Di era revolusi pada tahun 1948 tepatnya di pertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan sarannya dengan harapan dapat mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat kala itu.
Kemudian Kiai Wahab Chasbullah memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahim. Sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, di mana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturahim. Lalu Bung Karno menjawab, "silaturahim kan biasa, saya ingin istilah yang lain".
"Itu gampang,” kata Kiai Wahab. "Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah halal bihalal,” jelas Kiai Wahab Chasbullah seperti riwayat yang diceritakan KH Masdar Farid Mas’udi.
Dari saran Kiai Wahab itulah kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahim bertajuk halal bihalal.
Akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah istilah halal bihalal gagasan Kiai Wahab lekat dengan tradisi umat Islam Indonesia pasca-lebaran hingga kini.
Begitu mendalam perhatian seorang Kiai Wahab Chasbullah untuk menyatukan seluruh komponen bangsa yang saat itu sedang dalam konflik politik yang berpotensi memecah belah persatuan.
Hingga secara filosofis pun, Kiai Wahab sampai memikirkan istilah yang tepat untuk menggantikan istilah silaturahim yang menurut Bung Karno terdengar biasa sehingga kemungkinan akan ditanggapi biasa juga oleh para tokoh yang sedang berkonflik tersebut.
Kini, halal bihalal yang dipraktikkan oleh umat Islam Indonesia lebih dari sekadar memaknai silaturahim. Tujuan utama Kiai Wahab untuk menyatukan para tokoh bangsa yang sedang berkonflik menuntut pula para individu yang mempunyai salah dan dosa untuk meminta maaf kepada orang yang pernah disakiti dengan hati dan dada yang lapang.
Begitu pun dengan orang yang dimintai maaf agar secara lapang dada pula memberikan maaf sehingga maaf-memaafkan mewujudkan Idul Fitri itu sendiri, yaitu kembali pada jiwa yang suci tanpa noda bekas luka di hati.
Dengan demikian, bukan memaafkan namanya jika masih tersisa bekas luka di hati dan jika masih ada dendam yang membara dalam hatinya. Boleh jadi ketika itu apa yang dilakukannya baru sampai pada tahap menahan amarah.
Artinya, jika manusia mampu berusaha menghilangkan segala noda atau bekas luka di hatinya, maka dia baru bisa dikatakan telah memaafkan orang lain atas kesalahannya.
Karena itu, syariat Islam mengajarkan bahwa seseorang yang memohon maaf atas kesalahannya kepada orang lain agar terlebih dahulu harus menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, serta memohon maaf sambil mengembalikan hak yang pernah diambilnya.
Kalau berupa materi, maka materinya dikembalikan. Kalau bukan materi, maka kesalahan yang dilakukan itu dijelaskan kepada yang dimohonkan maafnya. (Fathoni)