Fragmen

Nahdlatul Ulama dan Solidaritas Palestina

Jumat, 8 Desember 2017 | 15:00 WIB

Pada tahun 1938, Ketua Umum PBNU, KH Mahfudz Siddiq pernah diminta menghadap kejaksaan Hindia Belanda. Beliau dianggap meresahkan, sebab beberapa hari sebelumnya, kiai muda ini menggelorakan semangat empati kepada Palestina. Atas nama PBNU, beliau mengajak kepada seluruh umat Islam untuk turut serta dalam aksi solidaritas terhadap Palestina melalui: perayaan Isra' Mi'raj besar-besaran pada 27 Rajab sekaligus menyerukan penggalangan dana untuk disumbangkan kepada rakyat Palestina dan menggemakan pembacaan qunut nazilah. Instruksi ini juga atas restu KH M. Hasyim Asy'ari, Rais Akbar PBNU. Seluruh konsul (Pengurus Cabang) NU melaksanakan amanah ini.

Aksi solidaritas tersebut digalang karena pada saat itu para pemuda ekstremis Yahudi menyerang penduduk Palestina, dua puluh tahun setelah Deklarasi Balfour ditandatangani. Atas aksi solidaritas ini, Kiai Mahfudz ditekan agar instruksi publik ini dibatalkan. Tapi beliau tetap kukuh dengan pendiriannya.

Di kemudian hari, menjelang berakhirnya pendudukan Jepang, KH M. Hasyim Asy'ari lebih intens berkorespondensi dengan Mufti Palestina, Syekh Muhammad Amin al-Husaini, mengenai nasib masing-masing bangsanya. Bahkan, ketika Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, Palestina adalah salah satu negara yang paling cepat  mengakui kedaulatan kita. 

Langkah ini bahkan juga diikuti oleh KH Muhammad Ilyas, mantan Menteri Agama RI, saat menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi (1959-1965). Hubungan antara Indonesia-Palestina semakin hangat.

Kiai kelahiran Kraksaan, Probolinggo ini, di kemudian hari menyerukan pembahasan khusus mengenai Palestina dan al-Quds (Yerussalem) pada saat menggerakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam di Rabat, Maroko, 1969. Bahkan dalam forum negara muslim yang kemudian bernama Organisasi Konferensi Islam (OKI) ini, Kiai Ilyas dianggap sebagai penggerak utama kepedulian terhadap Palestina. Sebagai delegasi Indonesia, beliau tampil moncer dalam forum internasional tersebut.

Di era Gus Dur, aksi solidaritas ini digelar dengan berbagai cara: baik melalui aksi Malam Solidaritas Palestina, 1982, yang digelar bersama para penyair seperti Subagyo Sastrowardoyo, Sutardji Calzoum Bachri, D. Zawawi Imron, Taufik Ismail, Abd Hamid Jabbar, Gus Mus, dan lain sebagainya, maupun menggiatkan kembali pembacaan qunut nazilah bagi warga Nahdliyyin. Saat itu Gus Dur menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta sekaligus salah satu pimpinan teras PBNU.

Tahun 1994, Gus Dur menghadiri undangan menyaksikan penandatanganan perdamaian antara Yordania dengan Israel.  Hal ini kemudian mempengaruhi cara pandangnya, yaitu bahwa perdamaian bisa diwujudkan apabila ada iktikad baik kedua belah pihak. Sejak ada Perjanjian Camp David antara Mesir-Israel, 1978,  maupun perjanjian Oslo, 1993, yang mengakui adanya Otoritas Palestina, maupun perjanjian antara Yordania-Israel di tahun 1994, tampaknya Gus Dur memilih pola win-win solution dalam melihat masalah Palestina dan Israel ini.

Di era Gus Dur sebagai presiden, kunjungan ke Yordania merupakan prioritas pertama dalam lawatan ke Timur Tengah. Sebab, selain bertemu dengan Raja Abdbullah II, Gus Dur juga menemui Yassir Arafat di Amman. Presiden Gus Dur menyatakan dukungannya terhadap kemerdekaan Palestina dan perdamaian di Timur Tengah.

