Kami berdelapan menjadi anggota parlemen. Di antara kami, A.S. Bachmidlah yang telah memiliki mobil. Mobil "Peugeout" yang tahun pembikinannya sudah tua, dan sering mogok di jalanan.
<>
"Hayo, mari, siapa mau ikut?" seru K.H. Muhammad Ilyas berdiri di sebelah mobil Bachmid pada suatu hari ketika kami keluar dari gedung parlemen di Jalan Dr. Wahidin.
"Kami kuti numpang hingga ke Kwitang!" jawabku. Aku bersama Idham Chalid keluar gedung parlemen hendak pulang. Kami duduk di dalam mobil. Bachmid sudah siap hendak menghidupkan mesin.
"Nantilah dulu!" perintah K.H. Muhammad Ilyas kepada Bachmid. Sementara itu ia masih berdiri di luar pintu mobil.
"Hayo lagi, siapa mau ikut?" teriak K.H. Muhammad Ilyas. Ia mengajak Hasan Basri dan Abdul Mu'iz yang baru keluar dari gedung parlemen.
"Sudahlah kita berangkat! Tunggu siapa lagi? Mobil begini kecil masih akan ditambah lagi penumpangnya!" teriakku kesal. Panas dalam mobil.
"Eee, biar tambah banyak yang naik mobil tambah baik. Kalau mobil ini mogok di jalanan biar banyak yang mendorong," jawab Kiai Ilyas seenaknya.
"Insya Allah tak akan mogok, percayalah!" Bachmid meyakinkan kami.
"Ya, siapa tahu! Mobil sudah nenek-nenek begini!" Idham Chalid menyela.
"Jangan kira! Dulu mobil ini baru," Bachmid membanggakan mobilnya.
"Tentu saja baru. Memangnya pabrik membuat mobil tua?" aku menyela.
Maka berangkatlah kami berempat dalam mobil Bachmid. Jika suara mesin agak lirih, Kiai Ilyas teriak: "Dorong!" Bachmid menancap pedal gas pelan-pelan, jalannya mesin kembali stabil. Alhamdulillah, sampai juga ke tempat tujuan tak kurang suatu apa. Kami lega, bebas dari ancaman mendorong mobil. Zaman itu, belum banyak orang-orang Republik memiliki mobil. Beberapa yang telah memiliki mobil, kebanyakan main dorong karena mobil sudah tua. (K.H. Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren)