Daerah

Tradisi Unik Bubur Ie Bu Peudah Khas Aceh Besar, Menu Buka Puasa Sarat Makna

Senin, 3 Maret 2025 | 20:00 WIB

Tradisi Unik Bubur Ie Bu Peudah Khas Aceh Besar, Menu Buka Puasa Sarat Makna

Warga Gampong Bueng Bakjok, Kecamatan Kuta Baro, Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, masih setia menjaga tradisi turun-temurun memasak Bubur Ie Bu Peudah, takjil berbuka puasa khas daerah ini. (Foto: NU Online/Wahyu Majiah)

Banda Aceh, NU Online

Di tengah suasana Ramadan yang penuh berkah, warga Gampong Bueng Bakjok, Kecamatan Kuta Baro, Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, masih setia menjaga tradisi turun-temurun memasak Bubur Ie Bu Peudah, takjil berbuka puasa khas daerah ini. 


Bubur yang dimasak dengan penuh kehati-hatian dan ketelatenan ini bukan sekadar hidangan biasa, melainkan simbol kebersamaan dan gotong royong masyarakat setempat. 


Sejak pukul 2 siang, dapur umum meunasah Gampong Bueng Bakjok sudah ramai dengan aktivitas memasak. Di bangunan tanpa dinding itu, terlihat belanga besar berukuran 1,3 meter yang mengeluarkan kepulan asap dan aroma harum rempah-rempah. 


Suasana terasa panas, namun semangat para pengolah bubur tak surut. Beberapa pria sibuk menyiapkan api di bawah tungku besar yang telah disemen, sementara seorang pria lain dengan cekatan mengaduk adonan bubur menggunakan batang pohon kecombrang.


Dialah Muklis, generasi kedua yang turut serta dalam tradisi memasak Bubur Ie Bu Peudah. Dengan pengalaman yang dimilikinya, ia menjelaskan bahwa penggunaan batang kecombrang bukan tanpa alasan. 


"Batang ini tidak hanya untuk mengaduk, tapi juga meningkatkan aroma harum bubur dan membantu menghancurkan beras agar teksturnya lebih lembut," ujarnya sambil terus mengaduk, Senin 3 Maret 2025.

 
Warga Gampong Bueng Bakjok, Kecamatan Kuta Baro, Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, masih setia menjaga tradisi turun-temurun memasak Bubur Ie Bu Peudah, takjil berbuka puasa khas daerah ini. (Foto: NU Online/Wahyu Majiah)
 

Proses memasak bubur ini dimulai pukul 2 siang dan baru selesai menjelang waktu Ashar. Bahan dasar bubur ini adalah beras, sementara rempah-rempah lainnya sudah dipersiapkan sejak dua minggu sebelum Ramadan. 


Dana untuk pembelian bahan-bahan diperoleh dari hasil pengelolaan sawah kampung yang dikelola oleh gampong (desa). 


"Kami menggunakan beras dari sawah yang dikelola desa, untuk membeli bahan-bahan lainnya ada yang disumbang warga," jelas Muklis.


Setiap hari, bubur dimasak oleh lima orang yang bergantian sesuai jadwal yang telah ditentukan. Tradisi ini melibatkan seluruh dusun di Gampong Bueng Bakjok, sehingga setiap warga merasa memiliki andil dalam keberlangsungan tradisi ini.


Tak hanya beras, kelapa juga menjadi bahan penting dalam pembuatan Bubur Ie Bu Peudah. Kelapa yang digunakan harus diparut dengan hati-hati, agar teksturnya menyatu dengan bubur. 


"Biasanya kita habiskan beras sebanyak 7 sampai 8 bambu beras, dan 14 buah kelapa," tutur Muklis. 


Muklis menjelaskan, bumbu-bumbu yang digunakan untuk membuat bu ie peudah ini sudah disiapkan oleh ibu-ibu setempat. "Jadi saat bulan Ramadan kita tinggal campurkan beras, kelapa parut, bumbu, garam beserta air saja," kata Muklis. 


Berbeda dengan rasa bubur lainnya, Ie Bu Peudah ini memberikan sensasi rasa pedas diujung. Rasa pedas yang khas didapatkan dari lada, yang membuat bubur ini terasa hangat saat disantap. "Selain nikmat, bubur ini juga bisa menghangatkan badan," tambahnya.


Sementara itu, bubur Ie Bu Peudah tidak hanya dinikmati oleh warga Gampong Bueng Bakjok, tetapi juga dibagikan kepada orang luar yang kebetulan singgah di daerah tersebut.


"Bulan Ramadan ini kan bulan berbagi. Orang-orang berlomba-lomba mencari pahala. Kalau kita bisa memberi, kenapa tidak?" ujar Muklis dengan senyum.


Menurut Muklis, tradisi ini bukan sekadar tentang makanan, melainkan juga tentang nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan keikhlasan. 


"Setiap suap bubur yang dinikmati saat berbuka puasa mengingatkan kita pada kekayaan budaya dan kearifan lokal yang patut dilestarikan," tutupnya. 


Untuk diketahui, bubur Ie Bu Peudah adalah bukti bahwa tradisi bisa bertahan di tengah modernisasi. Dengan semangat kebersamaan dan gotong royong, warga Gampong Bueng Bakjok berhasil menjaga warisan leluhur mereka tetap hidup. Setiap Ramadan, aroma harum bubur ini tidak hanya memenuhi dapur masjid, tetapi juga hati setiap orang yang merasakannya.