Kongres PMII dari Masa Ke Masa, dari Tawangmangu hingga Palembang
Senin, 12 Agustus 2024 | 14:00 WIB
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berdiri pada 17 April 1960 di Surabaya. Sejak berdiri, hingga Kongres yang baru saja dibuka di Palembang tahun 2024, tercatat sudah terselenggara Kongres PMII sebanyak 21 kali.
Dalam Anggaran Dasar/ Anggaran Rumat Tangga (AD/ART) Hasil Kongres XX PMII tahun 2021, Kongres tercantum pada Anggaran Dasar PMII BAB VIII Permusyawaratan Pasal 10, yang menjelaskan mengenai bentuk-bentuk permusyawaratan dalam PMII, yang terdiri dari 1. Kongres, 2. Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas), dan seterusnya.
Kemudian, dalam Anggaran Rumah Tangga PMII BAB XIV Permusyawaratan Pasal 32 poin 1-5, dijelaskan lebih rinci mengenai Kongres: “Kongres merupakan forum musyawarah tertinggi dalam organisasi, dihadiri oleh PKC, PC, PCI, dan peninjau, diadakan setiap 3 (tiga) tahun sekali, … dst”.
Sedangkan pada Kongres III PMII tahun 1967, terkait Kongres termaktub dalam Peraturan Rumah Tangga PMII Pasal X Permusjawaratan. Dijelaskan dalam poin 1 a,b,c bahwa: “Kongres merupakan instansi jang tertinggi dalam PMII dan merupakan musjawarah utusan2 dari Tjabang2 dan Penindjau2, diadakan tiap 3 (tahun) sekali oleh Putjuk Pimpinan, … dst”.
Penulis merangkum penyelenggaraan Kongres PMII dari masa ke masa, mulai sejak didirikan tahun 1960 hingga Kongres PMII di Palembang tahun 2024.
Baca Juga
Nilai Dasar PMII Lahir dari Pesantren
1. Kongres I PMII (Tawangmangu, 23-26 Desember 1961)
Kongres (saat itu masih bernama Mu’tamar) pertama diselenggarakan PMII, pada tanggal 23-26 Desember 1961 di Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Sebuah daerah yang terletak di kaki Gunung Lawu dan berjarak sekitar 42 km dari Kota Solo. Sebanyak 13 Cabang hadir pada acara tersebut, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Ciputat, Malang, Makasar/Ujungpandang, Banjarmasin, Padang, Banda Aceh, dan Cirebon.
Pada Muktamar I PMII tercatat beberapa poin penting. Pertama, terpilihnya kembali Mahbub Junaidi sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) PMII Periode 1961-1963. Proses terpilihnya Mahbub sebagai ketua ini, mungkin ada sedikit kemiripan dengan yang terjadi pada musyawarah mahasiswa NU di Surabaya, setahun sebelumnya. Sebagaimana yang digambarkan oleh M. Said Budairy dalam tulisannya yang berjudul Sudah Benar “PMII Tetap Islam" (Said, 1997) :
“Dia (Mahbub) juga tidak mengkampanyekan diri, apalagi sampai mendirikan posko di dekat medan musyawarah. Tapi Mahbub terpilih sebagai ketua umum. Ketua I terpilih Chalid Mawardi dan Sekretaris Umum-nya saya (Said).”
Baca Juga
Gus Dur, PMII, dan Kekuatan Ekonomi
Poin kedua yang perlu dicatat, yakni lahirnya pokok-pokok pikiran yang diberi nama Deklarasi Tawangmangu. Deklarasi tersebut berisi meliputi pandangan tentang dan sikap PMII terhadap sosialisme Indonesia, pendidikan nasional, kebudayaan nasional dan tanggung jawab PMII sebagai generasi muda islam intelektual yang ikut dalam perjuangan bangsa, pengembangan Islam dan perjuangan akan anti imperialisme dan kolonialisme.
