Mbah Said duduk tercenung di ruang tamu. Pesantren Gedongan Cirebon yang didirikan dan diasuhnya baru saja menuntaskan masa-masa liburan Maulid Nabi Muhammad SAW. Ia mungkin merasa prihatin. Beberapa santri yang berasal dari berbagai kota di Jawa harus menempuh perjalanan berbulan-bulan untuk kembali ke pesantren.
<>
Sebab, di tahun 1850-an tak ada transportasi yang bisa diandalkan, terkecuali kereta api yang melintas di belakang pesantren. Itu pun milik Pemerintah Hindia Belanda.
“Kenapa kau tidak naik kereta api saja? Bukan apa-apa, supaya kamu dan teman-teman lekas sampai ke pesantren, juga pengajian bisa langsung dimulai,” tanya Mbah Said kepada santri asal Pekalongan, Jawa Tengah yang baru saja tiba dan hendak sowan.
“Pangapunten Mbah Said, kereta api tidak berhenti di belakang pesantren. Jika santri harus turun di stasiun kota, itu akan memakan waktu yang lama juga untuk kembali ke sini,” ucap santri, menjawab.
“Baiklah, sekarang kamu pergi ke Kawedanan. Katakan kepada Belanda, tolong untuk kereta api jurusan Surabaya–Jakarta dan sebaliknya agar berkenan berhenti di belakang pesantren. Tidak usah lama-lama. Sekadar menurunkan para santri dari Jawa dan Batavia,” perintah Mbah Said.
Kawedanan, distrik pemerintahan Hindia Belanda tingkat kecamatan.
Demi khidmat kepada kiainya, sang santri langsung menuju ke Kantor Kawedanan yang terletak sekira 5 kilometer arah barat pesantren. Setelah sampai, di bagian Verkeer en Waterstaat langsung dilaporkan bahwa pesantren menghendaki berhentinya alat transportasi massal tersebut tepat di belakang pesantren.
Verkeer en Waterstaat, Dinas Pekerjaan Umum untuk Hindia Belanda.
“Apa yang bisa dijadikan alasan agar Pemerintah Hindia Belanda menghentikan kereta api di pesantren? Apakah di sana ada pasar?” tanya petugas.
“Tidak ada.”
“Apa di sana ada Pabrik Gula?”
“Tidak ada.”
“Baiklah, dengan ini Pemerintah Belanda memutuskan untuk menolak keinginan pesantren. Karena, pemberhentian kereta api harus didasarkan pada dua pertimbangan. Pasar dan pabrik. Sampaikan ke Kiai Said,” ketus petugas.
Sekembalinya dari Kawedanan, santri langsung melaporkan keputusan itu kepada Mbah Said. Namun Mbah Said tetap bersikukuh pada pendiriannya. Pemerintah Hindia Belanda harus menghentikan kereta api di belakang pesantren barang beberapa menit.
Berdasarkan pertimbangan sikap Mbah Said, maka santri asal pekalongan itu kembali melaporkan keinginan yang sama secara berulang hingga kali ketiga. Sayangnya, pemerintah Belanda tetap pada keputusan yang sama; menolak.
“Ya sudah, kalau begitu kita tidak usah memohon atau meminta izin kepada Belanda. Saya minta izin langsung kepada Allah Swt saja. Dia Yang Maha Merestui,” kata Mbah Said kepada santrinya.
Keesokan harinya, Pesantren Gedongan tampak riuh. Puluhan santri asal beberapa kota di Jawa bagian Timur dan Batavia berjalan menuju pesantren dari arah perlintasan kereta api. Yang membuat santri lain terheran ialah kedatangan teman sepesantrennya itu didampingi para opsir Belanda. Seolah-olah dikawal rapat.
“Ada apa ikut-ikutan ke sini?” tanya Mbah Said kepada salah satu opsir Belanda.
“Saya hendak protes, Kiai. Mengapa dua kereta api kami jurusan Surabaya–Jakarta dan sebaliknya sama-sama mogok. Dan mendapati kerusakan mesin di belakang pesantren?”
“Bukan rusak, itu hanya berhenti sementara untuk menurunkan santri. Lekas kalian kembali ke kereta, nanti ketinggalan.”
Tak lama, jerit sirene khas kereta api membuat para opsir Belanda lari tunggang langgang menuju sumber suara. Tanpa memedulikan pamit undur diri dan gelak tawa para santri, mereka tampak panik. Takut tertinggal kereta api. (Sobih Adnan)
Hasil wawancara dengan pengasuh pesantren Gedongan Cirebon KH Amin Siroj, generasi ke-III Mbah KH Mohammad Said.