Fragmen

Grand Syekh Al-Azhar di Mata Ulama Indonesia (II)

Senin, 7 Mei 2018 | 12:30 WIB

Pada tahun 1976, Indonesia mendapat kunjungan Grand Syekh Universitas Al-Azhar yaitu Prof. Dr Abdul Halim Mahmud. Ia memimpin lembaga-lembaga Al-Azhar sejak 1970 hingga 1978. Sekretaris Jenderal PBNU waktu itu, KH Saifuddin Zuhri adalah salah seorang yang bertemu dengannya. 

Kemudian Kiai Saifuddin mengungkapkan pertemuan pertamanya dengan syekh itu dengan penuh rasa takjub dan hormat. Bahkan pertemuannya itu mengingatkannya kepada masa kecil, kepada kitab-kitab salaf yang pernah dipelajarinya di pesantren. 

Menurut Kiai Saifuddin, sang syekh bertubuh kecil, apalagi menurut ukuran orang Mesir. Busananya hanya jalabiah sebangsa qamis berwarna hitam (kemeja terusan hingga lutut, pakaian nasional petani Mesir), dengan tentu saja ‘amamah dan sorban melilit di kepalanya. Ia juga memegang tasbih berwarna kuning. Di sela rileksnya dalam melayani tamu, jari-jemarinya menggerak-gerakkan tasbih itu.

Jemari dan tasbihnya itu, mengingatkan Kiai Saifuddin pada apa yang dikatakan Imam As-Shan’ani: Menurut Imam Nawawi (ulama ahli hadits 1233-1277 M), berdzikir dengan lisan menyertai hati yang hudhur itu lebih utama daripada berdzikir hanya di dalam hati. Sebabnya, pekerjaan dua anggota tubuh, hati dan lisan, untuk hal yang diridhai Allah, lebih utama dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan satu anggota badan. Demikian pula pekerjaan yang dilakukan tiga anggota tubuh lebih utama dibanding pekerjaan yang dilakukan dua anggota tubuh. Pendek kata, lebih banyak lagi anggota tubuh ikut bekerja, lebih utamalah berdzikir itu.

Dengan demikian, menurut Kiai Saifuddin, apa yang dilakukan sang syekh itu merupakan dzikir yang sama sebangun dengan apa yang diterimanya dari gurunya ketika di pesantren. 

Kiai Saifuddin melanjutkan kesannya tentang Syekh Abdul Halim Mahmud. Meskipun telah menempuh perjalanan jauh dan tentu saja penat, tapi tak tampak keletihan di mukanya. Padahal usianya hampir 70 tahun. Wajahnya bersinar, air mukanya berseri-seri selama melayani tamu dan wawancara. Tamu-tamunya itu berbeda kualitas tetapi tetap ditanggapinya. 

Air muka itu, mengingatkan Kiai Siafuddin pada kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali. Di dalam kitab itu disebutkan, Apabila kamu melihat seorang mukmin pendiam dan tengan, dekatilah! Sesungguhnya dialah orangnya yang layak mengajarkan hikmah dan kebijaksanaan. 

“Manusia tidak diukur oleh gumpal dagingnya dan bingkah lemaknya, martabatnya tidak ditentukan pakaiannya!” ungkap Kiai Saifuddin. 

Menurut Kiai Saifuddin, Syekh Abdul Halim Mahmud bertegur sapa dengan sopan seolah-olah ia telah mengenal sejak lama dengan kawan bicaranya. Padahal itu untuk pertama kalinya. Ia kemudian mengungkapkan “alangkah bodohnya orang-orang yang menilai harga manusia karena potongan tubuhnya, apalagi menaksir harga seseorang dari merk mobilnya.”

Namun, Kiai Saifuddin menyayangkan ia tak mendapatkan waktu yang leluasa untuk mengobrol dan berdisikusi dengan ulama itu. Mau tak mau ia hanya bisa menyelaminya melalui karya-karyanya. 

Ketika ia meninggal, pada tahun 1978, Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Islam Internasional yang dipimpin tokoh NU, KH Ahmad Syaikhu mengadakan sebuah peringatan sebagai penghormatan terakhir kalinya.  

Kiai Ahmad Saikhu pada peringatan itu mengatakan, kegiatan itu artinya memperingati seorang ulama besar tokoh kemanusiaan yang telah membaktikan dirinya bagi kesejahteraan umat manusia dunia akhirat. 

“Kita peringati jasa-jasa orang besar yang membaktikan umurnya untuk kebahagiaan orang banyak. Meski kita sedih dengan wafatnya orang besar ini, namun kita mendapat doirongan untuk berbuat lebih baik agar generasi muda khsususnya dan umat kita pada umumnya bekerja lebih tekun, lebih sempurna untuk mewarisi ilmunya dan melanjutkan karya baktinya.” (Abdullah Alawi) 


Terkait