Suatu ketika, salah seorang teman KH Masyhudi sewaktu mondok di Pesantren Zainul Hasan Genggong Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo datang mengunjunginya, namanya Harto. Kepada Kiai Barongan, demikian Kiai Masyhudi biasa dipanggil, sahabat lamanya itu meminta untuk diobati akan penyakit yang dideritanya.<>
Tetapi karena tidak mengerti cara mengobati seseorang, Kiai Barongan menolak permintaan temannya yang berasal dari Desa Selogudig Wetan Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo itu.
“Dia datang ke saya minta untuk diobati penyakitnya, tetapi saya tolak. Saya bukan lulusan kedokteran, bukan Akper (Akademi Keperawatan) juga,” ungkapnya sambil bercanda.
Tetapi saat itu Harto tetap ngotot. Malah, Harto mengaku bermimpi didatangi oleh KH. Hasan Sepuh dan memintanya untuk berobat kepada Kiai Barongan. Mendengar alasan itu, Kiai Barongan akhirnya tidak bisa menolak. Sebab, ia tahu sahabatnya itu tidak mungkin berani berbohong dengan membawa-bawa nama Kiai Hasan Sepuh.
“Karena mendapat petunjuk seperti itu, saya tidak bisa menolak. Akhirnya saya berdoa dan membacakan Basmalah tiga kali pada segelas air putih. Dan Alhamdulillah, setelah tiga hari dia datang lagi dan katanya sudah sembuh. Sejak saat itu, saya banyak didatangi tamu untuk berobat. Bahkan tamu dari mancanegara juga banyak. Seperti Malaysia, Singapura dan Jordania,” kisahnya.
Dari hasil pengobatan alternatif tersebut, Kiai Barongan pun bisa membangun Pesantren Darut Tauhid di Desa Tanjungsari Kecamatan Krejengan Kabupaten Probolinggo. Tetapi, beliau harus memulainya dengan membabat hutan bambu di sekitar rumahnya. Dari sinilah nama Kiai Barongan berasal.
Masyarakat sekitar menyebut hutan bambu dengan istilah bherungan alias barongan. Tak ayal, warga pun menyebut Kiai Masyhudi dengan julukan Kiai Barongan, karena berhasil membabat alas bherungan menjadi sebuah pesantren. “Awalnya, santri yang bermukim disini hanya tiga orang. Setahun kemudian bertambah menjadi 24 orang,” jelasnya.
Sejak itulah, tahun demi tahun santri yang bermukim semakin banyak dan tidak hanya santri putra. Karena itu, Kiai Barongan pun mengembangkan pesantrennya dengan mendirikan beberapa lembaga formal.
“Saya mengajar Al-Qur’an dan pendidikan keagamaan saja kepada santri yang bermukim. Sekitar tujuh tahun kemudian, saya mendirikan lembaga formal Madrasah Ibtidaiyah (MI) mengikuti jejak Pesantren Zainul Hasan Genggong,” pungkasnya. (Syamsul Akbar/Red:Anam)