Ilustrasi: Bung Karno saat mengaminkan doa KH Abdul Wahab Chasbullah. (Foto: dok. Perpustakaan PBNU)
Dalam momen Harlah Ke-40 NU tahun 1966 di Stadion Gelora Bung Karno Senayan (tahun 1962 bernama Pusat Olah Raga Bung Karno), NU yang saat itu dinakhodai KH Idham Cholid dan KH Abdul Wahab Chasbullah menghadirkan Presiden Soekarno untuk menyampaikan amanat. Dengan gaya khasnya yang berapi-api, Soekarno dengan lantang menepis isu dan gonjang-ganjing bahwa dirinya tidak akan hadir dalam peringatan Harlah NU tersebut. Persis seperti kabar hoaks yang tersebar di media sosial dewasa ini.
Dalam pengantar pidatonya, bahkan Bung Karno bahkan secara jelas mengatakan bahwa dirinya mencintai NU sebagai organisasi yang turut menjaga keutuhan bangsa dan stabilitas negara.
“Memang saya tidak tedeng aling-aling (untuk hadir di peringatan Harlah, red), saya cinta kepada NU. Kan sudah ucapkan di Sala, hei NU, saya cinta kepadamu, cintailah kepadaku! Hei NU, saya rangkul kepadamu, rangkulah aku ini.” (Soekarno, 31 Januari 1966).
Bagi Bung Karno, mencintai NU tidak berbeda dengan mencintai rakyatnya karena organisasi NU juga berisi masyarakat Indonesia yang begitu mencintai negaranya. Sebab itu, tak ada alasan untuk seorang Bung Karno mencintai NU.
Selain itu, Bung Karno juga mengamanatkan peneguhan Pancasila kepada seluruh warga NU. Hal ini cukup beralasan, karena Pancasila juga turut disusun oleh salah satu tokoh NU saat itu, KH Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus Dur. Jelas NU dengan segenap elemen bangsa lain mempunyai saham dalam pendirian negara ini. Oleh karena itu, NU mempunyai kewajiban menjaga tetap tegaknya Indonesia berdasarkan Pancasila dan pilar-pilar negara lainnya seperti UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
Secara jelas Bung Karno berkata dalam amanat di peringatan Harlah Ke-40 tersebut, “Kalau unsur Pancasila pada alim ulama teguh dalam batin, negara kita akan menjadi negara yang paling baik di seluruh dunia”. (Dokumen Harian Kompas, 1966)
Memang sekilas pernyataan Bung Karno itu menyiratkan keraguan kepada para kiai. Padahal sejak sebelum negara ini resmi berdiri pun, para kiai melalui wadah bernama pesantren telah melakukan penguatan akar tradisi dan budaya di dalam batin rakyat Indonesia, karena inilah esensi Pancasila. Hal ini mengingat peran kiai tidak hanya mengajar ilmu agama kepada para santri, tetapi juga mendidik masyarakat lewat media seperti pengajian. Lain daripada itu, kiai juga menjadi panutan nyata masyarakat dari dulu hingga sekarang.
Perkembangan teknologi informasi yang terus mengalir deras menjadi tantangan global yang kini dihadapi Nahdliyin secara keseluruhan. Tantangan era media sosial ini nyata karena situs jejaring dunia maya tersebut menjadi alat oleh kelompok radikal untuk menebarkan berbagai propaganda ekstrim. Bahkan perempuan bernama Dian yang beberapa waktu lalu tertangkap, secara jelas mengaku terpacu menjadi “pengantin” bom bunuh diri karena belajar Islam dari media sosial Facebook.
Persoalan tersebut bukan hal remeh, tetapi juga bukan masalah pelik karena bangsa Indonesia saat ini secara perlahan juga tercerdaskan oleh semakin tumbuhnya kesadaran kuat untuk menjaga keutuhan negara dalam keberagaman. Generasi muda juga harus terus belajar, utamanya kepada kebijaksanaan para kiai yang terbukti selama berabad-abad menjadi tokoh utama penjaga keharmonisan bangsa. Jauh daripada itu, ilmu agama Islam yang dibawa oleh para kiai mempunyai jaringan atau sanad yang jelas, menyambung hingga ke Nabi Muhammad dalam mengajarkan ilmu agama Islam.
Dalam usianya yang hampir mencapai satu abad, tantangan yang dihadapi NU makin kompleks, tak hanya skala nasional, tetapi juga global dari berbagai ideologi transnasional yang seolah berlindung di balik demokrasi tetapi faktanya berupaya merongrong dasar negara.
Berbeda dengan tantangan tahun 1966 yang saat itu NU dan bangsa Indonesia usai menghadapi gerakan PKI sebagai dalang bencana, sekarang ini NU menghadapi ideologi puritan dan radikal berbungkus simbol-simbol agama yang terus menebarkan kebencian dan berupaya mengganti dasar negara.
Tetapi NU tidak kalang kabut, tetap tenang dalam menghadapi setiap tantangan yang selama ini memang menjadi karkater para kiai, tenang namun selalu bisa mengatasi persoalan bangsa. Peringatan Harlah saat ini dan Harlah-harlah ke depan bisa bercermin dari peringatan Harlah tahun 1966 yang saat itu NU menginjak usia 40 tahun.
Catatan sejarah terkait Harlah ke-40 NU pernah dicatat oleh Sejarawan NU Abdul Mun’im DZ (2013). Dalam Harlah yang diketuai oleh dua seniman besar NU Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail ini merupakan peringatan Harlah fenomenal NU yang diselenggarakan di Gelora Bung Karno Senayan Jakarta.
Saat itu puncak Harlah Akbar tersebut dihadiri oleh 100.000 orang lebih warga NU yang memadati Stadion GBK hingga memenuhi segala lini stadion dan meluber hingga keluar. Mun’im menulis, Harlah NU yang sangat fenomenal adalah Harlah ke-40 yang diselenggarakan pada 31 Januari 1966 di Gelora Bung Karno yang dihadiri oleh ratusan ribu warga nahdliyin dari seluruh Indonesia. Walaupun stadion tidak muat sehingga hadirin tumpah-ruah di jalanan, tetapi suasana tetap tertib.
Padahal menurut Mun’im, saat itu bangsa Indonesia baru saja terlepas dari peristiwa G30S-PKI, tidak ada lagi kekuatan besar yang mampu mengomando rakyat, tetapi NU bisa. Saat itu NU menjadi stabilisator keamanan negara paling utama, bersama tentara, karena PKI sudah tidak berdaya, PNI sudah tercerai berai, sementara Masyumi sudah lama mati.
Secara historis, pada tahun 1966 tersebut, Mun’im berupaya mengemukakan peran strategis NU dalam menjaga akidah agama Islam yang terus memperkuat tradisi dan budaya lokal, namun di sisi lain, NU juga mampu bersinergi dengan pemerintah untuk selalu menjaga stabilitas negara dari rongrongan ideologi transnasional yang merusak kebhinnekaan. Peran ini terus dilakukan oleh NU hingga usianya yang kini hampir satu abad.
Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online