Fragmen

Ketika Subhan ZE Bertemu Jenderal Soeharto

Jumat, 16 September 2016 | 09:00 WIB

Ketika Subhan ZE Bertemu Jenderal Soeharto

Subhan ZE (baju putih).

Saat ini, nama Subhan ZE sayup-sayup terdengar. Kisah tentang pemuda kelahiran Kepanjen, Malang Jawa Timur, yang besar dan tumbuh di Kudus, tidak banyak dikisahkan dalam ruang publik. Seolah, nama Subhan ZE hanya menjadi penghias dari gerakan politik NU pada masa transisi kekuasaan, dari Soekarno ke Soeharto. Bagaimana kisah-kisah Subhan ZE mewarnai panggung politik negeri ini?  

Pada detik-detik menjelang tragedi 1965, Subhan ZE dekat dengan Harry Tjan Silalahi.  Subhan menggerakkan massa di bawah gerbong KAP-Gestapu (Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh), yang dikoordinasi bersama Harri Tjan dan beberapa rekan. Harry Tjan merupakan Sekretaris Jenderal Partai Katolik. Baik Subhan ZE maupun Harry Tjan sering bertemu Soeharto, yang pada waktu itu menjadi Pangkostrad/Pangkopkamtib. 

Bersama Subhan ZE, Harry Tjan pada suatu kesempatan, menemui Soeharto di Markas Kostrad. Keduanya berdiskusi tentang kemungkinan aksi massa untuk mendukung Gestapu. Menjelang akhir pertemuan, Subhan menyampaikan aksi massa berikutnya dengan mengucapkan kata Insya Allah. Mendengar itu, Soeharto amat terganggu: "Mengapa harus pakai Insya Allah?". Ketika sudah keluar dari ruangan, Subhan yang berasal dari keluarga santri, berkomentar kepada Harry: "Wah, Soeharto ini memang abangan tulen". Kisah ini dilukiskan oleh Salim Haji Said, dalam bukunya 'Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto' (Mizan, 2016).

Kisah Subhan ZE memang unik. Ia berada di garda depan dalam gerakan politik menjelang 1965, akan tetapi tersingkir dari panggung republik ketika Soeharto tampil sebagai presiden. Subhan tidak sejalan dengan visi politik Orde Baru. Dalam dinamika sejarah, NU pernah mengalami masa rumit, terutama pada transisi Orde Lama menuju Orde Baru. 

Ketika itu, Subhan ZE menggalang kekuatan untuk menurunkan presiden Soekarno dan membubarkan Partai Komunis Indonesia. Pihak Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) mendukung penuh langkah Subhan, yang menggerakkan pemuda dan massa dalam komando KAP-Gestapu. Kalangan militer dan NU menjalin hubungan mesra, karena kepentingan yang sama. Namun, ironisnya hubungan manis antara militer dan NU berubah menjadi ketegangan politik, ketika Subhan ZE justru sering mengkritik Jenderal Soeharto, yang menjadi presiden menggantikan Soekarno. 

Figur Subhan ZE sebagai representasi gerakan NU, menjadikan organisasi ini terkena dampaknya. Ketika pemerintah Orde Baru berusaha membatasi ruang gerak politik Subhan, NU juga terkena dampaknya. Betapapun, Subhan ZE berjasa besar dalam menggiring isu strategis serta bermain sebagai figur utama pada masa krusial dalam sejarah negeri ini. Subhan menjadi jaminan dari gerak politik pemuda, pada masa itu. Meski, jika dibaca pada konteks zaman sekarang, langkah Subhan tidak bisa menjadi stempel dari gerakan NU pada masa 1965, terutama sikapnya terhadap gerakan komunis dan PKI. Beberapa kiai NU, juga tidak serta merta mendukung langkah frontal yang dilakukan Subhan.  

Karir Subhan ZE di Nahdlatul Ulama, bermula ketika ia memimpin Lembaga Pendidikan Maarif Cabang Semarang, pada 1953. Sejak itu, nama Subhan ZE melesat cepat menjadi bintang gemerlap yang disukai anak-anak muda NU, juga disegani aktifis muda dari organisasi lain. Pada saat Kongres NU di Medan pada 1956, Subhan diangkat menjadi Ketua Departemen Ekonomi PBNU. 

Kemudian, pada 1962, ketika NU menyelenggarakan Kongres di Solo, ia menjadi Ketua IV PBNU. Pada rentang waktu itulah, menjadi masa keemasan Subhan ZE di pentas politik dan ormas negeri ini. Subhan ZE menjadi idola baru bagi pemuda-pemuda ketika negeri ini sedang mencari referensi, mencari panutan dalam gerakan kepemudaan.

Kisah-kisah Subhan ZE masih banyak yang tersimpan dalam memori, dalam laci sejarah bangsa ini. Meski telah ada beberapa buku yang mengulas, tapi sejarah hidup dan pemikiran Subhan ZE masih menjadi misteri. Sudah saatnya, ingatan akan Subhan ZE dibongkar, disegarkan kembali sebagai referensi politik pemuda santri masa kini. Tentu, dengan konteks zaman dan arah politik yang berbeda, namun dengan visi dan integritas yang sama: menjaga bangsa, menjaga marwah gerakan kita.*** 

Munawir Aziz, Esais dan peneliti (Twitter: @MunawirAziz).


Terkait