Umi Hanisah Jadikan Pesantren sebagai Rumah Aman Penyintas Kekerasan
Kamis, 15 April 2021 | 07:55 WIB
Umi Hanisah sedang mengajar ngaji anak-anak di Dayah Diniyah Darussalam, Meulaboh, Aceh Barat. (Foto: dok. Tempo)
Jakarta, NU Online
Berangkat dari simpati terhadap korban penyintas kekerasan konflik antara pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berlangsung pada 2003 silam, Umi Hanisah menceritakan awal mula perjuangan mendirikan Dayah (Pesantren) Diniyah Darussalam sebagai pesantren yang melindungi setiap korban kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak korban pemerkosaan oleh kelompok separatis bersenjata GAM.
"Rasa simpati itu yang memotivasi Umi untuk melindungi orang korban konflik, anak-anak korban tidak tahu ke mana mereka harus berlindung dan tidak ada yang peduli karena takut GAM dan takut TNI yang kejam-kejam waktu itu," ungkap Umi Hanisah saat dihubungi NU Online, Rabu (14/4) kemarin.
Sebelum dayah berdiri, Hanisah biasa mengisi pengajian-pengajian di Majelis Ta'lim dari tingkat kecamatan sampai kabupaten, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mendirikan pesantren pada 10 Oktober 2000 di atas tanah wakaf keluarga di Padang Mancang, Aceh Barat.
"Waktu itu di situ gak ada tempat ngaji dan pesantren, alhamdulillah setelah kita dirikan pesantren anak-anak, orang tua, laki-laki/perempuan belajar, dari sana itu baru Umi atur jadwal untuk pengajian orang tua agar terpisah dengan anak-anak," jelas Umi Hanisah yang beberapa waktu lalu berpartisipasi aktif dalam kegiatan Konsultasi Digital KUPI.
Hanisah mengatakan bahwa prinsip hidupnya adalah membantu orang lemah yang terkena musibah, maka, ketika konflik Aceh Merdeka memanas dirinya bekerja keras mendirikan rumah aman untuk penyintas korban kekerasan. Meskipun niat baiknya tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat sekitar, akan tetapi, Hanisah tidak menyerah dalam membangun kesadaran persamaan hak perempuan di Aceh.
"Kadang ada rapat tengah malam untuk mencelakakan kita, sampai-sampai mengeluarkan biaya untuk usir dan demo kita, karena melindungi anak hamil korban pemerkosaan, ya karena mereka menganggap kotor anak-anak ini, Umi sedih karena bukan cuma anaknya saja yang merasa terpukul, tapi, keluarga, saudaranya pun pasti merasakan trauma mendalam atas kejadian itu," ucap perempuan yang biasa di panggil Umi itu.
"Tapi, Umi selalu tanamkan kehati dan jiwa untuk ikhlas karna Allah. Kita kan melangkah untuk mencari rido Allah," imbuhnya.
Hanisah menyatakan rasa trauma yang dialami korban kekerasan seksual bukanlah hal sepele dan perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah karena terkadang stigma yang dibangun masyarakat pada korban memunculkan keputusan korban untuk mengakhiri hidupnya.
"Dari trauma yang besar kadang ada yang sampe bunuh diri itu bukan karena hamil diperkosa saja, tapi, karena hinaan, olokan, dan cap perempuan pezina yang dilontarkan," terangnya.
Menyikapi hal tersebut Hanisah mencoba menerapkan metode trauma healing (penyembuhan trauma) dengan mengajarkan nilai-nilai Islam rahmatan lil 'alamin, sikap toleransi dan sikap optimis kepada korban.
"Kalau korban itu ada keahlian tertentu, misalnya pandai baca Al-Qur'an, dia kita suruh ngajar Iqra dengan didampingi guru lain. Murid yang pandai menyanyi kita tampilkan pada malam Ahad untuk menghibur temannya yang lain. Jadi kalau di Pesantren itu tidak terasing, semuanya diperlakukan sama dengan yang lainnya. Sekarang, kita lagi mempersiapkan pelatihan buat macam-macam kue bagi guru dan korban pemerkosaan," sambung Umi.
Hanisah mengungkapkan bahwa Dayah Diniyah memanfaatkan keahlian dan usaha-usaha kecil, seperti, Laundry dan berkebun sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan Dayah sehari-hari.
"Perhatian pemerintah tidak ada khusus dalam membantu korban, paling umi lebih bayak konsultasi dengan pemerintah provinsi, dengan balai syura dan lembaga swadaya masyarakat yang berkonsentrasi pada perempuan berperspektif gender (Flower Aceh)," katanya.
Di akhir pembicaraan Hanisah berharap ke depannya banyak lahir ulama perempuan yang menduduki posisi penting di instansi pemerintahan, rumah sakit, dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (P2TP2A).
"Jangan sekali-kali ada pemahaman Radikal yang menghambat terwujudnya kemaslahatan umat," pungkas Umi Hanisah.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Fathoni Ahmad