Muallim Radjiun: Antara Pekojan–Pulau Seribu (2, habis)
Sabtu, 3 Maret 2012 | 23:48 WIB
Di antara banyak ulama Betawi, Muallim Radjiun punya hobi “langka”. Ia penggila bola. Ketika Perang Dunia II meletus dan memutus jalur laut Jawa-Mekkah, ia memutuskan menjadi pemain bola di kesebelasan Nejed, Arab Saudi. Ketika itu Muallim Radjiun tengah belajar agama di Mekkah. Hasil dari olahraga kulit bundar itu dimanfaatkan menutup kebutuhan hidup selama di sana, termasuk berbagi juga untuk teman-temannya asal Indonesia. Salah satunya KH. Nur Ali, ulama terpandang dari Bekasi
<>
Setelah belasan tahun di Mekah, Muallim Radjiun kembali ke Tanah Air dan sempat bergabung dengan beberapa teman serta juniornya seperti KH Tubagus Mansur Ma’mun, KH Shaleh Ma‘mun (Serang, Banten), KH Abdul Hanan Said, dan KH Abdul Aziz Muslim di Jam‘iyatul Qurro wal Huffazh, organisasi yang menaungi para qari dan penghafal al-Quran di Nahdlatul Ulama (NU). Di organisasi NU, ia juga terlibat aktif. Sahabat seperjuangannya lainnya KH Abdullah Syafi’i, pendiri pergururuan Asy-Syafi‘iyyah, dan KH Thahir Rohili, pendiri perguruan Ath-Thahiriyah.
Karir Muallim Radjiun di birokrasi, pernah menjadi Penasihat Ahli Bidang Agama Menteri Utama Bidang Kesra RI yang ketika itu dijabat oleh KH Idham Cholid. Ia juga tercatat sebagai anggota majlis Konstituante, dan menjadi imam perdana shalat Jumat di Masjid Istiqlal bersama presiden pertama RI, Soekarno.
Selain aktif di birokrasi dan organisasi sosial keagamaan, Muallim Radjiun juga seorang pendidik. Bersama KH. Nur Ali, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Islam (LPI). Salah satu programnya mendirikan Sekolah Rakyat Islam di Jakarta dan Jawa Barat.
Seperti ulama betawi lainnya, Muallim Radjiun mengajar di sejumlah majlis taklim. Di antaranya di Masjid Al-Makmur, Tanah Abang, dan di Pekojan, Jakarta Barat. Rakhmat Zailani Kiki, pengurus Jakarta Islamic Center (JIC) Jakarta Utara, dalam kolomnya di Republika “Mu’allim Radjiun”, Jumat, 22 Februari 2008, menginformasikan jika aktivitas dakwah Muallim Radjiun dilakukan hingga Kepulauan Seribu.
Muallim Radjiun mempersunting seorang perempuan asal Pekojan bergelar syarifah, gelar kehormatan keturunan Arab. Namanya,Khadijah. Setelah menikah Muallim pindah ke Pekojan dan sempat dipercaya sebagai Ketua Pengurus Masjid Pekojan. Muallim Radjiun tak dikarunia buah hati dari perkawinannya dengan Khadijah. Ia dikaruniai putera yang diberi Abdurrahim Radjiun dari pernikahannya dengan Siti Maryam.
“Di Pekojan, kita belajar kitab Jurumiyyah, Mutammimah, dan Kafrawi,” kata H. Dja’far lagi. Empat kitab itu kitab yang biasa diajarkan di pesantren-pesantren tradisional. Ketiganya kitab berisi tata bahasa Arab.
Selain belajar agama, di Pekojan H. Dja’far Arsy juga belajar kursus bahasa Inggris, tapi tak sampai selesai. Mentornya lelaki keturunan Arab bernama Hasan al-Idrus. Waktu itu H Dja’far Arsy lebih memilih berkonsentrasi belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama. Selain Inggris, di tempat kursus ini juga menyediakan kursus bahasa Perancis dan Cina.
Daerah yang kini menjadi salah satu kelurahan di kecamatan Tambora, Jakarta Barat itu, dulunya dikenal juga sebagai Kampung Arab. Pemerintah Hindia Belanda yang menamainya pada abad ke-18. Menurut Dr. LWC van den Berg, orientalis asal Belanda, sebelum dihuni orang-orang keturunan Arab, Pekojan di huni orang-orang Benggali dari India. Ini dikutip sejarawan Betawi Alwi Shahab, Saudagar Baghdad dari Betawi yang terbit tahun 2004.
