Saat KH Hasyim Asy’ari Berkata Petani Adalah Penolong Negeri
Selasa, 29 September 2020 | 21:30 WIB
Pendiri Nahdlatul Ulama, Hadhratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) memberikan pengajaran agama melalui interaksi pertanian di Pondok Pesantren Tebuireng yang didirikannya pada 1899 Masehi.
Bahkan cara pengajaran KH Hasyim Asy’ari tersebut cukup ampuh menarik perhatian masyarakat untuk tidak lagi bekerja di pabrik dan meninggalkan dunia gelap prostitusi yang sengaja didirikan oleh penjajah Belanda di sekitaran pabrik.
Upaya pelestarian lahan untuk bertani menjadi semacam media perlawanan rakyat dan kaum pesantren terhadap kekejaman dan kesewenang-wenangan penjajah Belanda. Hingga penjajah beberapa kali menghancurkan dan menyerang pesantren.
Baca juga: Kiai Bambu Runcing dan Kisahnya sebagai Petani
Mengingat pentingnya pertanian untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan, Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017) mengungkapkan bahwa KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa tentang pentingnya membangun pertanian, agar bangsa Indonesia mandiri, maju, dan sejahtera.
Karena itu, KH Hasyim Asy’ari menyebut petani sebagai pahlawan bangsa dengan jasanya menghidupi masyarakat banyak. Bahkan Kiai Hasyim Asy’ari menulis dalam sebuah media di era penjajahan Jepang seperti dikutip laman Pesantren Tebuireng:
“Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ Tani itoelah penolong Negeri apabila keperloean menghendakinja dan diwaktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Pa’ Tani itoe ialah pembantoe Negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe di waktunja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada negeri; dan Pa’ Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat negeri didasarkan.” (KH Hasjim Asj’ari, Soeara Moeslimin Indonesia, No. 2 Tahun ke-2, 19 Muharom 1363/15 Januari 1944)
Di akhir tulisan, Kiai Hasyim Asy’ari mengutip dari kitab akhlak Adabud Dunya wad Din, karya Syekh Imam al-Mawardi, bahwa dunia akan tertib jika enam hal terpenuhi. Pertama, agama yang ditaati. Kedua, pemerintah yang berpengaruh. Ketiga, keadilan yang merata. Keempat, ketenteraman yang meluas. Kelima, kesuburan tanah yang kekal. Keenam, cita-cita yang luhur.
Baca juga: Kisah KH Wahid Hasyim dan Seorang Petani
Di luar itu, Muhammad Asad Syihab dalam Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’arie: Perintis Kemerdekaan Indonesia (terj. KH A Mustofa Bisri, 1994) mencatat, ketika menangani penataan pesantren, KH Hasyim Asy’ari menghadapi banyak tantangan dan rintangan.
Kiai Hasyim Asy’ari dengan gigih menghadapi segala kesulitan dan hambatan dari pihak pemerintah kolonial Hindia Belanda kala itu, yang hanya menginginkan kaum Muslimin dalam posisi terbelakang sehingga tak bisa melakukan perlawanan terhadap kolonialisme.
Berbagai upaya dilakukan oleh Belanda, termasuk melakukan upaya kekerasan dengan menghancurkan pesantren. Untuk membenarkan tindakan represifnya itu, Belanda berdalih dan menuduh bahwa pesantren merupakan wadah perusuh, pemberontak, dan orang-orang Islam ekstrem. (Asad Syihab, 1994: 19)
Baca juga: Saat KH Hasyim Asy’ari Menyaksikan Kondisi Pesantrennya yang Hancur oleh Belanda
Tidak hanya itu, tindakan Belanda juga mengancam keselamatan jiwa KH Hasyim Asy’ari sehingga para santri kala itu berupaya keras menjaga keselamatan gurunya tersebut meskipun harus berhadapan dengan bedil-bedil Belanda.
Perlawanan Belanda surut. Tetapi upayanya tidak pernah berhenti. Namun, kaum santri dan umat Islam semangatnya justru semakin membuncah dalam membela tanah air dan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Baca juga: Alasan Ibunda KH Hasyim Asy'ari Dipanggil Winih
Pasca-terjadi penyerangan oleh kolonial Belanda tersebut, Asad Syihab mencatat bahwa KH Hasyim Asy’ari keluar menyaksikan sebagian besar bangunan-bangunan pesantren mengalami kerusakan. Perabotan-perabotan dan alat-alat hancur berantakan. Benda-benda penting seperti kitab-kitab dan lain sebagainya telah dirampas.
Tentu bukan benda-benda material tersebut yang dirisaukan KH Hasyim Asy’ari, melainkan keberadaan santri-santri yang merupakan aset penting dalam menegakkan ajaran Islam dan memperjuangkan kemerdekaan. Atas kejadian tersebut, beliau mengirimkan berbagai utusan ke seluruh pesantren di wilayah tanah air agar lebih waspada dan saling menjaga terhadap tindakan penjajah.
Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon