Bulan Maulud 1363: Perlawanan KH Zainal Musthafa terhadap Kolonial Jepang
Sabtu, 28 September 2024 | 20:47 WIB
Dalam masyarakat Sunda terutama di wilayah Priangan Timur, bulan Mulud bukan hanya diperingati sebagai waktu kelahiran Nabi Muhammad, tapi juga terdapat memori kolektif mengenai perjuangan heroik KH Zainal Musthafa dari Pesantren Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya.
Pada bulan Februari 1944, bertepatan tanggal 1 Rabi’ul Awal (Mulud) 1363 H, KH Zainal Musthafa bersama para santrinya bertempur melawan pasukan Kenpetai Jepang. Dan atas keberaniannya tersebut, KH Zainal Musthafa dianugerahi gelar Pahlawan Pergerakan Nasional pada 6 Nopember 1972, bersamaan terbitnya Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 064/TK/Tahun 1972.
KH Zainal Musthafa Tokoh Nahdlatul Ulama
Umri (nama kecil KH Zainal Musthafa) lahir di kampung Bageur Cikembang Tasikmalaya pada tahun 1901. Memasuki masa remaja, namanya berganti dengan Hudaemi, dan mulai nyantri di beberapa pesantren di Tatar Sunda. Secara berurutan Hudaemi berguru kepada KH Zumrotul Muttaqin di pesantren Gunungpari Sukamenak Tasikmalaya, kemudian berguru kepada KH Sjabandi di Pesantren Cilenga Leuwisari Tasikmalaya, lalu nyantri di Pesantren Sukaraja Karangpawitan Garut di bawah asuhan KH Zainal Arif, kemudian nyantri di Pesantren Sukamiskin Bandung yang diasuh oleh KH R. Ahmad Dimyati alias Mama Gedong, hingga terakhir berguru kepada KH Zainal Abidin di Pesantren Jamanis Rajapolah Tasikmalaya (Yahya: 2021: 4-11).
Pada saat Hudaemi nyantri kepada KH Zumrotul Muttaqin, satu nasihat penting ia dapatkan dari gurunya. “Bakal aya dua aluetan, ti kulon jeung ti wétan. Anu ti wétan makal lana, anu ti kulon mah moal lana” (Nanti akan ada dua kelompok besar dari barat dan timur. Yang dari timur akan lama eksis, yang dari barat tidak akan bertahan lama). Kisah ini didapatkan oleh Iip D. Yahya, sejarawan NU, ketika ia mewawancarai Kiai Abdul Hamid, seorang pengasuh Pesangtren Zumrotul Muttaqin Gunungpari Tasikmalaya, 23 Oktober 2019.
Tafsir dari nasihat tersebut adalah di kemudian hari akan ada dua organisasi besar mewarnai kehidupan masyarakat Tasikmalaya. Yang dari barat maksudnya organisasi Al Ittihadiyatul Islamiyyah yang didirikan di Sukabumi pada tahun 1931, dan diketuai KH Ahmad Sanusi. Sedangkan yang dari timur itu adalah Nahdlatul Ulama.
Selepas menunaikan ibadah haji, Hudaemi berganti nama menjadi Zainal Musthafa. Pada tahun 1927 atas bantuan KH Sjabandi, KH Zainal Musthafa pun mendirikan pesantren, dan memiliki santri sejumlah 60 orang di masa awal, hingga ratusan santri di masa kemudian. Bukan hanya menjadi pengasuh pesantren, dan menjadi da’i, KH Zainal Musthafa aktif dalam Jam’iyah Nahdlatul Ulama Cabang Tasikmalaya.