2. Kongres II PMII (Kaliurang, 25-29 Desember 1963)
Peserta dalam Kongres II ini diikuti sebanyak 31 cabang, yang menunjukkan perkembangan yang baik PMII. 18 merupakan cabang baru, yakni Menado, Tulungagung, Serang, Jambi, Ambon, Jember, Palembang, Purwokerto, Medan, Martapura, Sibolga, Kudus, Bogor, Pematang Siantar, Curup (Bengkulu), Tasikmalaya, Kediri, dan Amuntai.
Kongres ini melahirkan dua pokok pemikiran PMII, yang dikenal dengan Penegasan Yogyakarta, berisi penegasan satu tekad PMII untuk berpihak kepada amanat penderitaan rakyat, cita-cita sosialisme, perjuangan dalam rangka perwujudan manusia Indonesia yang meliputi utuh jasmani dan Rohani serta perjuangan kemerdekaan. Di samping itu, juga menghasilkan satu pokok pikiran tentang perlunya penyelenggaraan Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA).
Mahbub Djunaidi kembali terpilih menjadi Ketua Umum PP PMII periode 1963-1966, didampingi Harun Al Rasyid sebagai Sekretaris Umum.
3. Kongres III PMII (Malang, 7-11 Februari 1967)
Kongres sedianya diselenggarakan Desember 1966. Namun, karena situasi nasional setelah peristiwa Gestok, menjadikan Kongres III PMII baru dapat dihelat Februari 1967. Kongres kali ini dihadiri 75 cabang.
Produk dari Kongres III yakni Memorandum Politik, yang bersifat intern (ditujukan kepada Partai NU dan lebih banyak bersifat bahan-bahan masukan untuk Muktamar NU yang dilaksanakan di tahun yang sama).
Hal lain yang dihasilkan dari Kongres ini, adalah terbentuknya lembaga-lembaga non-struktural di Tingkat Pengurus Pusat, di antaranya: Lembaga Pendidikan Kader Pusat (LPKP), Lembaga Pers Pusat (LPP), Lembaga Da’wah Pusat (LDP), dan Komando Siaga Angkatan Jihad (KOSAD).
M. Zamroni terpilih menjadi Ketua Umum PP PMII (1967-1970), didampingi Fahmi Ja’far Saifuddin sebagai Sekretaris Umum.
4. Kongres IV PMII (Makasar, 1970)
Untuk pertama kalinya, PMII menghelat kegiatan terbesar di luar Jawa, tepatnya di Makssar (Ujung Pandang). Penyelenggaraan Kongres menjelang Pemilu 1971 ini, sekaligus juga menjadi bukti kekuatan PMII, yang semakin tersebar luas ke berbagai penjuru. Salah satu indikatornya dapat dilihat dari jumlah peserta yang hadir, yang berasal dari 100 cabang.
Bersamaan dengan Kongres IV, juga diadakan Musyawarah Nasional (Munas) I Corps PMII Putri (COPRI, kini disebut KOPRI). Pada momen ini pula, M Zamroni kembali terpilih menjadi Ketua Umum PP PMII (1970-1973).
5. Kongres V PMII (Ciloto, Desember 1973)
14 Juli 1972, PMII mengeluarkan deklarasi yang berisi penyataan antara lain bahwa PMII adalah organisasi yang independen (tidak lagi terikat secara struktural dengan partai politik manapun). Pernyataan yang dikenal dengan nama Deklarasi Murnajati tersebut, tentu membuat goncang organisasi. Terlebih ketika dihelat Kongres V PMII, yang salah satu hasilnya, menegaskan kembali tentang independensi PMII. Banyak cabang yang kemudian vakum dan hanya sekadar nama.
Di Kongres ini juga dilakukan beberapa perubahan penyebutan nama tingkat struktural, semisal Pucuk Pimpinan dan Pengurus Wilayah diganti Pengurus Besar (PB) dan Koordinator Cabang (Korcab).
Pada periode ini, Ketua Umum PB PMII yang baru, H M Abduh Paddare beserta jajaran PB PMII periode 1974-1977 mengemban tugas yang cukup berat, sebagai konsekuensi dari independensi PMII dan penyesuaian AD/ART yang baru. PB PMII melakukan banyak pembenahan organisasi, termasuk di antaranya mulai menyusun kerangka dasar Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) PMII.
