Fragmen

Ketika NU Tasikmalaya Dituduh Komunis dan Penyebar Agama Merah

Jumat, 14 Maret 2025 | 03:15 WIB

Ketika NU Tasikmalaya Dituduh Komunis dan Penyebar Agama Merah

Logo NU (Foto: NU Online)

Sebuah organisasi tidak serta merta bertumbuh kembang secara baik ketika ditanamkan di suatu daerah. Begitu juga NU, tidak setiap cabang langsung tumbuh subur. Salah satu contoh adalah NU Cabang Tasikmalaya.  


NU di daerah ini ditanamkan dengan jatuh bangun. Ia menghabiskan pikiran; tenaga; keringat para pendirinya seperti KH Fadil bin Ilyas dan KH A. Qulyubi serta para penggeraknya seperti KH Syabandi Cilenga, KH Ruhiat Cipasung, KH Zainal Musthafa Sukamanah, dan KH Dahlan Cicarulang. Kepengurusannya pun, terutama pada posisi ketua tanfidziyah, beberapa kali dibongkar pasang. 


Di masa awal, NU Tasikmalaya menghadapi beragam penentangan mulai dari pejabat pemerintah, perhimpunan lain, bahkan perusahaan perkebunan. Untuk menggambarkan situasi itu, Al-Mawaidz memuat ulang artikel “Kasakit Perkoempoelan” (penyakit organisasi) dari majalah Al-Mu’min No. 8 pada “Bab Persatuan”. Al-Mawaidz memuatnya pada No. 13 edisi 26 Maret 1935 (hlm. 187-188). 


Artikel itu memaparkan, ada beberapa tantangan eksternal yang dihadapi perkumpulan. Pertama, datang dari orang atau kelompok yang berpikiran kuno, yaitu mereka yang tidak mementingkan perkumpulan. Mereka tak akan jadi masalah jika berdiam diri dengan pandangannya itu. Namun, akan bermasalah ketika menghalangi jalannya perkumpulan Islam dengan mengeluarkan fatwa haram dan sesat.


Kedua, datang dari orang atau kelompok yang merasa terganggu atas eksistensi sebuah perkumpulan. Mereka merasa terganggu karena kehadiran perkumpulan itu dianggap akan menambah pekerjaan serta mengurangi wibawa dan pengaruh. Selain itu, karena adanya perkumpulan, mereka merasa terhalang untuk berbuat semaunya. Tipe kedua inilah yang menyebabkan NU Tasikmalaya jatuh bangun. 


Dari Tuduhan Komunis hingga Nirfaedah
Gambaran tentang apa yang dihadapi NU Tasikmalaya bisa diketahui dari berita dalam Swara Nahdlatoel Oelama edisi No. 9, Ramadhan 1348 H (hlm. 181-182). SNO melaporkan adanya kelompok yang melontarkan pandangan dan kritiknya itu di tengah pertemuan NU Tasikmalaya. Berikut petikan berita berjudul “Reaksi Saking Tasikmalaya” yang ditulis dalam Bahasa Jawa beraksara Arab. Terjemahannya seperti ini:


“Hei saudara-saudara, ketahuilah bahwa Nahdlatul Ulama itu lebih jahat dan lebih mengkhawatirkan dari Syarikat Rakyat (komunis) dan aksi-aksinya, tingkah lakunya, serta tujuannya. Oleh karena itu, awas saudara-saudara, yang pada masuk jadi lid (anggota) NU dan yang sudah punya kartu anggota, kalau tidak dikembalikan dalam waktu 20 hari sejak sekarang, sudah pasti bakal diborgol.”


Ada juga orang yang melontarkan kritik sebagai berikut:


Hei, saudara-saudara apa sih manfaatnya dan gunanya kalian pada senang jadi lid NU. Perlu kamu ketahui, NU itu tidak ada manfaatnya sama sekali. Sementara NU ngalor, ngidul, ngulon, ngetan, itu hanya persoalan rukun iman dan Islam. Sebelum jadi NU pun, kalian sudah paham itu dan lagi pula bagi orang Tasikmalaya sudah Islam semua. Jadi, tidak perlu dinasihati rukun iman dan rukun islam. Jadi, nyata sudah keberadaan NU di Tasikmalaya tidak ada faidah sama sekali. Malahan sia-sia, memboroskan uangmu semua sebab kontribusi untuk yang tidak berguna. Juga ketahuilah, bestuur (pengurus) NU itu kebanyakan bukan kiai. Oleh karena itu, teman-teman bergegaslah keluar dari led NU dan bagi yang belum menjadi lid, jangan sekali-kali masuk di NU.”


KH Abdul Wahab Chasbullah pada edisi majalah yang sama (hlm. 182) menanggapi lontaran kritik itu. Ia menjelaskan, tujuan NU sama sekali tidak mirip dengan Sarekat Rakyat atau Soviet dengan gerakan Bolsevik-nya. NU tidak berniat mengganti ideologi negara, hanya semata-mata berdasarkan agama Islam yang berpatokan kepada salah satu dari mazhab empat.


Apa yang disampaikan SNO diungkapkan pula oleh Al-Mawaidz. Menurut majalah itu, NU Cabang Tasikmalaya mengalami nasib sial yang mendapatkan tuduhan sebagai organisasi yang menyebarkan agama beureum (merah). Bahkan dalam istilah lain sering disebut pembawa agama anyar.  


Tuduhan itu terus berlanjut dari tahun ke tahun. Jika Swara Nahdlatoel Oelama menyampaikan kabar itu pada 1931, Al-Mawaidz yang mulai terbit 1933 juga masih melaporkannya. Artinya, tuduhan itu bertahun-tahun dipelihara dan diawetkan pihak-pihak tertentu. 