Pada tahun 1932 Soetisna Sendjaja terpilih menjadi voorziter (ketua) Tanfidzyah, dan wakil ketua Tanfidzyah dijabat oleh H. Masduki, KH O. Hulaemi sebagai katib/sekretaris dan H. Tabi’i sebagai wakil katib/sekretaris. Di jajaran Syuriah, terpilih KH Sjabandi sebagai Rois, dan KH Zainal Musthafa sebagai wakil Rois (Bunyamin, 2000: 4-6). Berdasarkan dokumen Verslag Congres Nahdlatoel Oelama jang ke-XIII Kota Menes Banten Juni 1938, hlm. 144, disebutkan bahwa KH Zainal Musthafa adalah utusan dari jajaran Syuriah NU Tasikmalaya, yang hadir ke kongres bersama KH Fadlil, KH Ruhiat, dan KH Munir. Keterlibatan KH Zainal Musthafa di NU terus berlanjut hingga Jepang tiba di Indonesia tahun 1942.
Saikeirei, kewajiban setor padi, pengumpulan besi dan logam, serta perlawanan Sukamanah
Pada masa pendudukan pemerintah militer Jepang (1942-1945), terdapat kewajiban Kyujo Yohai, yang populer dengan sebutan Saikeirei, yaitu menghormati istana kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah timur, seperti ruku’ dalam shalat. Kewajiban ini ditentang oleh umat Islam, terlebih oleh para kyai.
Penentangan lain dari masyarakat pribumi adalah terkait kewajiban setor hasil panen padi kepada pemerintah militer Jepang. Masyarakat menjadi serba sulit, apalagi pada saat yang sama sedang dilanda paceklik akibat kemarau panjang. Sering gagal panen, harus pula dipotong untuk setoran wajib. Tidak hanya padi, peralatan dan perkakas dari besi dan logam juga harus dikumpulkan, karena Jepang perlu bahan baku membuat senjata. Jadi semua kewajiban “setor” itu adalah untuk kepentingan perang Jepang.
Kondisi memprihatinkan tersebut turut pula dirasakan masyarakat Tasikmalaya, yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Keberlangsungan pesantren juga terkena dampak. Para santri tidak punya cukup bekal untuk tinggal di pesantren.
Dalam istilah orang Sunda, masyarakat Tasikmalaya saat itu “katurug katimpug”, ibarat “sudah jatuh tertimpa tangga”. Kondisi yang demikian menjadi beban pikiran KH Zainal Musthafa sebagai pemimpin umat. Belum lagi, sejak Oktober 1943 pemerintah militer Jepang mulai merekrut paksa tenaga kerja untuk dijadikan Romusha. Harry J. Benda, dalam buku Bulan Sabit dan Matahari Terbit memaparkan kondisi tersebut sebagai berikut.
Ketidakpuasan di kalangan petani berkembang selama beberapa bulan. Ketika pada tahun 1944, para penguasa militer mulai meminta sumbangan beras secara paksa dan membabi buta, maka perasaan tidak puas yang membara, pasti berakar pada peringatan Gunseikan, meledak dalam bentuk pemberontakan terbuka. Tidak bedanya dengan peristiwa yang hampir sama pada zaman pemerintahan Belanda tahun 1917, meledaknya protes petani mengkristal di seputar para pemimpin Islam setempat. Tanggal 18 Februari 1944, penduduk desa Singaparna, dekat Tasikmalaya, Keresidenan Priangan, dipimpin oleh Kiai Zainal Musthafa, seorang guru ortodoks yang berpengaruh dan seorang anggota Nahdlatul Ulama di daerah tersebut, mengangkat senjata melawan balatentara Matahari Terbit (Benda, 1985: 195).
Baca Juga
Kilas Balik Perlawanan Santri Babakan
Sebelum perlawanan Sukamanah meletus, KH Zainal Musthafa memang sudah menjadi incaran Kenpetai Jepang atas sikapnya menolak Saikeirei. Selain juga karena dalam berbagai ceramahnya, KH Zainal Musthafa lantang mengkritik kebijakan pemerintah militer Jepang yang eksploitatif.
