewujudkan tujuan SDGs. Dikuatkan dengan temuan 11 dari 17 tujuan SDGs mampu dicapai dengan menerapkan Akuntansi Te’seng," bebernya kepada NU Online, Jumat malam.
Temuan lainnya, lanjut salah seorang pengurus PB PMII itu, menegaskan bahwa meskipun Akuntansi Te’seng hanya praktek tradisional, namun mampu memberi kontribusi dan menjadi alternatif pencapaian tujuan SDGs secara global.
Konsep bagi hasil
Aras mengatakan Akuntansi Te’seng merupakan konsep bagi hasil dalam Suku Bugis. Dia mencontohkan, mappateseng sapi, di mana praktik ekonomi ini dalam Suku Bugis Bone, sapi yang menjadi objek ekonomi. Praktik ini dilakukan oleh dua orang. Pihak pertama adalah orang yang memiliki sapi, yang kedua adalah pihak yang matteseng sapi.
“Praktik tersebut tidak memerlukan uang dalam transaksinya, hanya kesepakatan kedua pihak untuk melakukannya. Aturannya pun tidak ribet. Pihak kedua hanya perlu memelihara sapi dari pihak pertama sampai berkembang biak. Ketika sapinya telah melahirkan dua anak, maka salah satu anaknya dibagi pihak pertama dan yang satu menjadi milik pihak kedua,” jelasnya.
Lebih lanjut, Aras merinci, apabila sapi yang di-teseng masih perawan, anak pertama adalah hak pihak kedua (patteseng) sapi. Namun, jika sapinya sudah induk atau sudah pernah beranak, maka pihak pertama (pappateseng) sapi berhak memilih, anak mana yang ia mau ambil.
“Anak sapi dari hasil mappateseng sapi yang diserahkan kepada pihak pertama sudah menjadi tanggung jawabnya untuk memelihara. Itulah hasil dari praktek ekonomi ini,” tuturnya.
Kemudian, kata dia lagi, sapi yang di-teseng akan dikembalikan oleh pihak kedua ke pihak pertama jika pihak yang matteseng sapi tidak ingin melanjutkan lagi. Namun, jika kedua belah pihak sepakat untuk melanjutkan, maka pihak kedua harus memelihara sapi tersebut kembali sampai beranak dua kali dan dibagi sama seperti yang pertama.
“Artinya, dalam matteseng sapi masa pemeliharaannya dianggap berakhir apabila sapi yang di-teseng telah melahirkan dua anak,” terang aktivis PMII Makassar itu.
Namun, berbeda jika objeknya adalah sapi jantan, perhitungan bagi hasil untuk kedua belah pihak diukur dari kenaikan harga sapi tersebut dari harga saat sapi itu diserahkan kepada pihak kedua.
Misalnya, harga sapi tersebut pada saat diserahkan pada pihak kedua adalah Rp. 2.000.000, maka jumlah inilah nilai sebagai harta (sapi) si pemilik dari sapi yang di-appatesengang. Setelah pihak kedua memeliharanya sampai waktu yang telah disepakati oleh keduanya, maka harga jual harga sapi tersebut dinilai kembali untuk menentukan hasil yang akan dibagi.
Misalnya, setelah dipelihara selama 6 bulan, harga sapi tersebut menjadi Rp. 5.000.000., maka cara menghitung hasil yang akan dibagi ke kedua belah pihak adalah selisih antara harga sapi pada saat penyerahan dan harga sapi setelah pemeliharaan selama 6 bulan.
“Jadi hasil yang akan dibagi adalah Rp. 5.000.000-Rp. 2.000.000 = Rp. 3.000.000. Jadi tiga juta inilah yang dibagi dua oleh pihak pertama dan pihak kedua. Sehingga keduanya masing-masing mendapatkan 1.500.000 dari hasil mappateseng dan matteseng sapi," paparnya.
Praktik Ekonomi Islam
Menurut Aras, praktik ekonomi yang terbangun dalam masyarakat Suku Bugis Bone adalah praktik ekonomi Islam. Termasuk praktik ekonomi mappateseng sapi.
Asas kemanusiaan, keadilan, persaudaraan, saling membantu dan meringankan beban antarsesama manusia adalah sebagai landasan diri praktek ekonomi tradisional dalam masyarakat Suku Bugis Bone. Seperti mappasndra galung dan mappateseng sapi.
“Keduanya dilakukan demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat desa, tanpa aturan yang memberatkan salah satu pihak yang terlibat dalam praktek ekonomi tersebut," tuturnya.
Meneliti akuntansi teseng kata Aras adalah mendalami perilaku dan praktek ekonomi berbasis budaya dan local wisdom. Akuntansi adalah perilaku manusia, oleh karena itu setiap budaya memiliki perilaku akuntansi masing-masing, termasuk suku bugis.
Selain pengembangan kajian ilmu akuntansi Multiparadigma (melihat akuntansi dari berbagai perspektif keilmuan) juga bagian dari ikhtiar dalam melestarikan nilai-nilai budaya bugis sebagaimana ajaran Nahdlatul Ulama untuk menjaga tradisi.
“Apalagi saya adalah seorang kader PMII, sehingga memiliki tanggung jawab menjaga tradisi suku bugis/budaya bugis dengan mengkolaborasikan antara bidang keahlian (Akuntansi) saya dengan tradisi suku bugis. Dan seharusnya kader PMII dan warga nahdliyin melakukan hal seperti itu untuk mewujudkan tujuan PMII yaitu bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya,” jelas Aras.
Di Bugis kata Aras memiliki banyak ilmu pengetahuan yang perlu digali, termasuk tentang akuntansi. Dengan ditelitinya dan menghasilkan sebuah karya ilmuwan maka ilmu pengetahuan dalam budaya bugis akan terungkap dan bisa menjadi kajian ilmiah.
“Karakter suku Bugis dalam mewariskan pengetahuannya adalah lisan, tidak dituliskan sehingga sulit dijadikan rujukan ilmiah. Dengan ditulisnya akuntansi Te’seng dalam budaya Bugis akan bisa dijadikan sebuah rujukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya Akuntansi,” pungkasnya.
Kontributor: Ridwan
Editor: Musthofa Asrori