6. Kongres VI PMII (Jakarta, 8-12 Oktober 1977)
Pelan tapi pasti, upaya kemandirian PMII dapat diwujudkan. PMII menyelenggarakan Kongres ke-VI di Jakarta, setelah Pemilu 1977. Kongres ini berhasil menghasilkan arah gerak organisasi dalam wujud program-program kerja yang tersusun rapi dan memenuhi syarat kelayakan bagi suatu organisasi modern. Ketua Umum PB PMII periode 1977-1980, terpilih Ahmad Bagja.
7. Kongres VII PMII (Cibubur, 1-5 April 1981)
Geliat perkembangan PMII mulai terlihat kembali, terbukti pada penyelenggaraan Kongres tahun 1981, diikuti tidak kurang dari 400 utusan dan para peninjau dari 42 cabang dan 9 Korcab. Sejumlah tokoh NU seperti KH Idham Chalid, KH Abdurrahman Wahid, H Mahbub Djunaidi, dan lain-lain ikut hadir dalam Kongres ini. Muhyidin Arubusman terpilih menjadi Ketua Umum PB PMII periode 1981-1984.
8. Kongres VIII PMII (Ciumbeluit Bandung, 16-20 Mei 1985)
Selain 42 cabang penuh, dalam Kongres ini ikut dihadiri 6 cabang persiapan. Terdapat pembahasan yang lebih mendalam pada NDP PMII dan Perubahan AD/ART yang harus disesuaikan dengan UU Keormasan.
Dari segi asal kampus peserta, juga kini sudah lebih meluas. Bila dulu didominasi peserta dari kampus IAIN, kini justru banyak dihadiri mahasiswa dari Perguruan Tinggi Negeri. Suryadharma Ali terpilih menjadi Ketua Umum PB PMII periode 1985-1988.
9. Kongres IX PMII (Surabaya, 14-19 September 1988)
PMII kembali ke rumah asalnya. Barangkali, itulah slogan Kongres PMII ke-IX di Surabaya. Kota Surabaya merupakan tempat kelahiran PMII. Maka, sudah tepat bila dalam Kongres ini kemudian melahirkan perumusan NDP PMII (yang digunakan hingga sekarang).
Perumusan NDP di tahun 1988, setidaknya menjawab atau paling tidak meminimalisir ketakutan akan lepasnya PMII terhadap nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan dengan kerangka pemahaman keagamaan Islam Aswaja. Dalam Kongres ini, M Iqbal Assegaf terpilih sebagai Ketua Umum PB PMII periode 1988-1991.
10. Kongres X PMII (Jakarta, Oktober 1991)
Salah satu keputusan penting dari Kongres yang dihelat di Pondok Gede ini, yakni PMII menyatakan sikap interdependensi dengan NU. Implementasi interdependensi tersebut didasari antara lain karena PMII menjadikan ulama NU sebagai panutan. Kemudian karena adanya ikatan kesejarahan, persamaan paham keagamaan dan wawasan kebangsaan, serta kesamaan kelompok sasaran. Ali Masykur Musa terpilih menjadi Ketua Umum PB PMII periode 1991-1994.
11. Kongres XI PMII (Samarinda, 29 Oktober – 2 November 1994)
Sebulan menjelang Muktamar NU di Cipasung, yang konon tegang dan panas itu, PMII juga menggelar Kongres di luar Jawa, tepatnya di Samarinda, Kalimatan Timur. Dari Kongres ini menghasilkan Keputusan terkait penyempurnaan AD/ART, program dan rekomendasi, serta menetapkan A Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum PB PMII periode 1994-1997. Di masa kepemimpinannya, Muhaimin melahirkan sebuah gagasan paradigma gerakan PMII, yang dikenal dengan Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran.