Kamis 17 Februari 1944 satu regu polisi (orang pribumi) datang ke Pesantren Sukamanah untuk membujuk KH Zainal Musthafa agar bersedia menghadap Kenpetai Jepang di tasikmalaya. Namun yang terjadi adalah satu regu polisi tersebut malah diceramahi dan diinsafkan oleh KH Zainal Musthafa, hingga mereka bersedia berhenti mengabdi kepada pemerintah militer Jepang.
Keesokan harinya, 18 Februari 1944, tengah hari lima orang Kenpetai Jepang datang ke Pesantren Sukamanah. Mereka adalah Sersan Kobayashi dan Nakamikawa, Kopral Okuno dan Kuwada, serta seorang Penerjemah. Kedatangan mereka menimbulkan keributan, hingga tiga orang di antara mereka tewas di tangan santri, dan dua orang lainnya melarikan diri.
Sore hari, sekitar pukul 16.30, pasukan tentara Jepang yang lebih besar datang mengepung pesantren. Terjadi pertempuran selama kurang lebih satu jam setengah, dan berhenti seiring turunnya hutan lebat. Karena pertempuran tidak simbang, banyak korban berjatuhan di pihak KH Zainal Musthafa.
Ia pun ditangkap bersama 17 santrinya. Keesokan hari, ba’da shalat subuh, para sesepuh Sukamanah mengerahkan masyarakat dan santri yang tersisa untuk mengumpulkan dan menguburkan para korban.
Sejumlah 86 jenazah, dishalatkan dan langsung dikuburkan di satu lubang besar sebagaimana para syuhada. Hingga pada pukul 09.00, Kenpetai Jepang datang lagi berpatroli menangkapi siapa pun yang dicurigai terlibat dan mendukung KH Zainal Musthafa. Lebih dari 300 orang terdiri dari para santri dan masyarakat diangkut ke Tasikmalaya (Yahya, 2021: 52-58).
Setelah kurang lebih 8 bulan dipenjara berikut segala penyiksaan yang diterimanya, KH Zainal Musthafa beserta 17 santrinya dieksekusi pada Rabu 24 Oktober 1944, pada malam hari di pantai Ancol. Dua puluh sembilan tahun kemudian, pada 25 Agustus 1973, makam KH Zainal Musthafa dan para santrinya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Sukamanah Tsikmalaya.
Silang pendapat waktu terjadinya perlawanan Sukamanah
Informasi mengenai hari dan tanggal di mana terjadinya peristiwa perlawanan Sukamanah itu terdapat perbedaan. Sumber pertama laporan resmi pemerintah militer Jepang yang menyebut tanggal 18 Februari 1944. Sumber kedua, buku karya Sjarief Hidayat (santri KH Zainal Musthafa) terbit tahun 1961, yang menyebut peristiwa perlawanan Sukamanah terjadi tanggal 25 Februari 1944.
Sejarawan Harry J. Benda dan Kanahale memilih pendapat pertama. Sementara Ben Anderson dan Aiko Kurasawa memilih pendapat kedua. Yang menarik adalah, sejarawan NU Iip D. Yahya memiliki qaul qadim dan qaul jaddid akan hal tersebut. Dalam bukunya yang berjudul Ajengan Cipasung Biografi KH Moh. Ilyas Ruhiyat, Iip D. Yahya menulis tanggal peristiwa perlawanan Sukamanah itu tanggal 25 Februari 1944.
Namun, beberapa tahun kemudian, ketika ia meneliti dan menulis buku Ajengan Sukamanah Biografi KH Zainal Musthafa Asy-Syahid, Iip D. Yahya dalam pengantarnya mengamini pendapat yang menyebut bahwa perlawanan Sukamanah terjadi pada tanggal 18 Februari 1944.
Agung Purnama, Pengurus Lakpesdam NU Jawa Barat, dosen tetap Jurusan SPI UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan mahasiswa S3 Ilmu Sejarah Universitas Indonesia