Di kemudian hari, ketika bertemu dengan Presiden Palestina Yasser Arafat, dalam sebuah kunjungan kenegaraan resmi ke Indonesia (16/8/2000), Presiden Gus Dur selaku Kepala Negara menegaskan bahwa Indonesia terikat kepada keputusan yang dulu, yaitu bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan hak untuk mencapai perdamaian di Palestina ada di tangan rakyat Palestina sendiri. “Yang dalam hal ini tentu diwujudkan dalam bentuk keputusan-keputusan atau konferensi OKI, PBB, dan lain-lain,” ujar Presiden Gus Dur saat jumpa pers bersama Yasser Arafat. 

Bagi Gus Dur, mewujudkan perdamaian di wilayah Palestina bisa dimulai dari kiprah Indonesia sebagai juru damai kedua belah pihak. Sebagai juru damai, Indonesia harus bisa dipercayai oleh Palestina maupun Israel untuk menjadi penengah. Langkah ini sudah dimulai oeh Gus Dur, antara lain dengan menjadi anggota Simon Peres Foundation, Israel. Sebuah langkah strategis yang sebenarnya bisa menjadi jembatan antara Yerussalem dan Tel Aviv.

Demi mewujudkan perdamaian dan kemerdekaan Palestina, di tengah kondisi kesehatan yang tidak stabil, Gus Dur mengunjungi Jalur Gaza pada 20 Desember 2003. Di kota kecil ini, Gus Dur diminta berpidato.

Cucu Hadratussyekh Hasyim Asy'ari ini mulanya berpidato dalam bahasa Inggris, karena beberapa senator AS dan pemimpin agama dari berbagai negara serta wartawan asing yang meliput. Namun, pidato bahasa Inggris ini kemudian diulang oleh Gus Dur dalam bahasa Arab dengan fasih diikuti kesan-kesan Gus Dur terhadap kota Gaza dan harapannya atas rakyat Palestina. Dalam pertemuan yang digelar di hotel sederhana di Gaza itu, Gus Dur menyerukan kemerdekaan bagi berdirinya sebuah Negara Palestina dan keadilan bagi seluruh rakyatnya.

Dalam kolom yang berjudul "Arti Sebuah Kunjungan", yang berisi kesan dan pesan Gus Dur saat di Jalur Gaza, beliau memberi kritik terhadap para elit Palestina yang sering bertengkar dan memilih strategi perjuangan yang berbeda dan tidak seiya sekata, sekaligus memberi contoh kenegarawanan Bung Hatta saat berdiplomasi dengan Belanda di Konferensi Meja Bundar.

Meski mengkritik elit Palestina (dan Israel), Gus Dur menggarisbawahi perjuangan dan kegigihan rakyat Gaza melawan senjata modern Israel, "Bagi penulis Gaza adalah sumber perlawanan terhadap penjajahan, dan alangkah indahnya jika perlawanan itu tidak hanya mengambil bentuk fisik saja, melainkan juga perlawanan kultural terhadap keadaan." tulis Gus Dur dalam kolomnya tersebut.

Lantas bagaimana memulai inisiatif mempertemukan kubu Palestina dan Israel? Ahmad Suaedy, pimpinan Wahid Institute,  menyatakan bahwa dirinya pernah mendampingi seorang pejabat senior Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS) bidang advokasi Anti-Semitisme untuk kawasan Timur Tengah, yang juga seorang Yahudi, untuk bertemu Gus Dur di kantor PBNU. Diplomat itu lalu bertanya: “Apa sebaiknya yang harus dilakukan untuk mencapai perdamaian Israel – Palestina saat ini?”

“Tegakkan keadilan dan berikan hak-hak Palestina kepada mereka, baru bicarakan perdamaian!!" jawab Gus Dur tegas.

***

Kini, di era Kiai Said Aqil Siraj, langkah NU mendukung kemerdekaan Palestina serta mewujudkan perdamaian di Timur Tengah tidak berubah. Menurut NU, dalam konferensi persnya terkait manuver Donald Trump yang mengakui Yerussalem sebagai ibukota Israel (7/12/17), mewujudkan kemerdekaan negara tersebut bisa dimulai dari: kepedulian dan persatuan negara-negara Arab, konsolidasi internal Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam dalam bersikap satu suara mengenai kemerdekaannya, serta langkah PBB yang memberikan legalitas dan mengesahkan Palestina sebagai anggota PBB. Selaras dengan hal itu, PBNU selalu mendukung langkah pemerintah RI agar proaktif dalam mendukung perjuangan Palestina, dan menyerukan kepada warga NU untuk membaca qunut nazilah.

Wallahu A'lam Bisshawab. (Rijal Mumazziq Z, Ketua LTNNU Surabaya)


Terkait