Namun, ada kalanya juga Kakek Gus Dur itu menghadapi masalah yang cukup berat dan tidak bisa dihadapinya sendiri. Sehingga membutuhkan orang-orang yang bisa dijadikan partner berpikir dan bertindak untuk menyelesaikan masalah tersebut.
KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001) menyampaikan riwayat dari KH Wahid Hasyim, putra Hadhratussyekh bahwa jika pada suatu ketika Kiai Hasyim Asy’ari menghadapi masalah cukup berat sehingga tidak bisa diatasi sendiri, maka orang pertama yang dimintai pendapatnya adalah KH Wahab Chasbullah dan KH Bisri Syansuri.
Tiga tokoh ulama besar ini merupakan tritunggal yang masing-masing mempunyai maziyah atau nilai kelebihan, tetapi saling memerlukan antara yang satu dengan yang lainnya.
Suatu ketika, KH Wahab Chasbullah (1888-1971) sekitar tahun 1924 menggagas pendirian Jam’iyyah yang langsung disampaikan kepada Kiai Hasyim Asy’ari untuk meminta persetujuan. Namun, Kiai Hasyim tidak lantas menyetujui terlebih dahulu sebelum ia melakukan sholat istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT.
Sikap bijaksana dan kehati-hatian Kiai Hasyim dalam menyambut permintaan Kiai Wahab juga dilandasi oleh berbagai hal, di antaranya posisi Kiai Hasyim saat itu lebih dikenal sebagai Bapak Umat Islam Indonesia (Jawa).
Kiai Hasyim juga menjadi tempat meminta nasihat bagi para tokoh pergerakan nasional. Peran kebangsaan yang luas dari Kiai Hasyim Asy’ari itu membuat ide untuk mendirikan sebuah organisasi harus dikaji secara mendalam.
Hasil dari istikharah Kiai Hasyim Asy’ari dikisahkan oleh KH As’ad Syamsul Arifin. Kiai As’ad mengungkapkan, petunjuk hasil dari istikharah Kiai Hasyim Asy’ari justru tidak jatuh di tangannya untuk mengambil keputusa.
Besarnya jasa dan peran Kiai Wahab Chasbullah dalam membawa setiap pergerakan keagamaan dan kebangsaan ke arah persatuan dan kedaulatan bangsa membuatnya disebut sebagai seorang ‘sopir’, pengemudi, pengendali. Meskipun dirinya juga pernah menjadi sopir beneran ketika membawa para kiai ke sebuah kota di Banyumas, Jawa Tengah.
Riwayat Kiai Wahab menjadi sopir diceritakan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013). Peristiwa tersebut terjadi tahun 1932 ketika Saifuddin Zuhri berusia 14 tahun. Ia melihat sebuah mobil Chevrolet berisi ulama-ulama besar di antaranya Hadlratussyekh Hasyim Asy’ari dan KH Bisri Syansuri.
Mobil merek terkemuka pada zamannya hingga di era sekarang ini datang dari Cirebon, Jawa Barat dan singgah di kota kecil kelahiran Saifuddin Zuhri, Sokaraja, Banyumas untuk melantik berdirinya cabang NU. Kedatangan mobil yang membawa para tokoh besar NU dan bangsa Indonesia itu membuat antusiasme tinggi masyarakat Banyumas kala itu karena yang mengemudikannya adalah Kiai Wahab sendiri dengan setelan sarung dan sorbannya.
Pemandangan tersebut menggambarkan bahwa Kiai Wahab adalah ‘sopir’, pengemudi NU yang di dalamnya berkumpul tokoh-tokoh ulama seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Abdullah Faqih, dan Kiai Bisri Syansuri. Juga ‘sopir’ politik yang mengemudikan kebijaksanaan politik Partai Masyumi yang di dalamnya duduk para politisi intelektual seperti Dr Sukiman, Mr. Yusuf Wibisono, Mr. Kasman Singadimedjo, Muhammad Natsir, Mr. Muhamad Roem, Mr. Syafruddin Prawiranegara, dan lain-lain.
Sedangkan KH Bisri Syansuri merupakan salah seorang santri yang pernah berguru kepada berbagai ulama, baik di dalam negeri, maupun luarnegeri. Salah seorang sahabat yang kemudian menjadi kakak iparnya saat menuntut ilmu itu adalah KH Wahab Chasbullah. Mereka bersama-sama saat di Bangkalan berguru kepada Syaikhona Kholil Bangkalan dan saat di Tebuireng kepada Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Penulis: Fathoni Ahmad