Fragmen

Grand Syekh Al-Azhar di Mata Ulama Indonesia (I)

Ahad, 6 Mei 2018 | 11:15 WIB

Grand Syekh Al-Azhar di Mata Ulama Indonesia (I)

Syekh Al-Azhar Dr Abdul Halim Mahmud

Awal pekan ini gedung PBNU dihadiri Grand Syekh Al-Azhar Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb. Ia berdialog dengan Ketua Umum PBNU dan membahas permasalahan aktual dunia Islam terkini. Sang syekh datang sehari sebelumnya ke Indonesia melalui Bandara Halim Perdanakusumah. Kemudian dijamu langsung Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka. 

Pada tahun 1976, Indonesia pernah juga kedatangan grand syekh dari universitas terkemuka di Mesir itu, bahkan dunia, terutama bagi kaum Muslimin. Waktu itu, yang menyandang grand syekh adalah Prof. Dr Abdul Halim Mahmud (wafat 1978). Ia pemimpin tertinggi lembaga-lembaga Al-Azhar sejak 1970 hingga 1978.
 
Ia hadir ke Indonesia di antaranya turut memperingati kemerdekaan Indonesia. Karena kebetulan saat itu bulan Ramadhan, ia berkenan berbuka puasa dengan beberapa tokoh Indonesia, di antaranya KH Saifuddin Zuhri. 

Kiai Saifuddin merupakan orang yang pernah bertemu dengan beberapa Syaikhul Azhar di antaranya  Fadhilatus Syekh Muhammad Syalthut, Fadhilatus Syekh Makmun, Fadhilatus Syekh Muhammad Al-Farkham.

Menurut penilaian KH Saifuddin Zuhri (Secercah Dakwah, 1983), Syekh Abdul Halim Mahmud adalah tamu agung Indonesia karena memiliki kedudukan terhormat di negaranya. Ia juga seorang yang memiliki kepribadian akhlak tasawuf dan memiliki ilmu yang dalam dan luas. Reputasinya sebelum menjadi grand syekh adalah seorang Menteri Urusan Wakaf Mesir yang bersih. 

Menurut Kiai Saifuddin, grand syekh sepadan dengan rektor seperti di kampus-kampus lain. Namun di Al-Azhar sering disebut Syaikhul Azhar yang memperoleh panggilan Fadhilatus Syekh. 

Kiai Saifuddin mengutip pendapat HAMKA yang mengatakan, sejak zaman monarki, syaikhul azhar pada urusan protokoler, ditempatakan pada urutan setelah raja dan perdana menteri. 

Pakar Tafsir Al-Qur'an Indonesia, KH Muhammad Quraish Shihab merupakan salah satu murid Syekh Abdul Halim Mahmud sewaktu masih kuliah di Universitas Al-Azhar di Fakultas Ushuluddin. Tentu saja ia memiliki kesan khusus dan mendalam tentangnya. 

Pada kata pengantar salah satu bukunya yang berjudul Logika Agama, Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam Islam (Lentera Hati, 2005), ia menyatakan, Syekh Abdul Halim juga digelari dengan Imam Al-Ghazali Abad XIV H. 

Sang Syekh merupakan tokoh yang sangat sederhana dan tulus. Meskipun sudah menjadi imam kaum muslimin, dia tetap menghuni rumah yang begitu sederhana.  Ia  kerap berangkat naik bus umum bersama Syekh Abdul Halim Mahmud menuju fakultas. 

Sebagaimana dikemukakan Kiai Saifuddin, sang syekh memiliki akhlak yang mengagumkan. Quraish Shihab memberikan catatan, salah satu karakter sang syekh yang sangat mengesankan adalah, walaupun dapat meraih gelar PhD dari Sorbonne University di Prancis dan sempat hidup lama di Paris (sejak 1932-1942), tetapi hiruk-pikuk dan glamornya kota itu, sedikitpun tak berbekas pada pikiran dan hatinya. Syekh Abdul Halim tetap mampu memelihara identitas keislamannya. Di samping itu, menurut Quraish Shihab, penghayatan dan pengamalannya menyangkut nilai-nilai spiritual sungguh sangat mengagumkan.

Kendati tokoh pengagum Imam al-Ghazali ini merupakan seorang pengamal tasawuf yang tentunya sangat percaya kepada hal-hal yang bersifat supra-rasional (ghaib), namun di sisi lain, Syekh Abdul Halim juga diakui oleh semua pihak tentang perjuangan dan kegigihannya dalam menjelaskan ajaran-ajaran Islam secara rasional.

Karena kegigihan dan perjuangan dalam membela dan memperkuat argumentasi ajaran-ajaran Islam itulah, kata anggota dewan pentashih Al-Qur'an itu, maka Syekh Abdul Halim Mahmud terpilih menjadi Imam Akbar, Syekh Al-Azhar. (Abdullah Alawi)



Terkait