Pesona Kealiman KH Hasyim Asy’ari di Mata Pendiri Al-Irsyad
Jumat, 31 Desember 2021 | 17:00 WIB
Hasyim Asy'ari (tengah) bersama KH Dawam (kanan) dan KH Jazuli Usman. Foto termuda, tahun 1917-an, depan mihrab masjid TBI.
Membahas keilmuan Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy'ari seakan tidak ada habisnya. Tidak hanya murid, kawan, dan guru, tetapi pihak-pihak yang sebagian pemikirannya berseberangan dengan Hadratussyekh ternyata juga mengakui keilmuan beliau. Bahkan, pengakuan tersebut muncul dalam kisah sejarah dengan sumber buku-buku yang ditulis oleh kalangan internal organisasi Islam di luar NU.
Hal yang menarik untuk dicermati dalam keilmuan beliau adalah peran karya tulisnya yang dibaca oleh tokoh organisasi Islam selain NU. Karya tulis beliau ternyata mampu menampilkan pembelaan terhadap amaliah kaum Muslimin di Nusantara yang bermazhab Syafi’i sekaligus mencerminkan dalamnya kualitas keilmuannya. Sebagian kitab hasil tulisan Hadratussyekh itu ada yang ditulis dalam bahasa Arab.
Fakta sejarah mengungkapkan bahwa Hadratussyekh pernah diundang ke acara jamuan oleh tokoh Al-Irsyad yang bernama Ahmad Surkati. Uniknya, Hadratussyekh ternyata membawa karya tulisnya yang berbahasa Arab agar bisa dibaca oleh Ahmad Surkati dalam forum itu. Meskipun belum diketahui secara pasti nama tulisan atau kitab hasil karya Hadratussyekh yang dibaca oleh Ahmad Surkati, tetapi isi tulisan tersebut sangat kental dengan pemahaman tentang mazhab Imam Syafi’i.
Ahmad Surkati adalah seorang keturunan Arab yang lahir di Sudan dan sempat mengajar di Jamiatul Khair, Batavia. Setelah mengundurkan diri dari dari Jamiatul Khair, Ahmad Surkati menjadi tokoh di Al-Irsyad. Ahmad Surkati memiliki inisiatif dengan mengundang tokoh Muhammadiyah dan para pendiri NU untuk berdiskusi melalui acara jamuan pada tahun 1929 di Surabaya.
Muhammadiyah dan Al-Irsyad merupakan organisasi Islam di Indonesia yang dahulu antusias berdiskusi dengan NU. Para tokoh kedua organisasi Islam itu pernah berdiskusi secara khusus dengan para kiai NU tentang masalah-masalah yang dianggap berbeda. A. Jainuri dalam bukunya yang berjudul Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal Abad Kedua Puluh menuliskan:
“Seperti diketahui pada tahun 1929, dengan sponsor Ahmad Surkati, diadakanlah forum diskusi di Surabaya. Forum ini dihadiri oleh para wakil ulama konservatif seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah, dan dari pihak reformis hadir KH Mas Mansur dan beberapa tokoh Al-Irsyad. Maksud pertemuan ini adalah untuk menjalin hubungan yang baik antara kedua kelompok tersebut. Pertemuan ini mengambil topik pada masalah ijtihad dan taklid.” (A. Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal Abad Kedua Puluh, 1981, PT Bina Ilmu Surabaya, hal. 81).
Tulisan yang dibawa oleh Hadratussyekh dibaca oleh para tokoh yang hadir. Dengan kejujuran ilmiah, tokoh yang hadir dan membaca tulisan tersebut memberikan pengakuan terhadap kepakaran Hadratussyekh. Secara khusus, pesona Hadratussyekh ditangkap oleh tokoh Al-Irsyad, sekaligus inisiator forum jamuan, yaitu Ahmad Surkati. Al-Katiri, seorang peneliti sejarah dari Al-Irsyad menuliskan dalam bukunya:
“Di forum itu, Syekh Ahmad Surkati bertemu dengan KH Hasyim Asy’ari, seorang kiai besar dari Pesantren Tebuireng, Jombang, kiai yang paling dihormati oleh kalangan muslim tradisional, dan juga pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Setelah pertemuan itu, Syekh Surkati melemparkan pujian kepada Kiai Hasyim, ‘Saya baru pertama kali bertemu dengan beliau (Kiai Hasyim Asy’ari) dalam suatu jamuan. Melihat bawaan badannya, saya tertarik. Beliau seorang ulama yang zahid. Dan dari tulisan-tulisannya, kelihatan pemahamannya dalam mazhab Syafi’i amat dalam dan luas.’” (Mansyur Al-Katiri, Bakti Surkati dan Al-Irsyad untuk Bangsa, 2018, Pusat Dokumentasi dan Kajian Al-Irsyad Al-Islamiyyah Bogor, hal. 10).
Pengenalan Ahmad Surkati terhadap mazhab Syafi’i sesungguhnya tidaklah mengherankan. Ahmad Surkati menjalani pendidikan di Sudan dan Makkah yang waktu itu kental dengan ajaran mazhab Syafi’i. Setelah hijrah ke Batavia, organisasi Jamiatul Khair yang ditempatinya untuk mengajar juga bermazhab Syafi’i. Bahkan Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang menjadi tempat Ahmad Surkati berkiprah sebenarnya juga mengadopsi ajaran mazhab Syafi’i dalam Anggaran Rumah Tangga dan kurikulum pendidikannya sejak tahun 1919. Dengan fair, tokoh yang satu ini menyebut bahwa pemahaman Hadratussyekh terhadap mazhab Imam Syafi’i amat dalam dan luas.
Hal penting yang menjadi catatan pengakuan keilmuan Hadratussyekh salah satunya ternyata bersumber dari karya tulis beliau. Faktor lain yang mendukung kharisma keilmuannya adalah pembawaan badan dan kezuhudannya. Ketiga ciri khas itulah yang menjadikan keilmuan seorang alim muncul sebagaimana terpancarnya cahaya bintang-bintang menghiasi langit. Perpaduan dari intelektualitas berupa karya tulis dengan akhlak mulia menjadikan figur Hadratussyekh benar-benar mencerminkan satunya kata dengan perbuatan.
Pertemuan yang dicatat sejarah berlangsung pada tahun 1929 di Surabaya itu menyisakan pertanyaan besar. Tulisan macam apakah yang dibaca oleh Ahmad Surkati sehingga mampu menggetarkan gelombang frekuensi tokoh Al-Irsyad itu dalam kesan pemahaman terhadap mazhab Syafi’i yang dimiliki Hadratussyekh? Yang pasti, tulisan atau kitab itu telah ditulis sebagian atau seluruhnya oleh Hadratussyekh sebelum waktu pertemuan tersebut dan berbahasa Arab.
Ada beberapa karya tulis Hadratussyekh yang sementara ini diketahui waktu penyelesaian penulisannya sebelum tahun 1929. Namun, tidak menutup kemungkinan beberapa karya tulis lainnya juga ditulis dengan kurun waktu yang dimaksud, tetapi penyelesaiannya mungkin terjadi pada waktu yang berbeda setelah itu sehingga perlu diteliti dengan seksama.
Para pakar manuskrip yang dimiliki NU dapat mengembangkan kajian tentang aspek-aspek sejarah di seputar penulisan kitab Hadratussyekh. Lahirnya karya-karya tulis Hadratussyekh pasti memiliki latar belakang sejarah yang selalu menarik untuk diteliti. Kolaborasi antara Nahdlatut Turats bersama dengan keluarga Hadratussyekh yang mewarisi kitab-kitab beliau sangat relevan dengan upaya pengkajian ini.
Berbagai dimensi penelitian manuskrip, khususnya yang berasal dari para pendiri NU seperti Hadratussyekh dapat dikembangkan oleh Nahdlatut Turats. Hasilnya diharapkan agar dapat dikonsumsi oleh segenap umat Islam secara umum, baik warga NU maupun selain NU. Berbekal semangat ilmiah dan wasathiyah, upaya-upaya riset terhadap karya tulis pendiri NU dapat memberikan wawasan untuk semua kalangan di tengah tingginya semangat beragama kaum muslimin Indonesia.
Seiring dengan waktu, aktualisasi diskusi dan presentasi karya tulis ulama NU kepada tokoh-tokoh di luar NU sebagaimana yang dipraktikkan oleh Hadratussyekh saat ini perlu digalakkan kembali. Dengan forum yang tepat dan relevansi tema-tema yang diangkat, tentu kegiatan semacam ini akan memperkaya khazanah keilmuan dan berpotensi mempererat ukhuwah di antara umat Islam, meskipun berbeda-berbeda organisasinya.
Yuhansyah Nurfauzi, Anggota Komisi Fatwa MUI Cilacap