Meneguhkan Kearifan Lokal untuk Problem Global, Belajar dari KH Wahab Chasbullah
Kamis, 27 Oktober 2022 | 08:00 WIB
KH Wahab Chasbullah menggunakan kearifan lokal saat diplomasi global, menyatukan dua aliran berbeda menyelesaikan permasalahan bersama. (Foto: dok NU Online)
Diplomasi level internasional tetapi dijalankan dengan menggunakan strategi kearifan lokal kerap dilakukan oleh kalangan santri. Seperti ketika KH Muhammad Hasyim Asy’ari mengutus KH Abdul Wahab Chasbullah untuk mengonsolidasikan ulama-ulama di Arab untuk bertemu. Namun, tantangan berat dihadapinya karena para ulama di Arab hampir tidak percaya Kiai Wahab adalah salah seorang murid Kiai Hasyim Asy’ari yang tersohor itu.
Akhirnya dibantu Syekh Ghanaim al-Mishri dari Mesir, Kiai Wahab berhasil mengumpulkan ulama, baik dari kelompok Sunni dan Syiah. Dia menjadi perbincangan dan bisikan ramai di antara para ulama tersebut soal dirinya adalah murid Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Kiai Wahab mendengar bisikan-bisikan dari kedua kelompok tersebut dan akhirnya makin percaya diri untuk berbicara. (baca KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013).
"Kami diutus Hadratussyekh Hasyim Asy’ari untuk meminta Anda sekalian bergerak. Bergerak tentang apa? Nanti kami ceritakan, sekarang kami mau bertanya dulu," kata Kiai Wahab seperti dikisahkan Gus Muwafiq.
"Ulama di tempat kami, Indonesia, jika bertemu cium tangan, tapi ulama di sini kok cium pipi kiri dan pipi kanan, itu apa sebabnya?" tanya Kiai Wahab dalam komunikasi dengan bahasa Arab.
"Akhirnya sebagian ulama yang hadir ada yang menjawab. "Sebab jika pipi kiri kanan bertemu, antara kulit dengan kulit bertemu itu besok akan menjadi saksi di hadapan Allah swt," jawab salah seorang ulama.
"Oh...ya... ya... ya...," tanggap Kiai Wahab.
Lalu Kiai Wahab Chasbullah bertanya kembali. "Lha, kalau begitu apa bedanya dengan semut? Semut itu jika ketemu dengan temannya, juga cium pipi kiri dan pipi kanan?"
Semuanya diam tak ada yang menjawab. "Lha tidak ada dasarnya dalam Al-Qur'an dan Hadits," akhirnya dijawab sendiri oleh Kiai Wahab saat itu.
"Anda sekalian tidak tahu toh, kenapa jika semut ketemu temannya cium pipi kiri pipi kanan?" Kiai Wahab kembali menukas.
Kiai Wahab menguraikan penjelasannya. Karena dulu saat banjir, Nabi Nuh mengarungi lautan. Semua hewan ikut naik kapal Nabi Nuh. Nabi Nuh berpikir, jika nanti hewan yang naik kapal ini kawin dan berkembang biak, maka akan dapat mengakibatkan kapal tenggelam.
Akhirnya Nabi Nuh memberi kebijakan, semua alat kelamin wajib dicopot dan dititipkan di lemarinya Nabi Nuh. Begitu perjalanan sampai daratan, semua hewan berlomba lari ke daratan karena rasa dan perasaan yang sangat senang.
Akhirnya ada yang melompat pertama kali, yaitu kuda. Kuda pertama kali lari dan mengambil dari kumpulan alat kelamin yang ada di lemari Nabi Nuh, tapi yang diambil adalah kelaminnya gajah (karena tertukar, makanya alat kelamin kuda itu besar).
Giliran pembagian alat kelamin, yang terakhir adalah semut. Semut pun sudah lari ke daratan. Nabi Nuh bertanya, "Lha ini alat kelaminnya siapa?" Ada yang menjawab, "alat kelaminnya semut."
"Lha semut ke mana?"
"Sudah lari ke daratan dari tadi."
Ditunggu lama, semut tidak juga kembali. Akhirnya alat kelamin semut dihanyutkan bersama lemari Nabi Nuh. Hilang tidak tahu ke mana.
Maka, mulai saat itu semut mencari alat kelaminnya. Dan, setiap kali bertemu dengan temannya pasti bertanya: "Alat kelaminmu sudah ketemu apa belum?"
Akhirnya ulama Sunni dan ulama Syiah bisa tertawa bersama. Kemudian rukun, saling bertepuk pundak dan saling salam-salaman. Mulai saat itu, mereka bersatu bersama menolak pembongkaran makam Kanjeng Nabi Muhammad oleh Kerajaan Arab Saudi beraliran Wahabi.
Dari kisah di atas, bisa dilihat bahwa kiai-kiai pesantren menggunakan kearifan lokal untuk melakukan diplomasi global, menyatukan dua aliran yang berbeda untuk saling bergandengan tangan menyelesaikan permasalahan bersama. Kiai Wahab Chasbullah cukup memberikan sedikit sudut pandang dari kisah yang sudah umum dengan bumbu humor.
Fathoni Ahmad, Redaktur Pelaksana NU Online