Kenangan KH Saifuddin Zuhri Menulis Buku ‘Palestina dari Zaman ke Zaman’
Sabtu, 25 Juli 2020 | 08:01 WIB
Problem ketertindasan rakyat Palestina merupakan keprihatinan tersendiri bagi ulama-ulama NU sejak dulu. Berbagai diplomasi dan penggalangan bantuan dilakukan demi kedaulatan rakyat Palestina di tengah kesewenang-wenangan Zionisme Israel.
Krisis kemanusiaan di Palestina dirasakan betul oleh KH Saifuddin Zuhri, salah seorang tokoh NU yang hidup di zaman penjajahan, pergerakan nasional, Sekjen PBNU hingga pada akhirnya menjabat Menteri Agama di akhir-akhir era kepemimpinan Bung Karno.
Bahkan Kiai Saifuddin Zuhri secara tegas menyatakan bahwa hak bangsa Arab atas palestina bersendikan atas sejarah, kejadian, kenyataan, keharusan keadilan, dan perikemanusiaan. Sebaiknya, hak bangsa Yahudi atas Palestina bersendikan pada ketamakan dan perampasan semata. (Buku Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013: 430).
Pernyataan tersebut terlontar berdasarkan sidang ormas-ormas Islam yang tergabung di dalam Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), termasuk NU dan Muhammadiyah yang berlangsung di Yogyakarta pada 18 Desember 1947. Sidang tersebut khusus membahas masalah Palestina.
Dalam sidang tersebut dihasilkan tiga keputusan. Pertama, menganjurkan kepada seluruh bangsa Indonesia untuk membantu perjuangan Palestina. Kedua, menganjurkan kepada Pemerintah RI agar menetapkan sikapnya untuk membantu perjuangan bangsa Arab di Palestina. Ketiga, mengharap agara Dewan Keamanan PBB meninjau kembali keputusan Pleno PBB tentang pembagian Palestina yang menjadi sebab terganggunya ketenteramana dunia.
Prahara rakyat Palestina menginspirasi Kiai Saifuddin Zuhri untuk menulis buku yang diberi judul Palestina dari Zaman ke Zaman pada bulan Desember 1947. Buku tersebut lahir ketika Indonesia masih dalam suasana revolusi bangsa, di tengah-tengah ibu kota Republik Indonesia yang karena berbagai pertimbangan strategis berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta.
Namun, Kiai Saifuddin Zuhri mengungkapkan, sayangnya buku yang penerbitannya disponsori oleh Perpustakaan Islam Yogyakarta tersebut bernasib buruk. Belum sempat edar, masih dalam penyelesaian akhir dalam percetakan, tapi sudah porak-poranda akibat agresi Belanda atas Yogyakarta pada 19 Desember 1948.
Dalam buku tersebut, Kiai Saifuddin Zuhri di antaranya menulis sejumlah argumentasi bahwa sejarah dan keadilan tidak akan membenarkan bahwa seorang tamu (bangsa Yahudi), yang asing, yang tidak memiliki keterikatan apapun, merampas hak dan akhirnya mengusir tuan rumah. Demikian juga sejarah pasti akan membenarkan tiap bangsa yang memperjuangkan nasibnya, apalagi dengan sebesar-besarnya perngorbanan, sebagai yang dilakukan oleh bangsa Arab di Palestina.
Kiai Saifuddin Zuhri menegaskan, mustahil bangsa Arab yang telah memperjuangkan nasib bangsanya dengan pengorbanan yang sangat besar, mengangkat senjata melawan saudaranya sendiri (Turki), menyerahkan mentah-mentah apa yang sudah diperolehnya kepada bangsa asing yang datang (Yahudi) untuk menindas dan memperbudaknya.
Dahulu, bangsa Turki hanya menjadi hakim (pelindung tinggi) di Palestina, dan sama sekali tidak menjajah. Saat itu persaudaraan antara bangsa Turki dan bangsa Arab pun telah dipertalikan sejak berabad-abad oleh Islam (sesama Muslim).
Jauh sebelum itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dibawah pimpinan KH Mahfudz Shiddiq pada 12 November 1938, tepatnya di bulan Ramadhan tanggal 19 mengedarkan seruan kepada seluruh ormas Islam di Indonesia.
Seruan yang diinisiasi NU itu mengajak kepada seluruh elemen bangsa untuk mengambil sikap tegas atas apa yang dilakukan oleh bangsa Yahudi. NU menyerukan kepada umat Islam agar bahu-membahu dengan rakyat Palestina dalam memperjuangkan agama dan kemerdekaan tanah air mereka dari cengkeraman kaum penjajah dan komplotan zionisme. (KH Saifuddin Zuhri, 2013: 426)
Gerakan perlawanan tersebut juga dilakukan dengan kegiatan Palestina Fons (Dana Palestina) sebagai bantuan untuk meringankan beban perjuangan penderitaan. Bukan hanya dengan penggalangan dana, tetapi cabang-cabang NU di seluruh Indonesia juga melakukan gerakan ‘Pekan Rajabiyah’.
Gerakan tersebut atas instruksi PBNU agar setiap tanggal 27 Rajab sebagai Pekan Rajabiyah. Sebuah pekan yang menggabungkan perayaan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW dengan solidaritas terhadap perjuangan rakyat Palestina merdeka.
Kepada seluruh warga NU dan umat Islam pada umumnya, PBNU juga menganjurkan agar tiap-tiap shalat fardhu membaca qunut nazilah. Anjuran yang dibuat PBNU itu membuat KH Mahfudz Shiddiq mendapat panggilan dari regent (bupati) Surabaya. Ia diberi tahu perintah Hoofdparket (setingkat jaksa agung) yang melarang qunut nazilah dan kegiatan Pekan Rajabiyah.
Pelarangan kegiatan yang diinisiasi PBNU itu mendapat pembelaan dari Haji Agus Salim, Pengurus Besar PSII. Ia menulis pembelaan tersebut dalam surat kabar Tjahaja Timoer. Ulama Nusantara, khususnya kiai-kiai pesantren memang tidak tanggung-tanggung dalam melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan.
Hingga saat ini, ulama pesantren terus-menerus mendorong Pemerintah RI agar mengupayakan kedaulatan bangsa Palestina di tengah ekspansi permukiman yang dilakukan orang-orang Israel.
Kedaulatan diperoleh rakyat Palestina di meja Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, hal itu tidak sejurus dengan kondisi di lapangan, di mana rakyat Palestina masih terus berusaha memperoleh kedaulatannya. Problem terakhir, rakyat Palestina menghadapi rencana aneksasi (pencaplokan) wilayah Tepi Barat oleh Israel.
Menurut PBB, pencaplokan tersebut tidak hanya melanggar hukum internasional tetapi juga akan membuat kawasan Timur Tengah tidak stabil. Aneksasi tersebut akan merusak peta damai solusi dua negara untuk mengakhiri konflik mereka selama ini.
Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi