Fragmen

Kisah Pengajian dan Wayang

Jumat, 2 November 2012 | 06:23 WIB

Tahun 1970-an, di Cianjur ada seorang ajengan masyhur, karena kedalaman ilmunya. Ia dikenal dengan dengan julukan Mama Ajengan Ciharashas, atau Ajengan KH Muhammad Syuja’i. 

<>

Mama Ajengan Ciharashas (yang pernah berguru pada Mama Ajengan KH Syatibi Gentur, Cianjur, guru ulama-ulama di Jawa Barat), memiliki ribuan santri dari bebagai pelosok Nusantara. Selain mengajar, ia sering memberi ceramah umum di pengajian semisal muludan, rajaban, hingga pesta pernikahan atau sunatan di pelosok-pelosok kampung. 

Pada suatu ketika, ia mendapat undangan ceramah di wilayah Cianjur. Tak dinyana, panggung tempat ia berceramah berhadapan dengan panggung pementasan wayang golek. Dua acara berbarengan ini hanya terhalang jalan raya. 

Meski demikian, Mama Ajengan Ciharashas tetap menjalankan tugasnya berceramah. Begitu pula dalang wayang golek. Keduanya berjalan sebagaiamana mestinya. Hadirin dari berbagai tempat datang untuk tujuan masing-masing, sebagian berniat menyimak ceramah, sebagian menonton wayang golek. Tak ada gegeran karena perbedaan.

Namun, ketika Mama Ajengan Ciharashas berceramah, penonton wayang golek berbondong-bondong pindah dan menyimak pengajiannya. Padahal ia tak mengimbaunya. Apalagi mengharamkan wayang golek. Ia mengaji sebagaimana ia mengajar santrinya.

Salah seorang panayagan (pengiring musik wayang golek) yakni tukang rebab, kepincut pengajian Mama Ajengan Ciharashas. Ia bernama Sulaiman, biasa dipanggil Eman. Ayahnya seoorang kades di salah satu desa Cianjur. Kades pecinta seni yang mengarahkan anak-anaknya pada kesenian.

Ketika ceramah Mama Ajengan selesai, Eman mendatanginya. Ia lalu menceritakan niatnya menjadi santri.

Menurut Ajengan Hasybi Hizbullah, pengasuh pesantren Asyroful Huda, Sukaraja, Sukabumi, Eman adalah teman semasa ia menjadi santri Ciharashas. Hasybi bersaksi, tukang rebab tersebut sangat rajin mengaji dan muthola’ah. Saking rajinnya, ia sering meninggalkan makan. 

“Santri-santri sering menanak nasi untuk dia. Tapi ketika diajak makan, ia selalu bilang ‘nanti saja.’ Kemudian disisain. Tapi tak dimakan pula. Sampai jadi oncom (berjamur) nasi itu,” papar Hasybi.

Eman kemudian menjadi santri kesayangan Mama Ajengan. Ia dinikahkan dengan salah seorang adiknya. Selanjutnya ia diangkat menjadi pengajar pesantren tersebut. Santri-santri memanggilnya mama ajengan anom (kiai muda).

Karena Mama Ajengan Ciharashas tidak memiliki putra dan putri, ia menjadi pelanjut kepemimpinan pesantren.

“Mama Ajengan Anom terkenal dengan shalatnya yang khusuk. Kalau shalat itu, satu rakaat bisa 5 menit. Jadi kalau shalat isya bisa 20 menit. Kalau shalat Subuh bisa lebih lama lagi,” jelas Hasybi. (Abdullah Alawi)




Terkait