Kontroversi Dokumen Kepengurusan Pertama PBNU, Antara Catatan KH Abdul Halim Leuwimunding dan Qanun Asasi
Jumat, 17 Maret 2023 | 13:30 WIB
Dokumen pengurus pertama PBNU beraksara Arab Pegon merupakan sebuah dokumentasi dari Qanun Asasi halaman 15 dan 16 yang disatukan dengan aplikasi digital dengan bubuhan stempel yang berasal dari sampul Berita Nahdlatoel Oelama Nomor 19 Tahun 6, 23 Jumadal Ula 1356 H/1 Agustus 1937 M yang terdapat dalam Perpustakaan PBNU. (Foto: Ahmad Ginanjar Sya'ban)
Sebuah dokumen beraksara Arab pegon di bagian atas dan beraksara latin di bagian bawah tersebar di jagat maya melalui media sosial. Dokumen tersebut memuat nama-nama yang menjadi pengurus pertama Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) atau Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat ini.
Dokumen tersebut diyakini sebagai sebuah rekayasa digital, bukan dokumen asli. Pasalnya, terdapat sejumlah kejanggalan, mulai dari ejaan tulisan latin yang mengikuti ejaan masa kini, jenis font, perbedaan istilah untuk menyebut suatu jabatan tertentu, hingga perbedaan nama antara bagian atas yang beraksara pegon dan bagian bawah yang beraksara latin. Hal terakhir itulah yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Bagian atas yang beraksara Arab Pegon merupakan sebuah dokumentasi dari Qanun Asasi halaman 15 dan 16 yang disatukan dengan aplikasi digital dengan bubuhan stempel yang berasal dari sampul Berita Nahdlatoel Oelama Nomor 19 Tahun 6, 23 Jumadal Ula 1356 H/1 Agustus 1937 M yang terdapat dalam Perpustakaan PBNU.
Penyatuan tersebut dilakukan oleh Ahmad Ginanjar Sya’ban, peneliti manuskrip Nusantara dan Dosen Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia). Ia mengunggah dokumen tersebut dengan keterangan yang lengkap di akun Facebooknya pada 31 Januari 2019.
Adapun bagian bawah kemungkinan besar merujuk pada syair yang ditulis oleh KH Abdul Halim Leuwimunding, salah seorang pendiri NU yang berasal dari Majalengka, Jawa Barat. Syair tersebut ditulis pada tahun 1970 dan dirujuk oleh sejumlah penulis NU.
Dokumen kepengurusan pertama PBNU yang memunculkan kontroversi. (Foto: Dok. Perpustakaan PBNU)
Baca Juga
Tiga Kiai Dahlan di Tubuh HBNO
Kedua dokumen tersebut memiliki sejumlah perbedaan, tetapi sama-sama diklaim bahwa daftar nama yang termaktub pada masing-masing adalah pengurus pertama PBNU. Dalam Qanun Asasi, nama-nama yang termaktub di bawahnya juga diklaim sebagai pengurus pertama PBNU.
Di bagian atas terdapat tulisan yang menyatakan hal tersebut Sementara Kiai Abdul Halim juga menegaskan dalam syairnya, bahwa nama-nama yang disebut dalam syair-syairnya adalah pengurus pertama PBNU. Syair tersebut ditulis dalam bahr rajaz berikut.
“Nah inilah lengkap pengurus pertama * di waktu berdiri Nahdlatul Ulama”
Adapun perbedaan keduanya antara lain adalah nama ulama yang menjabat sebagai Wakil Rais Syuriyah. Dalam dokumen Qanun Asasi, nama yang menduduki jabatan tersebut adalah KH Amin bin Abdul Syakur Surabaya, sedangkan dalam catatan KH Abdul Halim, bukan Kiai Amin melainkan KH Dahlan Achyat Kebon Dalem Surabaya.
“Pak Kiai Hasyim Asy’ari Rais Utama Pertama * Kiai Dahlan Kebon Dalemlah wakilnya”
Namun, saya mendapat kabar dari Pengurus Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Jawa Timur Karomi bahwa Kiai Dahlan pernah mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Melalui akun Facebooknya, ia juga mengunggah sejumlah dokumen, di antaranya sebuah berita yang menunjukkan kebenaran informasi tersebut, yakni dari Godsdientlige Baden (Majalah Religi) Bintang Islam. Ringkasan No 27, edisi van 25 Juni 1928, Nr. 12. Pada majalah tersebut, terdapat informasi yang menyatakan kemunduran Kiai Dahlan dan Kiai Fakih Sedayu atau dikenal KH Fakih Maskumambang. Bahkan keduanya mendirikan Raudlatoel Oelama.
