Jungkir Balik Perjuangan Santri Melawan Penjajah: Dari Perlawanan Kultural, Hizib, hingga Angkat Senjata
Senin, 24 Oktober 2022 | 15:00 WIB
Ilustrasi perjuangan santri melawan penjajah Jepang dalam potongan film Sang Kiai. (Foto: dok. istimewa)
KH Muhammad Hasyim Asy’ari ulama pejuang yang melahirkan dan menggerakkan banyak santri pejuang kemerdekaan. Sebagai pengasuh pesantren dan pemimpin spiritual perjuangan bangsa Indonesia, ia kerap mengeluarkan fatwa-fatwa perlawanan terhadap kolonial Belanda. Antara lain fatwa mengharamkan kaum Muslimin bekerja sama dengan Belanda dalam bentuk apapun dan dengan cara apapun dari Belanda.
Beliau juga mengeluarkan fatwa wajibnya melawan Belanda dan merebut kemerdekaan dari kaum penjajah. Fatwa yang ternyata mempunyai gaung luar biasa di seluruh Nusantara saat itu. Fatwa-fatwa perlawanan KH Hasyim Asy’ari tersebut masih sebatas perlawanan kultural.
Namun berjalannya waktu, perjuangan berubah dari perlawanan kultural ke perlawanan bersenjata. Termasuk kalangan santri dan warga pesantren yang tak kalah semangatnya dalam mengangkat senjata melawan penjajah. Sejarah mencatat, mengangkat senjata tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki, tetapi juga dilakukan oleh kaum perempuan di dalam organisasi Muslimat NU.
Meskipun melakukan perlawanan dalam bentuk mengangkat senjata, para kiai juga tetap memperkuat riyadhoh rohaniyah dengan bacaan doa, wirid, dan hizib. Kalangan pesantren tetap meyakini tidak ada kekuatan yang lebih dahsyat melainkan kekuatan dari Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Jalan riyadhoh rohaniyah ditempuh untuk tetap memperoleh ridha dan kekuatan dari Allah swt.
Wirid KH Hasyim Asy’ari
Kisah memperkuat wirid dan doa dalam melawan dan menghadapi penjajah dilakukan oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Ketika dipenjara dan mengalami siksa pedih dari tentara Jepang untuk alasan yang tidak pernah diperbuatnya, pemberontakan di Cukir.
Meski mengalami beragam kekerasan di dalam penjara, kakek dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak menyurutkan sedikit pun semangat menegakkan agama Allah dengan tetap melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan mengulang hafalan hadits-hadits dalam kitab Al-Bukhari dan menolak dengan tegas agar hormat menghadap matahari sebagai sikap tunduk dan patuh kepada Kaisar Jepang, Teno Heika.
Kisah keteguhan hati Kiai Hasyim Asy’ari dengan tetap menghafal Al-Qur’an dan Kitab Hadits Al-Bukhari sebagai wiridan selama dipenjara oleh Jepang diriwayatkan oleh Komandan Hizbullah wilayah Jawa Tengah, KH Saifuddin Zuhri saat berbincang dengan KH Wahid Hasyim dalam sebuah kesempatan sesaat setelah Kiai Hasyim Asy’ari dibebaskan oleh Jepang melalui diplomasi KH Abdul Wahab Chasbullah dan Gus Wahid sendiri. (baca KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, 2013).
"Bagaimana kabar Hadlratussyekh setelah keluar dari tahanan Nippon?" tanya Kiai Saifuddin Zuhri mengawali obrolan dengan Kiai Wahid Hasyim.
Kiai Wahid Hasyim menjelaskan bahwa kesehatan ayahnya justru semakin membaik. Bahkan salah satu perumus dasar negara Indonesia itu mengabarkan bahwa ayahnya selama di penjara mampu mengkhatamkan Al-Qur’an dan Kitab Hadits Al-Bukhari berkali-kali.
"Alhamdulillah, kesehatannya justru semakin membaik. Selama dalam penjara, Hadlratussyekh bisa mengkhatamkan Al-Qur’an dan Kitab Hadits Al-Bukhari berkali-kali," terang Kiai Wahid Hasyim kepada Saifuddin Zuhri.
Muhammad Asad Syihab dalam Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari: Perintis Kemerdekaan Indonesia (1994) menjelaskan bahwa perjalanan hidup Hadratussyekh penuh dengan perjuangan demi tanah airnya. Perlawanan beliau melawan penjajah Belanda dilakukan dengan ucapan maupun pergerakan.
Santri dan kesaktian bambu runcing
Sejarah mencatat bahwa perjuangan di luar nalar manusia pada umumnya tersaji ketika para kiai dan santri berhasil memukul mundur penjajah dengan hanya bermodal bambu runcing dan senjata tradisional lainnya.
Berbagai langkah dan strategi dilakukan walaupun dengan menggunakan senjata tradisional, bambu runcing demi membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan untuk mencapai kemerdekaan lahir dan batin.
Bambu runcing, karakternya yang tegak, kuat, gagah, dan tajam tidak lantas membuat para pejuang berhenti berikhtiar untuk mengisi bambu runcing dengan kekuatan doa dari seorang ulama sepuh dari daerah Parakan, Magelang, Jawa Tengah, Kiai Haji Subchi yang pada tahun 1945 telah berusia sekitar 90 tahun.
Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010) mengungkap, ratusan bahkan ribuan tentara sabil, baik Hizbullah dan Sabilillah juga Tentara Keamanan Rakyat (TKR) selalu membanjiri rumah Kiai Subchi untuk menyepuh bambu runcingnya dengan doa. Bahkan untuk keperluan menyemayamkan kekuatan spiritual ini, Jenderal Soedirman dan anak buahnya juga berkunjung ke rumah kiai yang dijuluki sebagai Kiai Bambu Runcing tersebut.
Doa yang diucapkan oleh Kiai Subchi untuk menyepuh ribuan bambu runcing adalah sebagai berikut (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010: 132):
Bismillahi
Ya hafidhu, Allahu Akbar
Dengan nama Allah
Ya Tuhan Maha Pelindung
Allah Maha Besar.
Kisah penyepuhan bambu runcing yang dilakukan oleh Kiai Subchi ini dijelaskan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya Guruku Orang-orang dari Pesantren (LKiS, 2001). Dalam salah satu buku memoar sejarah tersebut, dijelaskan bahwa hampir bersamaan ketika terjadi perlawanan dahsyat dari laskar santri dan rakyat Indonesia di Surabaya pada 10 November 1945, rakyat Semarang mengadakan perlawanan yang sama ketika tentara Sekutu juga mendarat di ibu kota Jawa Tengah itu.
Dari peperangan tersebut, lahirlah pertempuran di daerah Jatingaleh, Gombel, dan Ambarawa antara rakyat Indonesia melawan Sekutu (Inggris). Kabar pecahnya peperangan di sejumlah daerah tersebut juga tersiar ke daerah Parakan. Dengat niat jihad fi sabilillah untuk memperoleh kemerdekaan dan menghentikan ketidakperikemanusiaan penjajah, Laskar Hizbullah dan Sabilillah Parakan ikut bergabung bersama pasukan lain dari seluruh daerah Kedu.
Hizib Nashar KH Dalhar Watucongol
Peperangan di wilayah Jawa Tengah lainnya juga terjadi di Magelang. Diriwayatkan oleh KH Saifuddin Zuhri (1919-1986), ulama se-Magelang mengadakan pertemuan di rumah Pimpinan Hizbullah di belakang Masjid Besar Kota Magelang pada 21 November 1945. Pertemuan ini dilaksanakan pada tsulutsail-lail atau saat memasuki duapertiga malam (sekitar pukul 03.00 dini hari).
Ulama yang dipanggil sedianya hanya 70 orang, namun yang hadir melebih ekspektasi yaitu 200 orang ulama dalam pertemuan riyadhoh ruhaniyah itu. Para ulama menilai, gerakan batin atau gerakan rohani ini untuk menyikapi situasi genting yang terjadi di dalam Kota Magelang dan sekitarnya, terutama sepanjang garis Magelang-Ambarawa-Semarang. Karena di Pendopo rumah Suroso tidak cukup, sebagian ditempatkan di markas Sabilillah yang jaraknya 100 meter.