12. Kongres XII PMII (Surabaya, 1 – 5 Desember 1997)
Untuk ketiga kalinya, Surabaya menjadi tuan rumah penyelenggaraan Kongres PMII. Sementara itu, perkembangan situasi nasional semakin memanas, membuat konsolidasi gerakan mahasiswa menjadi sangat penting. Syaiful Bahri Anshori sebagai Ketua Umum PB PMII periode 1997-2000. Pada periode ini, muncul Paradigma baru PMII yang disebut dengan Paradigma Kritis Transformatif (PKT).
13. Kongres XIII PMII (Medan, 17-23 November 2000)
Menjelang milenium ketiga, PMII makin berkembang pesat, baik secara jumlah anggota, maupun dari kontribusi gerakan yang diberikan untuk masyarakat dan bangsa. Di tahun 2000, PMII menggelar Kongres di Medan. Nusron Wahid sebagai Ketua Umum PB PMII periode 2000-2003. Salah satu Keputusan yang diingat dalam Kongres Medan ini, yakni pembubaran KOPRI.
14. Kongres XIV PMII (Kutai Kartanegara, 17-23 April 2003)
Malik Haramain, Ketua Umum PB PMII Periode 2003 – 2005. Begitulah judul artikel warta yang dimuat di NU Online pada hari Rabu tanggal 23 April 2003. Dalam artikel tersebut, juga tertulis visi dari pemilik nama lengkap Abdul Malik Haramain tersebut, untuk mengembalikan garis gerak perjuangan PMII dan intelektualitas yang saat ini mulai memudar dalam kultur PMII. Di kemudian hari, pada periode kepemimpinannya menghasilkan paradigma Membangun Sentrum Gerakan Di Era Neo Liberal. Kongres PMII ke XIV juga memutuskan untuk membentuk kembali KOPRI yang sebelumnya dibubarkan.
15. Kongres XV PMII (Cipayung, 27 Mei – 3 Juni 2005)
Kongres di Cipayung Bogor ini secara jadwal direncanakan akan berakhir pada tanggal 31 Mei 2005. Namun, pada kenyataannya, baru dapat dipungkasi tiga hari setelahnya. Setelah melewati proses yang panjang dan melelahkan, Kongres PMII ke XV akhirnya berhasil mengangkat Ketua Umum PB PMII periode 2005-2007, Hery Haryanto Azumi yang memperoleh suara 85. Sedangkan kandidat lainnya Andi Syarifuddin mendapat 63 dan Umar Sadat 38 suara.
Selain itu juga dipilih Ketua Korp Perempuan PMII yang dimenangkan oleh Ai Maryati dari Kab. Bandung yang memperoleh 69 suara mengalahkan rivalnya Balia (29 suara) dan Evi Nurmilasari (37 suara). Walaupun molor sampai tiga hari, namun para peserta masih setia mengikuti kongres sampai akhir.
16. Kongres XVI PMII (Batam, 17-23 Maret 2007)
M Rodli Kaelani terpilih menjadi Ketua Umum PB PMII 2008-2011 pada Kongres XVI PMII di Batam. Rodli berhasil mengumpulkan 91 suara dari 205 suara, mengungguli dua kandidat lain M Dwi Satya dan Abdul Hakam yang menjaring masing-masing 47 dan 63 suara. Sedangkan tiga suara di antaranya dianulir dan satu abstain. Sebelumnya, Rodli menjabat Sekretaris Jenderal PB PMII pada pengurusan 2005-2007. Pada orasi sebelum pemungutan suara, ia menyerukan pembangunan barisan bersama antara gerakan mahasiswa di Indonesia Barat dan Timur.
17. Kongres XVII PMII (Banjarbaru, 9-17 Maret 2011)
Kongres XVIII PMII diselenggarakan di Asrama haji Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Penulis yang kebetulan ikut hadir dalam perhelatan Kongres ini, menyaksikan secara langsung dinamikanya, mulai dari pembukaan, forum-forum seminar, diskusi di luar gedung, bazar, hingga terpilihnya Addin Jauharudin menjadi Ketua Umum PB PMII 2011-2013. Dalam kongres ini juga, mulai didengungkan kembali wacana PMII untuk menjadi Banom NU.