Menurut Alwi Shahab, Pekojan juga bisa dianggap sebagai pusat dimulainya pendidikan Islam modern pertama di Indoensia. Jamiatul Khair, perkumpulan yang didirikan orang-orang keturunan Arab seperti Ali bin Ahmad Shahab dan Muhammad al-Fachir. Kader-kadernya yang kemudian menjadi tokoh nasional antara lain HOS Tjokroaminoto. Perkumpulan ini kemudian mendirikan madrasah modern. Di sini diajarkan pelajaran dengan mengggunakan buku berbahasa melayu, Arab, dan Inggris. Saya menduga, tempat Bapak dan H. Dja’far Arsy belajar di Pekojan itu adalah Jamiatul Khair ini.
H. Dja’far Arsy bilang, seperti model pesantren sekarang ini, hubungan santri laki-laki dan perempuan juga diawasi. Salah satu nama pengawas perempuan yang dingatnya Hajah Masnun. “Orangnya galak,” katanya sambil terkekeh. Tak jarang Hajah Mansin menegur santri laki-laki yang ketahuan mengobrol dengan santri perempuan. Biasanya saat santri perempuan sedang memasak.
H. Dja’far belajar di Pekojan sejak tahun 1949 sampai 1954. Ia tak melanjutkan belajar karena faktor ekonomi. Saat itu adik-adiknya butuh biaya sekolah. Di sana, selain bapak saya dan H. Dja’far, ada satu lagi kawan pulaunya bernama H. Ibrahim.
Jejak Sang Muallim di Pulau Seribu
“Muallim Rajiun juga yang melantik saya sebagai Ketua Anshor se-Kepulauan Seribu,” kenangnya. Peristiwa itu terjad akhir tahun 50-an. Anshor, sayap organisasi kepemudaan Nahdlatul Ulama yang membawahi Barisan Serbaguna (Banser).
Saya penasaran mengapa ulama Betawi ini bisa nyampe ke Pulau Tidung. “Kalau tidak salah ingat, waktu itu Muallim Radjiun mendirikan Partai NU di pulau ini. Setelah itu menawarkan beberapa anak pulau belajar di Pekojan,” kata H. Dja’far Arsy.
Melihat sejarah hidupnya, Muallim Radjiun ini tokoh multitalenta. Dalam Ulama Betawi karya Ahmad Fadil, dijelaskan Muallim Radjiun tak hanya pemain bola, ia seorang saudagar. Jenis usaha yang digeluti jual beli kuda yang basis peternakannya di Sumbawa NTB. Kegiatan ini juga dimanfaatkannya untuk berdakwah hingga Waingapu NTT.
Ulama Betawi ini tutup usia pada 13 Juni 1982. Usia saya waktu itu masih ingusan: tiga tahun. Muallim Radjiun dimakamkan di pemakaman Karet Jakarta Pusat berdekatan dengan kuburan ayahnya, H. Abdurrahim, dan kakeknya H. Nafi. Tak jauh dari situ juga dikuburkan isteri Soekarno, Fatmawati.
Di bidang pendidikan, “berkah” Muallim Radjiun ini di Pulau Tidung masih bisa dinikmati hingga kini. Tak lain Madrasah Tsanwaiyah Al-Islah Islamiyah Pulau Tidung, almamater saya itu. Sekarang sekolah itu berubah nama menjadi Tsanawiyah Negeri (MTsN) 26.
Sekolah ini didirikan tahun 1969 di antaranya oleh duo Dja’far murid Muallim Radjiun: H. Muhammad Dja’far dan H. Dja’far Arsy. Muhammad Dja’far, bapak saya. Selain mereka ada beberapa nama yaitu Haji Abdul Ghani, Bapak dari H. Mawardi Abdul Ghani, ketua Tanfiziyah NU Pulau Seribu, dan Muhammad Yasin. Pendidikan agama yang digunakan mengikuti model Pekojan. Sekolah ini dibiayai dari hasil tekyan (donasi) warga kampung dan para bos kapal muroami.
Jangan heran, saking melekatnya kiprah nama muallim satu kita ini di Pulau Tidung, Radjiun jadi nama “pasaran” di sana. (Alamsyah M. Dja’far)