2 Januari Mengenang Wafatnya Usmar Ismail, Tokoh Lesbumi dan Perfilman Indonesia
Selasa, 2 Januari 2024 | 08:00 WIB
Bagi masyarakat Indonesia, nama Usmar Ismail barangkali lebih lekat dengan dunia perfilman. Salah satu bukti sahih, tentu peringatan Hari Film Nasional yang dinisbatkan kepada tanggal berdirinya Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), yang didirikan oleh Usmar Ismail bersama kawan-kawannya pada 30 Maret 1950. Pun dengan karya-karya film Usmar Ismail yang melegenda seperti Darah dan Doa (1950), Lewat Djam Malam (1954), Tiga Dara (1956), dan lain-lain.
Masih dalam konteks perfilman, pria kelahiran Bukittinggi, 20 Maret 1921 tersebut juga banyak menuliskan pandangan dan kritik, khususnya terkait perkembangan dunia film. Semisal pada esai yang ditulis di Majalah Gelanggang (Lesbumi, 1966), Usmar melontarkan kritikan kepada para pembuat film kala itu (dan kini pun masih relevan) yang “tergelincir” dengan banyak menampilkan suguhan adegan seks atau kesadisan seperti yang diperlihatkan dalam genre film Gore.
“Di sinilah banjak pembuat film tergelintjir. Karena achirnja tudjuan bukanlah lagi, bagaimana membuat film jang baik dan bermutu, tetapi bagaimana dapat mengelus-elus selera penonton jang banjak mintanja itu,” tulis Usmar Ismail.
Baca Juga
Surat-surat Malam kepada Usmar Ismail
Kritik terkait penonton yang “banyak mintanya” ini, akan sangat relevan dalam era kiwari, di mana misalnya kita temukan dalam platform konten video yang jauh menekankan mutu apalagi terkait edukasi.
Usmar yang juga menuliskan pandangannya akan sosok pahlawan di masa revolusi. Dalam tulisan berjudul Film Saya yang Pertama, ia menuliskan: “Kisah Sudarto adalah kisah sedih. Sudarto bukanlah pahlawan dalam arti yang biasa, tetapi seorang manusia Indonesia yang terlibat dan terseret oleh arus revolusi, sebelum dia sempat menilai segala kejadian di sekelilingnya dengan sadar,”
Pada tahun 2012, film karya Usmar Ismail Lewat Djam Malam sempat diputar kembali di bioskop-bioskop Tanah Air, termasuk di Kota Solo. Sayangnya, antusiasme penonton kala itu, masih lebih tertarik untuk menonton film Hollywood.
Jurnalis di Era Revolusi
Meski namanya lebih melekat dalam dunia perfilman seperti yang telah dipaparkan di atas, sejatinya kisah dan perjuangan Usmar Ismail tidak terbatas di ranah tersebut.
Rosihan Anwar misalnya, dalam buku Sejarah Kecil Petite Historie Indonesia Jilid 2 (2009) menuliskan sebuah judul Usmar Ismail, Bapak Perfilman Nasional yang Juga Wartawan. Tentu bukan tanpa sebab, Rosihan menuliskan judul tersebut. Usmar Ismail tercatat pernah menjadi wartawan di berbagai surat kabar antara lain Rakjat, Majalah Bulanan Arena, Harian Patriot, dan Majalah Tentara.
Usmar pernah pula menjadi Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat (1946-1947) menggantikan Mr. Soemanang. Di saat yang sama, Usmar juga menjadi anggota TNI dengan pangkat mayor. Pernah suatu ketika, pada tanggal 9 Februari 1946 diadakan Kongres di Solo untuk mendirikan PWI. Usmar datang ke sana berpakaian seragam lengkap dengan sepatu Kaplaars.
Catatan peran penting lainnya terkait Usmar, di masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, juga pernah ditulis KH Saifuddin Zuhri dalam buku Berangkat dari Pesantren. Usmar termasuk dalam golongan pemuda bersama Sukarni, Chairul Saleh, B.M. Diah, Subadio, dan lain-lain.
Pendiri Lesbumi
Dalam perjalanan hidupnya, Usmar Ismail juga tercatat pernah aktif di Nahdlatul Ulama (NU). Bersama kawan-kawannya, seperti Djamaludin Malik dan Asrul Sani, mereka mendirikan Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia). Usmar menjadi Ketua Umum Lesbumi, sedangkan Asrul Sani menjadi Ketua I.
Choirotun Chisaan dalam buku Lesbumi Strategi Politik Kebudayaan (2008), menerangkan Lesbumi didirikan di tahun 1954, sebelum hadirnya perseteruan "Polemik Kebudayaan", antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) satu pihak dan para pencetus Manifes Kebudayaan (Manikebu) di pihak lain.
Menariknya, meski kemudian hidup di tengah panasnya "Polemik Kebudayaan", Lesbumi tidak larut ke salah satunya. Ada wajah baru yang ingin diperdengarkan oleh Lesbumi di tengah riuhnya pertarungan aliran berkesenian pada masa-masa tersebut. Wajah lain itu akan tampak pada surat kepercayaan yang lahir pada tahun 1966.
Karakter utama yang membedakan Lesbumi dari Lekra dan Manikebu adalah kentalnya warna “relijius” dalam produksi ekstrem antara kubu Lekra dan Manikebu. Pada titik ini, sebenarnya Lesbumi memberikan alternatif baru dalam berkesenian dengan memberikan tempat bagi unsur keagamaan (Islam) setara dengan kebudayaan melalui sebuah “kontestasi” seni-budaya, ketimbang sebuah “pertarungan” politik.
Sikap “tengah-tengah” (moderat) nampaknya coba diterima Lesbumi senada dengan garis ideologi Ahlussunnah wal Jamaah yang menjadi landasan politik keagamaan NU, organisasi induknya.
Usmar Ismail yang pernah menerima Piagam Wijayakusuma dari Presiden Soekarno pada 1962, pada penghujung hayatnya juga kembali menerima penghargaan dari pemerintah pusat bertajuk Anugerah Seni. Namanya juga diabadikan sebagai nama gedung Pusat Perfilman H. Usmar Ismail. Tokoh pejuang dan pemikir itu meninggal dunia pada 2 Januari 1971 karena serangan stroke.
Pada Hari Pahlawan, 10 November 2021 Usmar Ismail mendapat kehormatan gelar Pahlawan Nasional. Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada empat pejuang tersebut tertuang dalam Keppres No. 109/TK/2021 tentang Penganugerahan Pahlawan Nasional. Lahul Fatihah.
Ajie Najmuddin, penulis buku Menyambut Satu Abad NU