Memperingati hari lahir Kota Jakarta ke 493 pada 22 Juni 2020 lalu saya ingin berbagi kisah tentang keterlibatan Pahlawan Kemerdekaan Nasional RI KH Zainul Arifin dalam perannya ikut mengembangkan seni tradisional Betawi yang kini dikenal sebagai Lenong Betawi.
Berangkat dari pengalamannya ikut serta dalam rombongan kesenian tradisional Melayu, Stambul Bangsawan ketika masih tinggal di Kerinci, Jambi, begitu tiba di Betawi pada 1926, Zainul Arifin segera saja mendirikan grup kesenian serupa, Samrah.
Keseriusannya menekuni kesenian yang di tanah Batavia dinama Samrah dan kemudian Lenong itu membuatnya terkenal ke seantero Betawi. Kelak ketika akhirnya Zainul beralih profesi menjadi da'i muda, generasi muda Batavia dan bahkan Jawa Barat dan Banten lebih mudah menerimanya. Begitu pula dengan para Kiai NU.
Tonil Zainul
Zainul Arifin tiba di Batavia dan mulai bekerja di Gemeente atau Pemda Kolonial pada 1926. Pada saat itu dunia teater atau kala itu disebut sandiwara (toneel, bahasa Belandanya) baru mulai trendi di kalangan masyarakat.
"Ayah sering bercerita tentang pengalamannya main Samrah sampai dipanggil untuk pentas ke mana-mana. Grupnya bernama Tonil Zainul. Masyarakat Betawi mengucapkannya Tonil Jenul," tutur Siti Zuhara, salah satu putrinya.
"Waktu saya kecil dan kami masih tinggal di Bukit Duri Tanjakan, Ayah sering dipanggil-panggil tetangga-tetangga. Tuan Jenul... tuan Jenul."
Samrah pada masa awal perkembangannya memang merupakan hiburan yang tak ada tandingannya. Sebagai cikal bakal tumbuh kembang lenong yang mulai populer pada 1920an, samrah memberi pengaruh kuat ke dalam seni bermain lenong. Artis-artisnya menjadi idola masyarakat luas. Zainul Arifin sendiri selain sebagai pengatur laku, juga bermain biola dan ikut pula menjadi pemain.
Lelaki Semua
Sejalan dengan bertambahnya popularitas samrah yang kemudian dinamai lenong berdasarkan bunyi alat musik tabuh kenongnya ini, kesenian rakyat itu kemudian terpecah jadi dua jenis: Lenong Denes dan Lenong Preman. Lenong Preman lebih banyak menggelar cerita-cerita lawakan spontan langsung dihadapan penonton dengan gaya mengamen. Sedang Lenong Denes dari kata Dinas bersifat lebih formal. Biasanya mereka dipanggil sebagai bagian dari acara hajatan tokoh-tokoh tuan tanah, saudagar kaya dan alim ulama. Selain bayarannya mahal Lenong Denes mengenakan busana dan rias wajah kerajaan Timur Tengah yang mewah serta menyuguhkan kisah-kisah 1001 Malam. Sedangkan Lenong Preman berpenampilan seadanya dengan cerita-cerita diangkat dari peristiwa kehidupan rakyat jelata sehari-hari.
Namun keduanya sama-sama beratraksi di atas tanah lapang tanpa panggung serta alur ceritanya bisa berkembang hingga dini hari. Selain itu, kedua jenis lenong hanya menampilkan artis musik dan peran berjenis kelamin lelaki. Perempuan masih diharamkan untuk tampil di arena hiburan yang ditonton banyak orang.
Make up Gerilya
"Ayah menguasai seni rias wajah lenong untuk dirinya sendiri. Dia memanfaatkan keahlian itu saat harus ikut bergerilya di gunung dan hutan di Jawa Tengah di bawah komando Jenderal Sudirman. Untuk menghindari ditangkap Belanda Ayah merubah wajah dan gaya bicaranya. Sebagai pemegang komando Laskar Hizbullah, Ayah selalu berhasil lolos dari pemeriksaan Belanda," kenang Zuhara lebih lanjut.
Lewat kegiatan bersamrah inilah Zainul Arifin berkenalan dengan seniman Samrah asal Sumatera Barat Djamaluddin Malik. Persahabatan keduanya berlanjut hingga ke saat Lenong Denes mulai berkembang menjadi seni teater modern dari Barat yang masuk ke Batavia sekira 1925. Djamaluddin Malik melanjutkan kiprahnya sebagai orang teater dan di kemudian hari selaku perintis perfilman Indonesia.
Sementara sejarah kemudian mencatat, Zainul Arifin memasuki Ansor sekira 1930 dan berubah haluan menjadi seorang dai. Pergaulannya sudah telanjur luas baik di kalangan alim ulama maupun saudagar di Batavia lewat Lenong Betawi. Dalam waktu singkat KH Zainul Arifin menjadi Ketua Majelis Konsul NU untuk Batavia dan Jawa Barat.
Penulis: Ario Helmy
Editor: Abdullah Alawi