Nyai Solichah, Perempuan Hebat di Balik Perjuangan KH Wahid Hasyim
Kamis, 18 Agustus 2022 | 08:00 WIB
Di balik perjuangan hebat pahlawan nasional KH Abdul Wahid Hasyim, ada sosok Nyai Sholihah binti KH Bisri Syansuri. Perempuan yang dinikahi KH Wahid Hasyim pada 10 Syawal 1356 H (1938 M). Berselang 10 hari setelah menikah dengan KH Wahid Hasyim, pasangan muda ini tinggal di Pondok Pesantren Tebuireng. Saat itu Pesantren Tebuireng menjadi pusat pergerakan santri dan pesantren yang dipimpin oleh KH Muhammad Hasyim Asy'ari, mertua Nyai Sholihah.
Sebagai seorang istri KH Wahid Hasyim, ia memiliki tamu yang datang dari berbagai daerah untuk konsolidasi. Nyai Sholihah hadir mendampingi sang suami dalam bentuk memberikan suguhan. Terkadang hampir setiap hari ada yang bertamu. Nyai Sholihah juga terlibat dalam dapur umum untuk para pejuang di Jombang.
Pergaulan keluarga besar Pondok Pesantren Tebuireng sejak masa kolonial Belanda memang sangat luas. Pengaruhnya juga cukup besar, KH Wahid memiliki pergaulan dari berbagai kalangan, status maupun sosial, mulai dari petani hingga pejabat negara. Tak jarang mereka minta pendapat ke Kiai Wahid Hasyim dan Nyai Sholihah dengan perannya menjadi pendamping yang setia. Ibarat kekuatan internal bagi KH Wahid Hasyim.
Pada tahun 1942, pasukan Jepang mendarat di Indonesia, sebagai pusat pergerakan merebut kemerdekaan kaum santri dan pesantren, Pesantren Tebuireng sempat dihentikan aktivitasnya oleh tentara Jepang. Pada April 1942 Rais Akbar NU Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari bersama KH Mahfudz Siddiq ditangkap dan dipenjarakan di Bubutan, Surabaya.
KH Wahid Hasyim dan Nyai Sholihah yang saat itu tinggal di Pesantren Tebuireng harus pindah ke Pesantren Denanyar. Hal tersebut dilakukan untuk mengamankan kedua putranya bernama Abdurrahman ad-Dakhil (Gus Dur) berusia 3 tahun dan Aisyah (2 tahun). Kondisi saat itu Nyai Sholihah sedang hamil tua.
Setelah pindah ke Denanyar, Nyai Sholihah mulai sering ditinggal oleh KH Wahid Hasyim yang mondar-mandir Jawa Timur dan Jakarta untuk melakukan konsolidasi dengan tokoh-tokoh dan mengupayakan pembebasan ayahandanya. Tepat pada tanggal 11 September 1942, putra ketiga Nyai Sholihah lahir dan diberi nama Salahuddin Al-Ayyubi.
Setelah berusaha ke sana kemari, pada 18 Agustus 1942 KH Wahid Hasyim dan KH Wahab Chasbullah berhasil membawa pulang KH Hasyim Asy'ari dari penjara Mojokerto.
Di Denanyar Nyai Sholihah ikut mengajar santri putri di Pondok Pesantren Manba'ul Ma'arif Denanyar yang didirikan dan diasuh ayahnya. Di era Jepang, Nyai Sholihah turut aktif dalam organisasi perkumpulan perempuan bentukan Jepang yang dikenal dengan Fujinkai, dengan menggeluti bidang kesenian, bahasa, dan obat-obatan untuk P3K, dan turut memprakarsai pendirian ranting-ranting Nahdlatul Oelama Muslimat (NOM). Mengikuti Fujinkai dimaksudkan menyerap ilmu dari Jepang dan kemudian ditularkan ke perempuan Nahdliyyin.
Kehadiran balatentara Jepang (Dai Nippon) ke Indonesia sejak Februari 1942 membuat KH Wahid Hasyim gelisah. Di sinilah peran Nyai Sholihah sangat penting. Ia hadir menenangkan sang suami dan setia mendampingi dalam keadaan apapun. Saat itu kondisi KH Wahid Hasyim memang sedang dalam kondisi gelisah, kejadian demi kejadian yang menimpa Tebuireng dan umat Islam membuat konsentrasinya terpecah.
Pada 8 Maret 1942 Belanda resmi menyerahkan kekuasaan atas Indonesia ke Jepang di Kalijati, Bandung. Berbagai perkumpulan politik, sosial, dan pendidikan mengalami pelarangan termasuk Nahdlatul Ulama (NU). Selama Maret 1942-Maret 1943 perlawanan besar dilakukan oleh kiai dan aktivis NU.
Hingga akhir 1943, Nyai Sholihah tinggal di Denanyar. Setelah Tebuireng boleh dibuka kembali oleh Jepang, Nyai Sholihah membawa ketiga anaknya ke Pesantren Tebuireng kembali. Karena KH Wahid Hasyim butuh sosok istri dalam kesibukan mengurus umat dan negara. Pada tahun 1944, Nyai Sholihah menyusul suaminya yang lebih dulu tinggal di Jakarta bersama ketiga anaknya.
Mereka tinggal di Jalan Diponegoro nomor 42. Peran Nyai Sholihah sangat berarti bagi KH Wahid Hasyim oleh karenanya diajak ke Jakarta. Rumah di Jakarta juga tak jarang jadi tempat diskusi masalah keislaman dan kebangsaan. Nyai Sholihah sosok yang kuat dan tidak mudah mengeluh, hal ini menjadi penguat KH Wahid Hasyim dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Di Jakarta, Nyai Sholihah hanya tinggal selama enam bulan karena KH Wahid Hasyim beserta keluarga diminta oleh KH Hasyim Asy'ari untuk kembali ke Tebuireng. Saat itu Nyai Sholihah hamil putra keempat dan lahir pada 6 April 1945 di Jombang. Saat itu KH Wahid sibuk merumuskan Pancasila dan UUD 1945.
Tanggal 18 Agustus -14 November 1945 Kiai Wahid Hasyim jadi Menteri Agama. Belanda bersama sekutu melakukan agresi. Belanda marah karena Indonesia mempromosikan diri sebagai negara merdeka. Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. KH Wahid Hasyim, jadi salah satu dari daftar orang yang dicari Belanda.
Akhirnya harus kembali meninggalkan keluarganya untuk menghindari kejaran tentara Belanda. Meskipun begitu, ia tetap datang menemui Nyai Sholihah secara diam-diam. Dalam kondisi begitu, Nyai Sholihah terus mendukung suaminya dalam berjuang. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Nyai Sholihah berjualan makanan bagi guru dan santri Pesantren Tebuireng.
Kehidupan di ndalem Pesantren Tebuireng saat itu lebih banyak aturan demi keamanan. Nyai Sholihah tidak boleh keluar sendiri demi keselamatan nyawanya dan harus ada yang mendampingi. Pesantren Tebuireng sebagai pusat perlawanan terhadap penjajah sering kali didatangi tentara. Para santri Tebuireng diberikan jadwal tertentu menjaga ndalem dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
Tanggal 20 Desember 1949-6 September 1950 KH Wahid Hasyim kembali jadi Menteri Agama. Memasuki tahun 1950, Nyai Sholihah kembali pindah ke Jakarta dan tinggal di rumah dinas Menteri Agama Jalan Jawa Nomor 12 (sekarang Jalan HOS Cokroaminoto, Menteng, Jakarta Pusat). Keluarga Nyai Sholihah kembali menyatu setelah mengalami masa sulit bertahun-tahun.
Dalam buku Gus Sholah: Sang Arsitek Pemersatu Umat (halaman 56), aksi heroik Nyai Sholihah terjadi saat peristiwa G30 S PKI. Saat itu Nyai Sholihah datang ke rumah KH Saifuddin Zuhri karena mendengar kabar jika rumah Kiai Saifuddin mau digrebek, karena masuk dalam daftar tokoh yang mau dihabisi PKI. Kebetulan Kiai Saifuddin sedang menjalani operasi di RS di Jepang. 10 orang anak yang ada di rumah tersebut diamankan Nyai Sholihah ke Kebon Kacang, Jakarta Pusat, rumah keluarga Mahbub Djunaidi. Nyai Sholihah juga aktif melawan PKI lewat muslimat NU.
Peninggalan relasi dan jaringan yang luas dari Kiai Wahid Hasyim menjadi modal penting juga. Inilah yang membuat beliau terpilih menjadi anggota DPRD mewakili NU, kemudian menjadi anggota DPR Gotong Royong mewakili partai yang sama. Jam terbangnya mulai sibuk di luar rumah, tetapi tak menguranginya untuk mendidik anak. Jika waktu reses atau libur sering mengunjungi Jombang.
Syarif Abdurrahman, santri Pesantren Tebuireng