Ketua NU Cabang Tasikmalaya Sutisna Senjaya melalui Al-Mawaidz edisi No. 20, 26 Desember 1933 (hlm. 322) menjelaskan bahwa mereka yang menuduh NU sebagai penyebar agama merah berada di daerah Citanduy. Namun, mereka hanya berani membicarakan NU di belakang. 


Ia merasa heran atas tuduhan-tuduhan itu sebab NU Tasikmalaya jika menyampaikan keterangan agama selalu bersumber dari Al-Qur’an, lengkap dengan menyebutkan surat dan ayatnya. Jika mengutip sebuah kitab, disebutkan pengarang, jilid, halaman, nomor, juga titi mangsanya. 


Jadi, NU Tasikmalaya mengatakan sesuatu bukan mengada-ada dan berdasarkan pandangan pribadi, melainkan dengan bersandar kepada dalil yang menjadi sumber hukum Islam. Dengan demikian, pemikiran NU bisa terukur dan diketahui semua orang. Jika ada kekeliruan pun bisa dikoreksi secara terbuka.


“Sakitoe tetelana noe digaloerkeun ku Nahdoh. Naha bet djadi beureum? Naha Qoer’an teh aja noe beureum, noe hideueng, noe bodas? Naha Kandjeng Nabi Saw. teh Kanjeng Nabi beureum, Kanjeng Nabi bodas? Para imam teh aja noe beureum noe bodas?”


[Begitu jelasnya pendirian NU. Lalu kenapa jadi merah? Apakah Al-Qur’an ada yang merah, hitam, putih? Apakah Nabi Muhamamd itu nabi merah, nabi putih? Para imam ada yang merah dan putih?]


Dengan gamblang, Sutisna Senjaya menyebutkan bahwa Nahdoh (Nahdlatul Ulama) Tasikmalaya saat itu mendapat tuduhan sebagai anak komunis. Padahal semua orang tahu bagaimana sikap komunis terhadap agama. Dengan menuduh NU anak komunis, itu membuat orang tersenyum saja.


NU Tasikmalaya memanfaatkan panggung-panggung ceramah dan majalah untuk membantah tuduhan agama merah. Justru, dengan adanya tuduhan itu, para kiai dan pengurus NU menjadi semakin rajin berkonsolidasi secara masif ke kampung-kampung di pesisir dan desa-desa pegunungan serta di kota-kota. 


Tokoh NU Tasikmalaya, KH Fadil bin Ilyas, sebagaimana diberitakan Al-Mawaidz No. 27, 3 Juli 1934 (hlm. 438-440) mengungkapkan sedikit sebab musabab tuduhan NU sebagai penyebar agama merah pada sebuah acara. 


“Eta taya liyan, duméh sawaréh adeg pangadeg kalakuan karuhun anu magah nohonan agama Islam ku NU ditungtut dipiceunan, lantaran henteu peluk jeung hukum syara seperti hal ngamulasara mayit, hal zakat pitrah, hal jumaahan jeung jaba ti éta.”


[Tiada lain, sebab NU menuntut sebagian kebiasaan leluhur yang bertentangan dengan Islam agar segera ditinggalkan. Selain itu, NU juga berniat membetulkan kebiasaan dalam memulasara mayat, zakat fitrah, hingga Shalat Jumat yang tidak sesuai dengan ketentuan.] 


“Spreker nanyakeun ka hadirin: kitab naon jeung karangan saha anu ngesahkeun mungguh madhab Syafi’i, pitrah ku duit 5 sén ka lebé? Naha ku lantaran nyalahkeun nu salah kudu dicap beureum?”


[Kiai Fadil berbicara kepada hadirin, di dalam kitab apa dalam mazhab Syafi’i yang membolehkan zakat fitrah dengan uang 5 sen kepada lebe? Apakah NU dengan mempertanyakan hal semacam itu lantas dituduh jadi penyebar agama merah?]


Selain itu, menurut H.A.E. Bunyamin dalam Nahdlatul Ulama di Tengah-tengah Perjuangan Bangsa Indonesia: Awal Berdirinya NU di Tasikmalaya (2014: 43), beberapa hal yang menyebabkan NU Tasikmalaya dituduh penyebar agama merah adalah lantaran para kiainya sering mengkritik pelaksanaan dan pembagian zakat fitrah, mempertanyakan pembangunan rumah miskin di Cibeureum yang dibiayai dari zakat fitrah, serta mempermasalahkan ulil amri yang dinisbatkan kepada pejabat kolonial. NU juga juga mengkritisi doa khusus kepada bupati saat shalat Jumat, penetapan awal Ramadan dan Lebaran, hingga urusan aurat perempuan.


Menurut SNO (hlm. 182), reaksi terhadap berdirinya NU di Tasikmalaya itu bagaikan kaum Quraisy yang merintangi Nabi dan para sahabat atau seperti tekanan Raja Herodes kepada Nabi Isa dan sahabat-sahabatnya atau seperti Firaun kepada Nabi Musa.
 

Abdullah Alawi, peminat sejarah NU, penulis buku Pemuda Nahdoh: Sejarah Awal GP Ansor Jawa Barat 1934-1941 (2023) dan tengah menyiapkan buku Sejarah NU Jawa Barat, Jakarta, dan Banten 1926-1941.


========


Pada Ramadhan tahun ini, NU Online menyajikan edisi khusus bertajuk “Sejarah Kecil NU” tentang kisah orang-orang biasa dan kejadian-kejadian obskur yang sering tenggelam dalam narasi besar sejarah. Selama sebulan penuh, sejarawan partikelir sekaligus Redaktur Opini & Editorial NU Online, Abdullah Alawi, mengisi edisi khusus ini.