Fragmen

Cara Unik Belajar Kiai Mahrus Ali Lirboyo

Jumat, 25 Desember 2015 | 03:04 WIB

Cara Unik Belajar Kiai Mahrus Ali Lirboyo

KH Mahrus Ali (wafat 1985), pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo generasi kedua.

Menyimak sejarah kehidupan seorang tokoh besar itu sepertinya tiada habisnya, selalu mengalirkan inspirasi baru dan pelajaran penuh makna. Apalagi yang dibicarakan adalah tokoh ulama atau kiai besar. Satu di antara sekian banyak tokoh ulama di Indonesia itu adalah al-maghfurlah KH Mahrus Ali (wafat 1985), pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo generasi kedua, menantu dari KH Abdul Karim pendiri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.

 

Artikel singkat ini hanya bermaksud menyajikan sepenggal fragmen kecil dari sekian banyaknya fragmen kehidupan KH Mahrus Ali yang meninggalkan begitu banyak keteladanan bagi generasi setelahnya. Oleh karena itu sesuai judul di atas, di sini sekadar hendak membabarkan bagaimana strategi atau metode belajar Kiai Mahrus Ali berdasarkan penuturan beberapa saksi sejarah yang masih menjumpai (menangi) beliau.

 

Salah satu murid dekat beliau, yaitu KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) bercerita bahwa Kiai Mahrus Ali ketika belajar di pondok menggunakan sistem nazar. Misalnya, membuat komitmen pada diri sendiri, seperti, "saya tidak akan keluar kamar sebelum hafal Alfiyah, saya tidak akan pakai baju, sebelum menguasai materi bab ini, dan begitu seterusnya". 

 

Almaghfurlah KH A Idris Marzuki saat diwawancarai tim penulis buku Pesantren Lirboyo, Sejarah, Peristiwa, Fenomena dan Legenda, tahun 2010, menguatkan pernyataan yang disampaikan Gus Mus di atas. Beliau menuturkan bahwa Kiai Mahrus Ali itu sangat kuat dalam memaksa dan menahan diri supaya bisa mempeng (sangat tekun belajar). Kiai Mahrus mereka-reka sendiri, menciptakan pula metode sendiri dalam belajar. Saat masih nyantri, Mbah Kiai Mahrus membangun sebuah kamar yang didesain supaya jika beliau sudah memasukinya akan kesulitan keluar dari ruangan itu. Hal tersebut ia lakukan agar benar-benar dapat fokus muthalaah dan belajar. Jadi model beliau menguasai suatu disiplin ilmu di antaranya seperti itu. Semua keinginan hawa nafsunya ditahan sedemikian rupa.

 

Selain itu, KH. Yasin Asmuni, pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Tullab Petuk Semen Kediri, juga memiliki kenangan khusus saat ia dahulu ikut ngaji dengan Mbah Kiai Mahrus. Kiai Mahrus ketika mengaji, kata Kiai Yasin,  seperti halnya seorang syaarih (komentator kitab). Tidak jarang beliau mengatakan, wahadza dha'ifun, wa hadza mu'tamadun (pendapat ini argumentasinya lemahdan pendapat yang ini kokoh argumentasinya). Bahkan kala itu beliau kerap curiga dengan redaksi yang ada dan mengatakan la'alla showab begini.

 

Di lain sisi, tambah KH. Yasin Asmuni, setiap beliau menyebut nama mushannif (pengarang kitab), pasti doa rahimakumullah selalu beliau lantunkan. Itu menandakan betapa penghormatan Kiai Mahrus Ali pada seorang guru begitu besar.

 

Selanjutnya, Kiai Mahrus Ali dikenal juga sebagai kiai yang suka ikut ngaji pasaran di Bulan Ramadhan ke berbagai pondok pesantren. Bahkan budaya ikut ngaji pasaran ini tetap beliau jalankan meskipun sudah menjadi kiai kharismatik dan mempunyai anak.

 

Sementara itu, menurut KH M Anwar Mansur, menantu Kiai Mahrus, keteladanan Mbah Kiai Mahrus yang perlu kita ikuti adalah kemempengannya (kesungguhannya) dan proporsionalitas serta konsistensi beliau dalam mengatur dan menggunakan waktu. Aktivitas keseharian beliau dijadwal secara teratur. Mulai waktu untuk istirahat, untuk shalat tahajud, waktu muthalaah (mengkaji ulang pelajaran), sampai waktu khusus yang dialokasikan untuk mengulang pelajaran sehabis shalat Subuh. Bagi Mbah Mahrus,waktu merupakan sesuatu yang tidak ternilai harganya, sehingga beliau seproporsional mungkin dalam mengatur waktu. Jadi ada waktu-waktu khusus yang beliau alokasikan seperti waktu untuk menghapal jam berapa, waktu nderes jam berapa, serta waktu istirahatpun beliau perhatikan.

 

Demikian selintas dari sebagian metode dan karakter KH Mahrus Ali ketika belajar dan mengaji. Salah satu nasihat bijak masyayiikh (guru-guru sepuh) menyatakan, "melihat seorang tokoh besar itu jangan cuma ketika ia telah menjadi tokoh besar (nihayah) saja, tetapi lihat pula bagaimana mereka saat menjalani proses panjang (bidayah) sebelum mereka sukses dan berhasil menjadi seorang tokoh." Spirit maqalah itu pula yang kami tuju dari tulisan pendek sederhana ini. 

 

M. Haromain, alumnus MHM Lirboyo 2010, dan anggota tim penulis buku “Pesantren Lirboyo, Sejarah, Peristiwa, Fenomena dan Legenda, terbit 2010 pada peringatan satu abad PP. Lirboyo. Data dalam tulisan ini diambil dari buku tersebut.


Terkait