“Seperti yang H Fachrodin dengar, Nahdlatul Ulama di Surabaya meledak setelah kepergian sekretarisnya KH Abdul Wahab sebagai imam haji ke Makkah, karena dua pengurus utama, KH Fakih Sedajoe dan KH Dachlan Bondalem, keluar dari asosiasi dan sebuah perkumpulan baru dengan nama Raudlatoel Oelama. Alasan kepergiannya adalah sekretaris tersebut tidak menempatkan keputusan yang diambil dalam rapat umum di badan perkumpulan, tetapi hanya informasinya sendiri tentang masalah yang relevan. Ketua K. Hasjim Teboeireng juga disebut terlalu lemah. Penulis menyesalkan perpecahan di kalangan Ulama tentang bahaya yang sekarang mengancam Islam dari Kristen dan Teosofi, dan mengangkat Muhammadiyah sebagai contoh bagaimana melanjutkannya.” (Diterjemahkan menggunakan Google Translate dengan beberapa penyesuaian)
Perbedaan lainnya adalah nama yang menjabat Katib Syuriyah. Pada dokumen Qanun Asasi, nama katibnya adalah KH Mas Alwi Abdul Aziz, sedangkan KH Abdul Wahab Chasbullah menempati posisi sebagai mustasyar. Sementara pada catatan Kiai Abdul Halim, KH Abdul Wahab Chasbullah adalah katib awal, sedangkan Kiai Mas Alwi menempati posisi sebagai a’wan.
“Katib Awal Pak Ki Wahab yang utama * otak Nahdlatul Ulama yang pertama”
Ada perbedaan istilah juga yang terdapat pada katib. Kiai Abdul Halim menyebut istilah katib awal dan katib tsani, sebuah jabatan yang diamanahkan kepadanya. Sementara pada Qanun Asasi, istilah yang digunakan adalah katib dan naibul katib.
Istilah lain yang berbeda adalah untuk menyebut ketua, wakil ketua, dan bendahara pada kepengurusan tanfidziyah. Istilah ketua, wakil ketua, dan bendahara digunakan Kiai Abdul Halim. Sementara pada dokumen Qanun Asasi, digunakan istilah president, vice president, dan kasir.
Selain itu, hal yang berbeda lagi adalah nama vice president Haji Ahzab (di catatan K Abdul Halim sebagai Komisaris), Kasir 1 Haji Ihsan dan Kasir 2 Haji Abdul Fattah, Sekretaris 1 Muhammad Sodiq, terdapat pada dokumen Qanun Asasi. Sementara yang termaktub dalam catatan Kiai Abdul Halim adalah Wakil Ketua Haji Saleh Syamil (dalam Qanun Asasi sebagai Komisaris), Sekretaris M Sidik Sugeng, Bendahara H M Burhan dan H Ja’far (di dokumen Qanun Asasi keduanya sebagai komisaris).
Lalu, manakah sebetulnya kepengurusan pertama PBNU? Apakah versi catatan Kiai Abdul Halim atau Qanun Asasi?
Hal demikian perlu penelusuran dan penelitian yang lebih lanjut. Ada kemungkinan catatan Kiai Abdul Halim merupakan kepengurusan yang pertama. Klaim tersebut ditandai dengan adanya berita kemunduran sosok Kiai Dahlan Achyat Kebon Dalem. Pun pada Statuen NU yang disahkan di tahun 1930-an, di bagian akhir terdapat sepenggal kalimat yang menunjukkan adanya perubahan kepengurusan di masa awal sampai di tahun 1930-an. Statuen tersebut terdapat dalam satu jilid dengan Qanun Asasi.
“Nama-nama anggota H.B. jg (yang) pertama kali tidak dimoeat, sebab orang-orangnja soedah berganti (Statuen h.6)”
Namun, ada kemungkinan juga kepengurusan yang pertama adalah yang termaktub dalam Qanun Asasi tersebut. Bagaimana pun itu adalah dokumen pertama yang ada yang disahkan secara hukum.
‘Ala kulli hal, kita bisa merujuk pada kedua dokumen tersebut asalkan dengan syarat mencantumkan referensi yang jelas. Tidak seperti gambar yang beredar tersebut, tidak mencantumkan sumber referensi sama sekali.
Penulis: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad