Abdurrahman Addakhil yang saat ini dikenal sebagai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan kelima adiknya harus merasakan kesedihan mendalam saat kehilangan sang ayah, KH Abdul Wahid Hasyim untuk selama-lamanya. KH Wahid Hasyim meninggal dunia pada 19 April 1953 akibat kecelakaan mobil yang menimpanya saat perjalanan dari Jakarta menuju Bandung. KH Wahid Hasyim meninggal dunia pada usia 38 tahun.
KH Wahid Hasyim meninggalkan enam orang anak. Keenam anak tersebut yaitu Abdurrahaman Addakhil berusia 14 tahun dan baru lulus sekolah dasar saat itu. Kedua, Aisyah berusia 12 tahun dan baru kelas 5 sekolah dasar, ketiga Salahuddin Al-Ayyubi yang kini dikenal Salahuddin Wahid berusia 10 tahun dan baru kelas 3 sekolah dasar.
Keempat, Umar Al-Faruq berusia 9 tahun dan baru duduk di kelas 2 sekolah dasar, kelima Lily Khodijah yang baru berusia 5 tahun dan masih belajar di taman kanak-kanak, terakhir Muhammad Hasyim (Hasyim Wahid, Gus Im) yang saat itu masih di dalam kandungan Nyai Sholichah yang baru berusia 3 bulan. (baca Majalah Risalah Islamyah Jakarta, Edisi Nomor 7-IX, tahun 1977)
Beban untuk mendidik hingga menyekolahkan keenam anaknya itu betul-betul sangat dirasakan oleh Nyai Sholichah karena tidak banyak peninggalan suaminya selain ilmu dan perjuangan yang tiada tara. Nyai Sholehah menuturkan, suaminya adalah seorang pejuang yang tentunya tidak banyak perhatiannya pada harta benda selain keikhlasan.
Namun, bagi Nyai Sholichah yang terpenting suaminya telah meninggalkan ilmu pengetahuan dan pelajaran hidup yang sangat berharga untuk bekal anak-anaknya di masa mendatang. Hal ini menjadi keyakinan dirinya dalam setiap usaha yang dilakukannya agar keenam anaknya dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, termasuk ketika Nyai Sholichah membuka usaha jualan beras.
Usaha dagang beras terbilang sukses, Nyai Sholichah juga berusaha membuka usaha-usaha lainnya, seperti usaha leveransir (semacam jasa penyedia barang, red) bagi pembangunan Tanjung Priok kala itu. Atas kerja kerasnya tersebut, Nyai Sholichah berhasil mencukupi kebutuhan bagi pendidikan keenam anaknya.
Semua anaknya itu dididik dan disekolahkan di Jakarta untuk pertama kali, kemudian ada yang melanjutkan ke Jawa Tengah (Pesantren Tegal Rejo), ITB, dan Mesir. Dalam hal pendidikan agama, ketika suaminya masih hidup, anak-anak Nyai Sholichah sering mengaji kepada ayahnya sendiri di tengah kesibukannya menjabat sebagai Menteri Agama.
Tradisi shalat jamaah juga diterapkan betul oleh Nyai Sholichah untuk mewujudkan kedisiplinan anak-anaknya. Setiap maghrib harus berjamaah, lalu dilanjut dengan mengaji Al-Qur’an bersama-sama. Khusus malam Jumat, mereka juga diharuskan membaca tahlil secara berjamaah.
Dalam pandangan Nyai Sholichah, pendidikan agama sangat penting dalam membina moral anak-anak sehingga peran apapun yang dijalani anak-anaknya kelak, mereka tetap terjaga untuk taat kepada Tuhannya. Selain itu, pendidikan rohani juga mampu menjadikan anak tidak mudah minder (kecil hati) karena Islam mendidik manusia berhati besar tetapi tidak sombong.
Pendidikan berharga yang selalu ditekankan oleh Nyai Sholehah juga terkait dengan berusaha menjadi diri sendiri, beramal dengan karya sendiri, tidak menggantungkan dan membonceng orang lain, terutama membonceng kebesaran orang tua.
Karena menurutnya, lebih baik menjadi orang besar karena karyanya sendiri daripada menjadi besar karena mengandalkan nasab semata. Oleh sebab itu, dalam pandangan Nyai Sholichah, bekal akhlak dan ilmu pengetahuan mempunyai peran yang sangat penting.
Nyai Hj Lily Khodijah Wahid yang wafat pada Senin (9/5/2022) sekitar pukul 16.28 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta merupakan tokoh perempuan NU yang senantiasa bersikap kritis terhadap problem bangsa, tak terkecuali soal sosial-politik, keagamaan, jam’iyah NU, dan Indonesia.
Ali Yahya dalam Sama Tapi Beda (2007) menjelaskan renungan yang disampaikan Nyai Hj Lily Khodijah Wahid tentang mendekatkan diri kepada Allah, khususnya dalam mengelola organisasi sebesar NU. Lily Wahid, sapaan karibnya menekankan pentingnya mendekatkan diri kepada Allah swt ketimbang sibuk membicarakannya.
"Kalian hanya sibuk membicarakan Allah, bukannya sibuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan orang-orang tua kita dulu sibuk mendekatkan diri kepada Allah sehingga bisa menghasilkan NU yang sampai hari ini masih ada. Kalau kita hanya membicarakan Allah dan tidak mau mendekatkan diri kepada Allah, nanti kita tidak tahu apa yang dikehendaki oleh-Nya,” ujar Lily Khodijah Wahid dalam buku Sama Tapi Beda (2007). (Fathoni)