Fragmen

Ketika Mahbub Djunaidi Membela Subhan ZE

Sabtu, 22 April 2017 | 07:00 WIB

Menelusuri perdebatan sejarah tentang Subhan ZE, tidak sekadar menjadikan saya suntuk dengan arsip-arsip kuno. Namun, saya juga menemukan beberapa kisah tentang bagaimana lika-liku Subhan di panggung sejarah Nahdlatul Ulama, yang saat itu masih menjadi Partai, pada kisaran 1972.

Subhan ZE dipecat oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), karena dianggap memperburuk ‘marwah’ organisasi para kiai ini. Subhan memang menjadi legenda. Ia aktivis muda yang glamour, flamboyan sekaligus progresif dan revolusioner. Subhan menjadi rujukan anak-anak muda lintas organisasi dan ideologi, di tengah pusaran arus 1965.

Ketika Subhan dikuyo-kuyo oleh lawan politiknya, beberapa kiai dan pengurus NU juga mendukungnya. Kiai Ali Ma’shum (Krapyak) mendukung Subhan ZE, demikian pula Wakil Sekjen Partai NU kala itu, Mahbub Djunaidi.

Mahbub dikenal sebagai aktivis, wartawan dan pengurus NU yang berpengaruh. Ia sangat dikenal di kalangan pers Indonesia, juga aktivis LSM dan pergerakan. Mahbub lahir di Jakarta, 27 Juli 1933. Sewaktu Subhan menjadi Ketua I PBNU, Mahbub Djunaidi menjadi Wakil Sekretaris PBNU.

Mahbub menganggap pengurus NU tidak ingin ribut, terkait kasus yang menerpa Subhan. "Saya berpendapat, keputusan itu tidak perlu dianggap rahasia. Jikalau tidak ada release resmi dari PBNU, itu semata berdasarkan pertimbangan tidak mau ribut-ribut," demikian pernyataan Wakil Sekjen PBNU, Mahbub Djunaidi, kepada 'Antara' sebagaimana dikutip media Angkatan Bersenjata, 21 Februari 1972.

Keputusan tentang pembebasan Subhan ZE selaku Ketua I PBNU, ditandatangani Rais Am PBNU, KH. Bisri Syansuri, Ketua Umum KH. Idham Chalid dan Wakil Rais 'Am/Ketua Dewan Partai, KH. Moh. Dahlan. Surat pembebasan Subhan ZE, dikirimkan ke cabang-cabang dan wilayah Partai NU, sebagai informasi internal tentang keputusan organisasi.

Menurut laporan Angkatan Bersenjata (21/02/1972), pembebasan Subhan ZE selaku pengurus NU, berdasar pernyataan Subhan di Surabaya, yang menyatakan siap mengundurkan diri, serta alasan-alasan yang didasarkan pada hukum agama (syariah).

Mahbub Djunaidi, mengungkapkan bahwa pertimbangan syariah, didasarkan pada keputusan dewan syuriyah, yang ahli dalam bidang ini. Dalam pandangan Mahbub, keputusan Dewan Syuriyah haruslah dihormati sebagai dewan tertinggi dalam struktur organisasi.

Namun, menurut Mahbub Djunaidi, Subhan ZE bukanlah dipecat dari Nahdlatul Ulama. Subhan hanya dibebastugaskan dari kepengurusan, yang bersifat sementara. Hal ini tidak memutuskan status keanggotaan Subhan dari Nahdlatul Ulama.

Dengan demikian, dalam pandangan Mahbub, Subhan tidaklah diskors, atau dihukum dari kepengurusan. Namun, yang lebih tepat adalah "dibebastugaskan" dari kedudukannya sebagai Ketua I Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Darimana dasar "bebastugas" dalam kasus Subhan? Memang, istilah dibebastugaskan tidak ada dalam peraturan organisasi. Dalam AD/ART Partai Nahdlatul Ulama (pada waktu itu, NU masih menjadi Partai NU), tidak ada istilah bebas tugas. Yang ada, yakni berhentinya anggota atas dasar permintaanya sendiri. Menurut Mahbub, dasar inilah yang dipakai dalam kaitan ikrar Subhan ZE untuk 'mundur', dari kepengurusan Partai NU.

Mahbub Djunaidi membela Subhan ZE, dengan memberi ruang naik banding atas argumentasi syuriyah. Alasan syariah/hukum agama yang digunakan syuriyah sebagai pertimbangan membebastugaskan Subhan ZE, dapat dipertanyakan. Mahbub menyatakan, Subhan ZE mempunyai hak untuk membela diri dan 'naik banding'. Hal ini dijamin secara konstitusional bagi anggota yang dipecat. Namun, dalam konteks ini, Subhan tidak dipecat, melainkan mengundurkan diri.

Subhan ZE merupakan rujukan para aktivis, ia tenggelam dalam sejarah besar di tengah arus perubahan politik pada masa awal Orde Baru. Subhan layak dikenang sebagai referensi politik para aktivis muda Nahdlatul Ulama (*)


Munawir Aziz, Wakil Sekretaris LTN PBNU, sedang menulis buku “Silang Sejarah Subhan ZE” (email: moena.aziz@gmail.com)


Terkait