Fragmen

Pesan Hadratussyaikh di Rapat Umum Muslimat NU 1939

Rabu, 23 November 2016 | 23:02 WIB

Muslimat Nahdlatul Ulama (Muslimat NU) menggelar Kongres ke-XVII di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Selasa-Sabtu (23-27/11). Bila merunut ke belakang, kongres perdana organisasi kaum perempuan NU ini, baru dihitung mulai tahun 1946.

Namun, sebetulnya organisasi ini sudah bergeliat jauh sebelumnya, bahkan sejak Kongres (Muktamar) NU ke- XIII di Menes, Banten, 1938 dan berlanjut setahun berikutnya, di Kongres NU ke-XIV, tepatnya 5 Juli 1939 yang diadakan di Magelang.

Aboebakar Atjeh dalam buku Sejarah Hidup K.H.A Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (1957) menuliskan suasana Rapat Umum organisasi yang dulu masih bernama Nahdlatoel Oelama’ bagian Moeslimat (NOM), yang dilangsungkan pada Rabu, 5 Juli 1939 M / 17 Jumadil Ula 1358 H di Gedung Kongres NU ke-XIV di Magelang, sebagai berikut:

Pada jam 2 siang, gedung kongres dan halamannya penuh hadirin. Sesudah berkumpul… kemudian Rais Akbar HB NU bagian Syuriyah (KH Hasyim Asy’ari) memberikan nasihatnya tentang taat ibu terhadap bapak dan perlindungan kaum bapak kepada ibu. Kemudian diterangkannya kewajiban memberi pendidikan yang baik bagi anak-anak dengan sempurna. Lalu disambung nasihat dari KH Asnawi Kudus.

Satu jam setelah pidato para kiai tersebut, dimulailah rapat yang dipimpin Nyonya (Ny) Siti Djuasih Bandung. Rapat dihadiri beberapa perwakilan dari daerah, yang mayoritas berasal dari Jawa Tengah bagian Selatan (hal ini mengingat pelaksanaan Kongres di Magelang), antara lain :

1. NU Muslimat Muntilan, 2. NU Muslimat Sokaraja (bukan Sukoharjo,-red) Banyumas, 3. NU Muslimat Kroya, 4. NU Muslimat Wonosobo, 5. NU Muslimat Surakarta (Solo), 6. NU Muslimat Magelang, 7. Banatul Arabiah Magelang, 8. Zahratul Iman Magelang, 9. Islamiah Purworejo, 10. Aisiyah Purworejo, dan beberapa perwakilan pengurus Muslimat NU Bandung.

Lalu, dimulailah jalannya sidang. Ny Saudah dan Ny Gan Atang dari Bandung menerangkan kepentingan kaum ibu memasuki pergerakan NUM, serta buah nyata yang didapat dari organisasi tersebut.

Kemudian disusul pemaparan pandangan Ny Badriah (Wonosobo), Ny Sulimah (NUM Banyumas), Ny Istiqomah (Parakan), Ny Aiflah (Kroya). Hampir semua yang berbicara menekankan peran penting ibu dan NUM.

Hal ini juga termaktub dalam buku Verslag Kongres NU XIV hal 5-6 sbagai berikut : “Cita-cita hendak menjadikan kaum ibu kita menjadi ibu umat Islam di kemudian hari, tidak hanya menjadi cita-cita saja, sejak satu tahun yang lalu ini, di masing-masing cabang NU Bagian Muslimat, pokok yang dituju ialah menggalang kaum ibu kita menjadi ibu yang cakap mendidik dan mengasuh putra-putrinya supaya kelak menjadi putra da putrid Islam yang sejati, cakap, dan pandai srta brguna pula bagi umat dan masyarakat Islam.”

Pada akhirnya dari sekian pandangan yang disampaikan, muncullah sebuah usul : Supaya Muslimat di dalam NU dijadikan satu bagian yang dapat mengatur diri sendiri, artinya mempunyai pengurus, ketua, dan lainnya agar kaum ibu turut pula mengatur an mengorganisasi bagiannya, dan sungguh banyak soal perempuan yang tak dapat diselang oleh kaum laki-laki.

Sayangnya, suara terbanyak masih banyak yang menentang usul ini, dan kemudian diserahkan keputusan ini pada HB Bagian Syuriyah. Hal ini semakin diperberat dengan konstelasi social-politik yang berubah, ketika Jepang menjajah bangsa Indonesia. Cita-cita mulia kaum wanita NU ini mesti tertunda!  (Ajie Najmuddin dikutip dari Aboebakar Atjeh. 1957. Sejarah Hidup K.H.A Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar)


Terkait