Bekasi, NU Online
Mustasyar Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Mustikajaya Kota Bekasi, KH Ahmad Iftah Sidik, mengatakan acara tasyakuran Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI merupakan pertanda berakhirnya proses panjang Pemilu 2019. Syukuran digelar karena telah sampai pada pelantikan pemimpin Indonesia yang sudah definitif.
Kiai Iftah mengatakan hal tersebut dalam gelaran peringatan Hari Santri 2019 sekaligus tasyakuran Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024. Acara yang diinisiasi MWCNU Mustikajaya, Bekasi, itu digelar di Pendopo Kantor Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi, Jumat (25/10).
“Walaupun ada riak di sana-sini, gonjang-ganjing selama Pilpres kemarin, berkat doa para ulama dan kiai, alhamdulillah proses itu berakhir damai,” ungkap Kiai Iftah penuh syukur.
Ia berharap, pelantikan presiden dan tasyakuran yang digelar itu menjadi awal merekatnya kembali ikatan persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia yang sempat terkoyak oleh kepentingan politik.
“Seperti orang lomba. Terkadang ada yang menang dan ada pula yang kalah. Seperti menonton pertandingan sepakbola, saya dan istri yang tinggal bareng seatap dan tidur seranjang tapi ketika ada piala dunia, kita nggak mau mendukung tim yang sama. Biar seru, makanya harus beda,” ungkap Kiai Iftah berkisah.
Maka pilihan presiden kemarin itu, katanya, haruslah disikapi seperti menyaksikan sepak bola. Ketika pertandingan, sorak-sorak saling mendukung. Namun saat sudah selesai, haruslah kembali bersatu lagi.
"Dengan demikian, saat sekarang sudah selesai pelantikan dan presiden-wapres sudah definitif, mari kita kembali pada kehidupan kita; yang ngaji ayo ngaji, yang kemarin sempat pisah musala silakan balik lagi. Karena sudah selesai kan pertandingannya," jelas Pengasuh Ponpes Fatahillah, Kampung Asem, Mustikajaya ini.
Debat konsep kenegaraan
Ia melanjutkan, pada saat-saat jelang kemerdekaan terdapat sebuah peristiwa diskusi atau perdebatan yang serius. Perdebatan itu mengenai konsep kenegaraan. Ada yang menghendaki agar negara Indonesia menjadi demokrasi, tetapi ada juga yang menginginkan negara berlandaskan agama.
"Ada kubu dari Muhammad Natsir, ada kubu dari Muhammad Yamin, ada kubu dari Kiai Wahid Hasyim; semua saling berdebat keras. Tapi ketika sudah diketuk palu bahwa negara kita berbentuk NKRI yang berdasarkan Pancasila, selesailah sudah. Semua kiai kembali rukun, semua kembali guyub," kata Kiai Iftah.
Bendahara Lakpesdam PBNU ini mengingatkan hadirin terkait peristiwa gonjang-ganjing pada sekitar 1983-1984. Yaitu saat pemerintah mencanangkan asas tunggal Pancasila. Terjadi situasi yang sangat ramai sekali. Hampir seluruh ormas Islam menolak Pancasila, karena merasa asas tunggal yang benar adalah Islam.
"Di NU juga begitu. Ketika pertemuan di Situbondo, beberapa kiai dari Madura mengancam, kalau ada yang ngomong bahwa NU mendukung asas tunggal Pancasila, ketika turun dari panggung nanti akan saya bacok. Serius itu," kata Kiai Iftah berkisah.
Namun ketika itu, Rais Aam PBNU KH Ahmad Shiddiq yang naik panggung dan menguraikan tentang Pancasila dalam perspektif Islam. Bahwa nilai-nilai Pancasila berkesesuaian dengan nilai-nilai Al-Qur’an.
"Begitu Kiai Ahmad Shiddiq turun dari panggung, kiai dari Madura itu tadi langsung merangkul Rais Aam seraya berkata, Ya Allah kiai, seumur hidup saya menjadi santri ternyata baru kali ini paham bahwa Pancasila itu adalah hasil perasan dari saripati Al-Quran," kisah Kiai Iftah.
Karenanya, murid Habib Luthfi bin Yahya ini mengungkapkan bahwa tidak ada lagi alasan untuk menolak Pancasila karena dianggap bertentangan dengan Al-Quran. "Nah, kiai-kiai dari kalangan NU itu sangat panjang pikirannya," pungkas Kiai Iftah.
Selain Kiai Iftah, hadir pula Rais Syuriyah MWCNU Mustikajaya Ustadz Rohidi beserta pengurus, lembaga dan banom NU Mustikajaya, jajaran pemerintahan setempat, serta masyarakat Kecamatan Mustikajaya. Usai acara, diadakan prosesi potong tumpeng sebagai bentuk rasa syukur atas peringatan Hari Santri 2019 serta berakhirnya proses Pemilu 2019.
Kontributor: Aru Elgete
Editor: Musthofa Asrori