Gus Dur dan Gus Mus muda di Kairo, Mesir tahun 1964. (Foto: Instagram Ahmad Mustofa Bisri, @s.kakung)
Gus Dur yang ditemani istrinya Sinta Nuriyah duduk lesehan bahkan terkadang tiduran di rumah Gus Mus. Gus Dur memang kerap mampir di kediaman Gus Mus. Pertemuan terakhir dengan Gus Mus di Leteh, Rembang itu memang sedikit mengundang tanda tanya. Hal itu muncul mengingat Gus Dur masih dalam kondisi sakit. Bahkan, selama 10 hari, Gus Dur sulit makan.
Namun, di rumah Gus Mus, Gus Dur justru begitu semangat melahap makanan sederhana yang disediakan oleh Gus Mus dan keluarga. Hal ini membuat Sinta Nuriyah sedikit terkesiap karena selama hampir dua pekan Gus Dur sulit makan.
Obrolan bareng Gus Mus hampir selesai. Walaupun Gus Dur mengatakan bahwa mampirnya dia hanya sebentar, tetapi tak terasa hampir dua jam berlalu dua sahabat itu bercengkerama. Sedang asyik-asyiknya ngobrol dan bercanda ria, tiba-tiba Gus Dur bilang, “Gus Mus, aku harus segera berangkat ke Tebuireng, aku dipanggil Si Mbah.”
Peristiwa di atas merupakan sepanggal kisah dua sahabat baik yang pernah mondok satu kamar ketika menempuh studi di Univeritas Al-Azhar Kairo, Mesir. Seperti diriwayatkan KH Husein Muhmmad Cirebon dalam Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus (2015), pertemuan kedua sahabat tersebut terjadi sekitar sepekan sebelum Gus Dur berpulang atau wafat.
Begitu mendalam kenangan bersama Gus Dur, Gus Mus mengungkapkan cerita ketika dirinya pertama kali berjumpa dengan sosok Gus Dur. Ia beberkan kisahnya itu dalam akun instagram miliknya, @s.kakung, Jumat (26/12/2019). Lewat postingannya itu, Gus Mus berupaya mengenang sahabat baiknya yang wafat pada 30 Desember 2009 silam. Gus Mus mengisahkan:
Sosok di sebelahku ini (Gus Dur, merujuk pada foto yang diposting) sejak pertama kali aku mengenalnya (di Kairo Mesir, tahun 1964), sudah menarik hatiku. Sebelumnya, melihat wajahnya saja belum pernah. Pada waktu aku ke rumahnya di Jakarta dan bertemu ibundanya, sama sekali tak ada cerita tentang dirinya dan keberadaannya di Mesir.
Tapi begitu berjumpa, sikapnya seolah-olah dia sudah mengenalku sejak lama. Tak ada basa-basi lazimnya orang baru bertemu dan berkenalan. Justru aku yang canggung dengan sikapnya yang tidak umum itu.
Dan sudah sejak pertemuan ('tanpa perkenalan') itu, dia memanggilku "Mus" dan aku memanggilnya "Mas". (Baru ketika pulang di tanah air, ketika orang-orang memanggilnya "Gus", dia pun memanggilku "Gus", meski aku tetap memanggilnya "Mas"). Alhamdulillah, di rumah aku punya kakak (Almarhum KH Cholil Bisri) yang seperti sahabat karib dan di perantauan, Allah menganugerahiku sahabat karib yang seperti saudara ini.
Di dekatnya, aku selalu merasa kecil. Mungkin karena, aku selalu memperhatikan pikiran-pikirannya yang besar. Sering apa yang kupikir besar, dia bisa menjelaskan bahwa itu hanya perkara sepele; meski dia tidak selalu menjelaskannya.
Sementara aku masih sibuk memikirkan kuliah dan persiapanku menghadapi ujian, dia sudah memikirkan Indonesia dan bagaimana bisa mempersiapkan khidmah yang optimal bagi negeri yang dicintainya itu. Ketika aku baru memikirkan bagaimana setelah pulang nanti aku membangun rumah tangga, dia sudah memikirkan bagaimana membangun peradaban dunia.
Baginya dunia ini --termasuk kekuasaan-- hanyalah main-main dan senda gurau belaka, seperti difirmankan oleh Tuhannya sendiri. (QS [6]: 32, QS [47]: 46, QS [57]: 20). Baginya, yang terbesar dan terpenting ialah Allah, kemudian hamba-hamba-Nya.
Karena itu ungkapannya "Begitu saja kok repot..." , bagiku, bukan ungkapan majaz atau kinayah belaka.
Ya Allah, rahmatilah saudaraku, Abdurrahman Wahid, dan juga saudaraku KH Cholil Bisri, sebagaimana Engkau merahmati kekasih-kekasih-Mu. Al-Fãtihah.
Setelah berkunjung ke rumah Gus Mus sepekan sebelum wafat, Gus Dur langsung menuju ke makam kakek, ayahnya, dan anggota keluarga lainnya di Tebuireng. Seperti biasa, Gus Dur membaca tahlil dan berdoa dengan khusyuk beberapa saat. Konon diceritakan, Gus Dur tidak hanya sekadar berdoa, tetapi ia sedang berbicara dengan sang kakek, Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Gus Dur menyimpan banyak pesan seperti mengapa harus berkunjung ke Gus Mus, tidak berkunjung ke sahabat yang lain?
Terkait pertanyaan ini, suatu hari KH Husein Muhammad (2015) diajak makan oleh Nyai Hj Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid di rumah temannya di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Teman itu seorang produser film terkemuka di Indonesia.
Di tempat tersebut juga bergabung sejumlah tokoh seperti Djohan Effendi, mantan Menteri Sekretaris Negara era Presiden Gus Dur dan Saparinah Sadli, guru besar Universitas Indonesia. Di tengah obrolan, Kiai Husein berkesempatan menanyakan tentang pertemuan terakhir Gus Dur dengan Gus Mus, seminggu sebelum kepulangannya.
Sinta Nuriyah menjawab, “Ya, seminggu sebelum Gus Dur pulang, kami mampir ke Gus Mus. Hubungan Gus Dur dan Gus Mus sangat dekat. Gus Dur seolah seperti ingin pamit ‘pulang’. Di situ, Gus Dur pesan kepada Gus Mus, ‘aku titip NU, aku titip NU’. Dan Gus Mus seperti kaget sekali mendengar ‘wasiat’ itu, tetapi tak bisa menolak.”
Penulis: Fathoni Ahmad