Fragmen

Respons para Kiai dan Kaum Intelektual pada NU Muktamar NU

Kamis, 4 November 2004 | 12:07 WIB

Respons para Kiai dan Kaum Intelektual pada NU Muktamar NU

Respons para Kiai dan Kaum Intelektual pada NU Muktamar NU

Muktamar NU kedua yang diselenggarakan pada tahun 1927 itu tergolong Muktamar yang meriah. Bayangkan Muktamar yang diselenggarakan di Hotel Muslimin Paneleh Surabaya tersebut dihadiri oleh 18 ribu jamaah, terdiri dari 150 kiai, dari seluruh penjuru tanah Jawa bahkan beberapa datang dari perwakilan ulama Sunni dari luar negeri. Mereka datang dengan biaya sendiri bahkan menginfakkan sebagian hartanya untuk NU yang baru berdiri itu.


Kibaran bendera NU yang baru saja diciptakan menambah semarak dan membuat suasana syahdu hajatan NU tertinggi itu, sehingga mamapu menggetarkan jiwa para Muktamirin dan hadirin yang mendambakan kedamaian dan kemerdekaan.
 

Ternyata Muktamar itu tidak hanya menyedot perhatian kaum santri dan nahdliyin khususunya tetapi juga mendapatkan dukungan besar dari para aktivis pergerakan atau kebangkitan nasional dan kaum intelektual pada umumnya, mereka hadir pada acara Muktamar itu seperti pendiri dan ketua Budi Utomo Dr. R. Soetomo, Dr. RM Haryo Suyono. Kedekatan Soetomo dengan Kiai Wahab maupun Kiai Hasyim Asy’ari memang sudah lama terbina, yakni sejak awal zaman pergerakan, karena itu pikirannya berbeda dengan kaum terpelajar lainnya yang Nirlando centrisme (berkiblat Belanda). Walaupun terpelajar secara Barat, tetapi Soetomo terdidik secara Timur (Islam), karena itu dalam Polemik Kebudayaan melawan ST Alisjahbana, Dr Soetomo dengan gigih membela tradisi pesantren yang hendak dibabat S. Takdir. Dengan adanya ikatan budaya dengan NU itu Soetomo hadir dalam Muktamar NU.

 

Dukungan Soetomo pada Nu sangatjelas sebab NU memiliki pendidikan pesantren yang mengutamakan pendidikan moral, sementara sekolah Belanda hanya memberikan pengajaran tanpa pendidikan, karena itu tidak bisa membentuk karakter kebangsaan. Maka lembaga pendidikan tradisional yang mampu melakukan pendidikan, tidak hanya pengajaran, karena itu gerakan Nu untuk melestarikan pendidikan tradisional mesti didukung sebagai tandingan atas persekolahan Barat yang hanya akademistis, tanpa memberikan pendidikan budi pekerti pribumi yang sangat diperlukan dalam membangun karakter bangsa ini.
 

Selain perorangan hadir pula 45 organisasi pergerakan. Dari kalangan pejabat hadir  tiga orang penghulu landraat, seorang anjun penghulu, empat  orang naib serta empat orang wakil pemerintah.  Dan yang paling menonjol adalah hadirnya seorang tokoh legendaris, kader dari Snouck Horgronje  yakni Van Der Plas. Orang ini tidak hanya pandai bahasa melayu dan bahyasa daerah lainnya, tetapi juga pandai berbagahasa Arab seperti gurunya. Hadirnya van Der Plas dalam forum semacam ini sebenarnya tidak lebih sebagai upaya untuk mengamat-amati gerak-gerik organisasi yang baru ini, baik untuk kepentingan akademis maupun kepentingan politik, karena pada akhirnya tokoh Belanda ini menjadi Gubernur Jawa Timur yang sangat dekat dengan kalanagan Kiai, karena itu ada orang yang memutar balik sejarah bahwa kelahiran NU dimotori oleh Van Der Plas untuk menghalangi gerakan kemerdekaan. Tentu tuduhan palsu itu tanpa didasarkan pada fakta sejarah yang sesungguhnya.
 

Perlu diketahui bahwa NU lahir melalui proses panjang, sejak dari Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul Wathan, Taswirul Afkar dan sebagainya, maka eksponen dalam tiap tiap embiro NU tersebut dilibatkan dalam Muktamar. Demikian juga dalam Muktamar II ini dihadiri beberapa orang kaum dagang yang dulunya tergabung dalam Nahdlatut Tujjar seperti HA Kahar (Surabaya), HA. Syukur (Kediri), H. Hasan Surati (Malang) dan sebagainya. Mereka itu para hartawan yang menanggung seluruh beaya perhelatan besar ini. Karena itu dalam muqarrarat (ketetapan) Muktamar ini banyak membicarakan soal hukum dagang seperti penebasan, surat berharga dan sebagainya. Sementara itu dari kalangan Taswirul Afkar banyak memberikan pemikiran mengenai pengembangan pemikiran Islam seperti gagasan penerjemahan khutbah Jumat, persoalan kesenian dan sebagainya. Sedangkan kalangan Nahdlatul Wathan benyak memberikan masukan tentang pengembangan pendidikan, terutama pendidikan agama di sekolah Belanda.
 

Walaupun Muktamar waktu itu hanya berlangsung tiga hari tiga malam, tetapi karena waktu dimanfaatkan secara intensif, semua terkonsentrasi ke masalah substansi bukan perebutan posisi, maka beberapa keputusan penting bisa tercapai. Dan kalau dilihat sebagian besar keputusan bersifat di sekitar persoalan sosial keagamaan dan ekonomi. Belum kelihatan persoalan politik direspon. Hal itu terjadi karena ormas dan organisasi saat itu sangat ketat di bawah pengawasan kolonial. Karena itu khotbah Iftitah yang disampaikan Rais Akbar (Kiai Hasyim Asy’ari) selalu dalam bahasa Arab, yang merupakan stategi perjuangan, demikian halnya semua keputusan juga ditulis dalam bahasa Arab, minimal bahasa jawa tulisan Arab, ini juga merupakan strategi menghindari tekanan Belanda, yang terus-menerus mengintai gerakan NU. (Munim DZ)


Terkait