Bencana alam yang terjadi terkadang mengubah perilaku religiusitas masyarakat. Hal itu terbukti dalam hasil riset yang dilakukan Rahmat Rifai Lubis. Dalam laporan hasil riset berjudul Benteng Akidah di Kaki Gunung Sinabung yang dilakukan berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018, Rahmat melakukan riset sebagai respons dan strategi dai dan daiyah dalam membina religiusitas umat Islam korban bencana letusan Gunung Sinabung. Dai dan daiyah tersebut termasuk minoritas di sekitar Gunung Sinabung di Kabupaten Karo Sumatera Utara.
Secara garis besar terdapat dua model sikap keberagamaan umat Islam di Kabupaten Karo setelah bencana letusan Gunung Sinabung. Pertama, sikap menjauh dari agama Islam. Penyebabnya ialah sikap putus asa terhadap krisis ekonomi yang mereka rasakan sebagai dampak dari bencana Gunung Sinabung. Kedua, sikap semakin dekat dengan ajaran Islam, penyebabnya ialah menyadari bahwa setiap bencana yang terjadi merupakan teguran langsung dari Allah Swt.
Hasil observasi di beberapa desa yang menjadi lokasi penelitian yakni Desa Sigarang-Garang, Kuta Rakyat, Perbaji, dan Kutambaru, menunjukkan bahwa sebelum munculnya bencana Sinabung, kegiatan keagamaan masih sangat sering dilakukan di desa tersebut. Kegiatan seperti peringatan hari besar Islam (PHBI), pelaksanaan Shalat Jumat, pengajian rutin setiap usai Shalat Maghrib, dan wirid Yasin ke rumah-rumah warga secara bergilirian. Walaupun pada praktiknya tidaklah secara keseluruhan umat Islam mengikuti kegiatan tersebut namun kegiatan keagamaan masih terlihat ada di desa tersebut.
Akan tetapi, setelah letusan menurun drastis bahkan nyaris hampir tidak ada. Hal ini disebabkan karena berpindahnya para dai dari desa tersebut (mengungsi), dan rusaknya masjid yang mereka jadikan sebagai basis kegiatan keagamaan. Mengungsinya para dai tentu berakibat terhadap dangkalnya pengetahuan agama umat. Seorang dai menuturkan tentang suatu kejadian yang sangat memprihatinkan yakni terdapat seorang yang meninggal dunia namun di waktu itu tidak seorang pun yang mengerti untuk melaksanakan fardu kifayahnya. Pada akhirnyaa dimakamkan sebagaimana mampunya. Ironisnya ketika itu para ustadz sudah mengungsi.
Selain itu, faktor krisis ekonomi tentu juga menjadi masalah pennurunan kualitas keberagamaan umat. Pasalnya mereka yang jatuh kepada kemisninan sebagian terjebak dengan sikap berputus asa, dan melampiaskannya dengan perilaku negatif (judi, mabuk mencuri). Tentu hal ini menyebabkan seseorang jauh dari ajaran agama Islam.
Respons dan Strategi Dai dan Daiyah dalam Membina Religiusitas Umat
Pembinaan religiusitas umat yang dilakukan oleh para dai pada dasarnya tidak hanya bertujuan untuk mengajarkan ritual-ritual ibadah semata, melainkan juga bertujuan membentengi akidah mereka dari pergeseran. Hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada 4 Oktober 2018 dengan para responden penelitian yakni dai dan daiyah di empat kecamatan lokasi penelitian, terdapat pergeseran akidah pada sebagian umat Islam di daerah yang menjadi lokasi penelitian. Menurut mereka pergeseran tersebut juga terjadi sebelum letusan Gunung Sinabung.
Pergeseran akidah dalam penelitian ini klasifikasikan menjadi dua level, yakni level terendah sampai level tertinggi. Level terendah yakni berubahnya pemahaman dan perilaku keyakinan beragama seorang muslim, dan level tertinggi yakni keluarnya seseorang dari agama Islam yang telah dianutnya (murtad). Kedua hal ini kerap terjadi di Kabupaten Karo, khususnya pada daerah yang terkena dampak letusan gunung Sinabung.
Hasil penelitian menunjukkan adanya beberapa faktor yang melatarbelakangi pergeseran akidah di daerah tersebut.
1. Faktor ekonomi
Krisis ekonomi yang terjadi pada warga terutama pada radius 2-5 kilometer dari Sinabung menimbulkan sikap keputusasaan dari mencari rahmat Allah. Akibatnya, mereka menjerumuskan diri pada perilaku-perilaku negatif seperti berjudi dan mabuk-mabukkan.
2. Faktor minimnya pengetahuan agama
Beberapa pemahaman yang keliru tentang agama, seperti menganggap semua agama sama, menganggap adat lebih tinggi daripada agama, menganggap bahwa agama hanya sekadar simbol kehidupan. Kekeliruan ini tentu menyebabkan pergeseran akidah, dan ironisnya mereka tidak menyadari hal tersebut.
3. Faktor pernikahan beda agama
Kondisi pernikahan ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal mulai dari kondisi suka sama suka, dan karena hubungan hamil di luar nikah, sehingga menyebabkan mereka terpaksa untuk menikah dengan pasangan beda agama.
4. Faktor adat istiadat atau kepercayaan leluhur
Adat istiadat kerap dianggap menjadi yang lebih tinggi dari segala-galanya dalam mengambil keputusan atau mengambil kebijakan. Misalnya menganggap bahwa bencana letusan Sinabung karena kemarahan ruh-ruh dan makhluk halus, sehingga diambillah keputusan perlunya untuk memberikan sesembahan kepada makhluk dan ruh-ruh tersebut.
5. Faktor minimnya pendampingan
Pergeseran kemungkinan besar tidaklah akan terjadi manakala di setiap desa terdapat dai yang memberikan pembinaan, itulah sebabnya dai disebut sebagai benteng terhadap akidah umat. (Kendi Setiawan)