Disaat ratusan ulama sudah terkumpul, mayoritas hadirin berharap-harap cemas ketika menanti kedatangan sejumlah ulama khos yang belum hadir, di antaranya KH Dalhar (Pengasuh Pesantren Watucongol), KH Siroj Payaman, KH R. Tanoboyo, dan KH Mandhur Temanggung. Mereka adalah ulama 'empat besar' untuk Magelang dan sekitarnya yang akan memimpin riyadhoh ruhaniyah tersebut.
Dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh Letkol M. Sarbini dan Letkol A. Yani dan satu regu pengawal siap tempur itu, para ulama dan rakyat dipimpin ulama 'empat besar' itu membaca aurad yang sudah terkenal di kalangan ulama Ahlussunnah wal Jamaah antara lain, Dalail Khoirot, Hizib Nashar li Abil Hasan Asy-Syadzili, Hizib al-Barri, dan Hizib al-Bahri, keduanya Li Abil Hasan Asy-Syadzili yang termasyhur.
Namun, asisten (dulu biasa disebut kurir yang bertugas membawa informasi rahasia) yang mengawal M. Sarbini dan A. Yani melapor bahwa tentara Inggris sedang membuat gerakan mundur meninggalkan Magelang. KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013) mencatat bahwa seketika itu Gedung Seminari Katolik dikosongkan. Mereka mengangkut semua perlengkapan. Bukan hanya persenjataan, tetapi juga alat perbekalan dan perabotan rumah tangga.
Dalam proses evakuasi tentara Inggris tersebut, Sekutu menyertakan seluruh serdadu kulit putih, Gurkha, bekas tentara Nippon, dan serdadu NICA. Menurut laporan kurir itu pula, gerakan evakuasi Sekutu dimulai pukul 04.00 menjelang subuh.
Ketika kurir itu menyebutkan bahwa Inggris meulai meninggalkan gedung Seminari Katolik, Kiai Saifuddin Zuhri yang juga bersama Sarbini dan A. Yani mendengar laporan tersebut tetiba teringat kembali pada saat KH Dalhar bermunajat dengan Hizib Nashar. Ia meyakini bahwa dua kejadian tersebut, yaitu proses evakuasi oleh Sekutu dan munajat Kiai Dalhar berbarengan. Kiai Saifuddin menyebut dalam proses tersebut Kiai Dalhar sampai pada bagian (dari Hizib Nashar) ini:
Nas’aluka al ‘ajala Ilaahi, al-ijaabah. Ya man ajaaba Nuuhan fii qaumihi. Ya man nashara Ibrohima ‘aala a’daaihi. Ya man rodda Yusufa ‘alaa Ya’quba. Ya man kasyafa dhurra Ayyuba. Ya man ajaaba da’wata Zakaria. Ya man qabila tashbiha Yunusa ibni Matta. Nas’aluka bia asroori haadzihidda’waati an tataqobbala maa bihi da’aunaaka wa an tu’thianaa maa sa’alnaaka...
(Kami mohon pertolongan-Mu itu datanglah sekarang, sekarang, dengan segera, Ya Tuhan, kabulkanlah permohonan ini, kabulkanlah! Ya Allah, Tuhan kami yang mengabulkan doa Nabi Nuh ketika menghadapi kaumnya. Ya Allah Tuhan kami yang memberi pertolongan kepada Nabi Ibrahim yang mengalahkan musuh-musuhnya. Ya Allah Tuhan kami yang mengembalikan Nabi Yusuf ke pangkuan Nabi Ya’qub. Ya Allah Tuhan kami yang menghilangkan penderitaan Nabi Ayyub. Ya Allah Tuhan kami yang memenuhi doa Nabi Zakaria. Ya Allah Tuhan kami yang menerima perkenan atas tasbih Nabi Yunus bin Matta. Ya Allah Tuhan kami, dengan mengharapkan hikmat dan rahasia doa-doa ini, mohon kiranya Engkau memperkenankannya dan mengabulkan segala yang kami maksudkan kepada-Mu, kiranya Engkau memenuhi segala yang kami mintakan kepada-Mu...)
KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001) menjelaskan, riyadhah-ruhani selain meningkatkan semangat pembelaan tanah air, juga untuk mengamalkan beberapa wirid. Hizbur Rifa’i, Hizbul-Bahr, Hizbun Nashr, Hizbun Nawawi, Hizbus Saif, doa lainnya dipompakan dalam Riaydhah yang berbentuk Latihan Rohani itu.
KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013) juga mencatat bahwa kiai-kiai dari Jombang, Gresik, Pasuruan dan dari sekitar Surabaya menyerang musuh sambil meneriakkan doa-doa dalam sejumlah hizib. Pertama kali dalam sejarah perang di Indonesia melawan penjajah, kalimat takbir, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar bershut-sahutan dengan letusan bom dan rentetan suara mitraliur.
Kiai Saifuddin Zuhri menjelaskan bahwa tentara Inggris membawa bendera sekutu yang terdiri dari orang India dan Gurkha, serdadu-serdadu Belanda yang membonceng Sekutu, dan bekas serdadu Nippon yang dimanfaatkan sebagai perisai.
Walaupun Inggris hanya menguasai Gedung Seminari Katolik di bibir alun-laun dan sepanjang jalan raya Poncol Stasiun Kota Magelang, namun Jalan Raya Ambarawa-Semarang dan Ambarawa-Magelang bisa dikuasai pula berkat pasukan tank dan pesawat terbang mereka. Namun, strategi dan serangan tiba-tiba yang dilakukan oleh Laskar Hizbullah dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berhasil mengusir tentara seukutu.
Sekutu yang digerakkan oleh tentara Inggris berupaya mengevakuasi diri. Di tengah keberhasilan mengusir sekutu, ternyata di luar sana KH Dalhar Watucongol telah setengah jalan membaca Hizib Nashar diikuti oleh santri dan para pejuang lainnya yang berkumpul melakukan gerakan ruhani. Di antara yang juga dibaca ialah Dalailul Khoirot, Hizib al-Barri, Hizb al-Bahri keduanya li Abil Hasan Asy-Syadzili.
Shalawat Nariyah
Di tengah-tengah kecamuk di daerah Magelang tersebut, kantor-kantor, termasuk markas hizbullah dikosongkan selama tiga hari. Jalan Raya Poncol Magelang menjadi sepi. Penduduk sepanjang jalan tersebut banyak yang mengungsi. Meskipun berhasil kembali dikuasai oleh Laskar Hizbullah dan TKR, namun masyarakat tetap memilih mengungsi karena bisa sewaktu-waktu tentara Sekutu kembali menyerang.
Di tengah kondisi yang sepi, KH Saifuddin Zuhri yang sedang melakukan perjalanan kembali ke tempat tinggalnya setelah mengunjungi Kantor Karesidenan Magelang. Ia berjalan kaki menempu jarak sekitar satu kilometer. Baru sampai di belakang Hotel Tidar, 200 meter dari rumah Abdul Wahab Kodri (Sekrteris NU Magelang), gemuruh yang berasal dari benturan dua benda keras terdengar disusul oleh berondongan peluru dari senjata jenis mitraliur (sebuah senjata api yang menggabungkan kemampuan menembak otomatis senapan mesin dengan amunisi pistol).
Benturan benda-benda keras tersebut dua-duanya saling bersahutan dan berbarengan sehingga cukup memekakkan telinga. Dua-duanya bersumber dari iring-iringan pasukan tank yang memlopori pendudukan serdadu-serdadu Inggris atas Kota Magelang.
Kiai Saifuddin Zuhri seketika bertiarap dan berguling memasuki pekarangan rumah warga agar bisa merangkak menuju tempat yang lebih aman. Di tengah ia berjibaku mengamankan diri, ia membaca sebuah wirid secara lirih. Wirid yang ia lakukan sejak dalam pusat latihan Hizbullah di Cibarusa ialah 'Shalawat Nariyah'. (KH Saifuddin Zuhri, 2013: 347).
Wirid Shalawat Nariyah membawa Kiai Saifuddin Zuhri keluar dari lobang jarum. Ia sendiri tidak bisa membayangkan ketika bisa meloloskan diri dari kemelut maut tersebut. Akhirnya ia berhasil tiba di sebuah tempat di mana beberapa kawan para kiai juga dalam kondisi siap siaga di markas Sabilillah.
Fathoni Ahmad, Redaktur Pelaksana NU Online