SERIBU ULAMA Sumatera Barat berdatangan di sebuah surau, di Bukittinggi. Mereka bermusyawarah, menyikapi kelompok yang menyerang tarekat di tanah Minang: Naqsabandiyah. Setidaknya ulama dan jama’ah tarekat, oleh penyerang, divonis sesat dan bid’ah.
<>
Kabar di atas disiarkan majalah Berita Nahdlatoel Oelama (BNO) Nomor 1 Tahun ke-10, terbit Nopember 1940. Sumbernya dari majalah Al-Mizan di Bukittinggi, majalah yang diterbitkan Persatuan Tarbiyatul Islamiyah (Perti).
Seribu ulama Minang amat menyesalkan atas sikap Haji Karim Amrullah yang telah memvonis sesat kaum tarikat dan para pemegang madzhab (al-mutamadzhibin). Pertentangan antara penganut tarekat, juga pemegang ajaran Aswaja dengan para pembaharu yang menolak tarekat serta madzhab telah berlangsung lama (sebelum Perang Padri tahun 1821-1837) dan keras. Konflik ini dikenal dengan 'Kaum Muda' dan 'Kaum Tua'. Kaum Tua sebutan untuk para pemegang madzhab dan pengamal tarekat. Sedangkan para penentang madzhab dan yang menyesatkan tarekat disebut Kaum Muda.
Dalam sebuah keterangan, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (1871-1970), pemangku Surau Candung dan pendiri Persatuan Tarbiyatul Islamiyah (Perti), menulis berbait-bait puisi untuk menyindir tingkah Kaum Muda:
Jangan dicari ke dalam Qur’an
Hadistnya nabi-pun demikian
Mujtahid mutlak punya bahagian
Nasi yang masak hendaklah makan
Kita nan tidak tahu bertanak
Api dan kayu tungkupun tidak
Hendaklah makan nasi yang masak
Orang yang cerdik janganlah gagak
Dua penggal bait puisi di atas mengilustrasikan posisi orang bermadzhab. Al-Qur’an dan hadits itu bahan, para mujtahid sudah mengolahnya. Ijtihad para imam itu ibarat nasi yang sudah nanak, tinggal makan saja. Ar-Rasuli mengingatkan, orang yang pintar tidak boleh seperti burung gagak. Sementara Kaum Muda lantang bersuara jangan taqlid, ijtihadlah sendiri, tidak perlu tarekat-tarekatan. Semuanya tidak ada dalam Al-Qur’an. Nabi pun tidak mengajarkan.
Majalah yang diterbitkan Pengurus Besar NU mendukung posisi dan sikap Kaum Tua dan menolak vonis sesat yang dilontarkan Hamka dan golongan Kaum Muda. Majalah NU menyatakan tepat keputusan kaum tarekat untuk kunut nazilah selama sebulan sebagai sikap perlawanan.
Meski demikian, awalnya NU menyerukan agar dilakukan dialog. “Tidakkah dapat diadakan permusyawaratan lebih dahulu antara mereka dan pihak yang mengatakan sesat?” begitu Berita Nahdlatul Oelama menulis.
Akan tetapi, tulisnya, sekiranya tidak bisa didamaikan pendirian yang berlainan itu, mestinya saling mengerti pendirian masing-masing. Tidak perlu dipertentangkan satu dengan yang lainnya.
“Lana a’maluna wa lakum a’malukum la hujjata baynana wa baynakum. Bagi kami amal kami, bagi kalian amal kalian, tidak ada pertikaian antara kami dan kalian,” kutip Berita Nahldatul Oelama. “Kamoe djalanlah pada railmoe dan kami berdjalan atas rail kami, dengan tidak edjek-mengedjek dan hina-menghinakan antara kami dan kamoe.”
Khusus untuk Hamka diberi peringatan tersendiri,”Perbanjaklah menggoenakan akal fikiran dan ilmoe, daripada menggenakan kemaoean.” (Hamzah Sahal)