Perbedaan adalah Sunnatullah, Harus Jadi Sarana Kerukunan
Senin, 14 Desember 2020 | 04:15 WIB
Redy Saputro (kedua dari kanan) dan Gus Aab (keempat dari kanan) dalam acara Pengukuhan dan Kenduri Kebangsaan PC Lesbumi Jember di ruang Gus Dur, gedung Ansor Jember, Ahad (13/12). (Foto: NU Online/Aryudi A Razaq)
Jember, NU Online
Perbedaan dan keragaman suku, budaya bahkan agama adalah sunnatullah. Karenanya, perbedaan tak akan pernah bisa dieleminasi, apalagi disatukan.
Demikian diungkapkan oleh Ketua PCNU Jember Jawa Timur, KH Abdullah Syamsul Arifin saat memberikan pengantar dalam Pengukuhan dan Kenduri Kebangsaan PC Lesbumi Jember di ruang Gus Dur, gedung Ansor Jember, Ahad (13/12).
Menurutnya, perbedaan yang ada tak perlu dihilangkan karena memang tidak mungkin. Yang penting adalah perbedaan tidak menjadi penyebab tergerusnya persatuan dan retaknya kedamaian, serta kerukunan selalu terjaga dalam perbedaan.
“Bersama (rukun) dalam perbedaan. Berbeda dalam kebersamaan,” ujarnya.
Gus Aab, sapaan akrabnya, lalu menukil beberapa ayat Al-Qur’an yang intinya Allah memang menciptakan manusia dalam keragaman di banyak hal. Sehingga manusia terlahir dalam suku, budaya dan agama yang berbeda. Di sisi lain, Allah juga punya kuasa untuk menjadikan seluruh manusia dalam ummatan wahidah (satu umat), satu keyakinan, tradisi, dan peradaban.
“Namun semua itu memang tidak dikehendaki oleh Allah,” jelasnya.
Sebab, dengan potensi-potensi keragaman yang Allah berikan kepada manusia, Dia ingin menguji manusia untuk fastibiqul khairat, berlomba-lomba dalam mewujudkan kebaikan sesuai dengan sistem pengetahuan dan keyakinannya masing-masing. Di titik keragaman itulah justru terselip rahmat bagi manusia.
“Jadi jangan pernah berpikir untuk menghilangkan perbedaan, karena itu sunnatullah, sesuatu yang tidak bisa ditolak. Namun bagaimana dengan perbedaan itu membuat kita saling berlomba untuk berbuat kebaikan,” terangnya.
Salah seorang narasumber, Koordinator Peace Leader Indonesia, Redy Saputro menegaskan bahwa perbedaan di Indonesia adalah suatu keniscayaan. Katanya, Indonesia merupakan negara yang paling banyak perbedaan penghuninya, mulai dari agama, bahasa, suku, budaya, dan lain sebagainya. Namun semua itu tak membuat bangsa Indonesia terjebak dalam permusuhan.
“Buktinya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) tetap kokoh berdiri,” ucapnya.
Hal tersebut tentu tak lepas dari sikap rakyat Indonesia yang menjunjung tinggi toleransi. Pria yang baru saja meraih penghargaan dari Gubernur Khofifah Indar Parawansa sebagai Pemuda Utama Bidang Keberagaman dan Toleransi itu mengapresiasi NU sebagai ormas yang gigih mengkampanyekan toleransi antar umat beragama maupun antar umat se-agama. Tanpa kesadaran rakyat Indonesia dalam bertoleransi, maka sesungguhnya NKRI berada di tebing jurang kehancuran.
“Saya kira salah satu kunci penting bagi tegaknya NKRI adalah toleransi, saling menjaga persatuan dan kesatuan,” ungkapnya seraya mengajak kaum muda untuk terlibat langsung dalam pembangunan perdamaian dengan aksi-aksi nyata.
Selain Redy dan Gus Aab, hadir pula sebagai narasumber dari non Muslim, yaitu Ignatius Sumarwiadi (Ketua Musyawarah Antar Gereja Kabupaten Jember) dan I Wayan Subagiarta (Sekretaris PHDI Kabupaten Jember). Keduanya juga menyampaikan pandangannya dalam Kenduri Kebangsaan yang mengusung tema Merajut Toleransi dalam Harmoni Kebangsaan dan Kebudayaan itu.
Pewarta: Aryudi A Razaq
Editor: Muhammad Faizin