Usai terpilih, dalam sambutannya, Adin mengajak seluruh kader untuk bergerak secara masif, agar PMII mampu menjadi pemimpin bagi gerakan sosial. PMII harus bisa menjadi motor penggerak perubahan.
18. Kongres XVIII PMII (Jambi, 30 Mei-10 Juni 2014)
Kongres PMII XVIII dibuka Jumat (30/5/2014), pukul 14.00 di Gedung Olah Raga Kota Baru Jambi. Upaya untuk mengembalikan PMII menjadi Banom NU di arena Kongres terus menguat. Bahkan sebelumnya, Ketua Umum PBNU kala itu, KH Said Aqil Siroj menyampaikan imbauan agar PMII kembali ke pangkuan NU dengan kembali menjadi Banom NU. Meski demikian, pada akhirnya keputusan Kongres Jambi belum mampu mewujudkan upaya tersebut. Aminuddin Ma’ruf terpilih sebagai Ketua Umum PB PMII periode 2014-2016.
19. Kongres XIX PMII (Palu, 16-21 Mei 2017)
Kongres dengan tema "Meneguhkan Konsensus Bernegara untuk Indonesia Berkeadaban" ini dibuka oleh Presiden RI Joko Widodo, pada acara pembukaan yang digelar di Masjid Agung Kota Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (16/5/2017). Tak seperti Kongres-kongres sebelumnya, yang terkadang molor atau berlangsung hingga seminggu lebih. Di Kongres yang diikuti peserta dari 238 Cabang dan 25 Korcab ini, terselenggara sesuai jadwal yang ditetapkan. Agus M Herlambang dari Jombang, terpilih sebagai Ketua Umum PB PMII periode 2017-2019.
20. Kongres XX PMII (Balikpapan, Maret 2021)
Maret 2020, Kasus Corona Pertama di Indonesia diumumkan, dan sejak saat itu pula Pandemi Covid melanda ke seluruh penjuru tanah air. Pandemi Covid ini juga melanda ke seluruh dunia, yang menyebabkan hampir aktivitas sosial menjadi terhenti total. Termasuk Kongres PMII, yang akhirnya juga mesti menyesuaikan kebijakan pemerintah. Kongres yang sedianya digelar April 2020, kemudian diundur Maret 2021.
Penyelenggaraan Kongres pun mesti dilakukan dengan mematuhi protokol Kesehatan: jaga jarak, memakai masker, dan sebagainya. Presiden Jokowi ikut membuka Kongres via daring. Hasil Kongres memandatkan Muhammad Abdullah Syukri sebagai Ketum PB PMII dan Maya Muizzatil Lutfillah sebagai Ketua Kopri PB PMII 2021-2023
21. Kongres XXI PMII (Palembang, 9 -11 Agustus 2024)
Kongres XXI Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) 2024 resmi dibuka di Jakabaring Sport City, Kota Palembang, Sumatera Selatan pada Jumat (9/8/2024). Mengusung tema Bersama Memenangkan Indonesia, Memimpin Peradaban Dunia, rencananya Kongres akan dihelat hingga tanggal 15 Agustus 2024. Selain membahas rumusan organisasi dan rekomendasi untuk tata kelola pengembangan kaderisasi yang lebih baik, nantinya forum musyawarah tertinggi PMII ini juga akan memilih ketua umum PB PMII 2024-2027.
Sumber:
1. Almanak Kenang-kenangan Sewindu PMII 17 April 1960-1968 (PMII Tjabang Tjiputat Djakarta, 1968)
2. Fragmen Seperempat Abad PMII (DSC PMII Solo, 1985)
3. Pemikiran PMII dalam Berbagai Visi dan Persepsi (Majalah NU Aula, 1991)
4. Majalah AULA, edisi Desember 1994
5. Hasil-hasil Kongres XX PMII tahun 2021
Ajie Najmuddin, Pemerhati Sejarah NU, Wakil Ketua PC PMII Surakarta (2009-2011)