Tafsir KH Muchith Muzadi atas Trilogi Ukhuwah KH Ahmad Shiddiq
Sabtu, 1 Februari 2020 | 09:30 WIB
Trilogi ukhuwwah gagasan Rais Aam PBNU (1984-1991) KH Ahmad Shiddiq meliputi persaudaraan sesama Muslim, sesama anak bangsa, dan sesama anak manusia.
Bukan tanpa aral dan rintangan, gagasan cemerlang yang berawal dari makalah Rais Aam PBNU saat itu KH Achmad Shiddiq berjudul “Ukhuwwah Islamiyyah dan Kesatuan Nasional: Bagaimana Memahami dan Menerapkannya” mendapat kritik tajam dari para Kiai NU. Dalam konteks ini KH Abdul Muchith Muzadi yang terkenal sebagai sekretaris pribadi KH Achmad Siddiq menuliskan:
“Ketika pertama kali al-Maghfurlah KH Achmad Shiddiq mencanangkan hal ini, banyak kritik bernada sinis. Bahkan dengan gagasan beliau ini seakan-akan mereka menganggap bahwa beliau terlalu mengada-ngada, melakukan penambahan yang tidak perlu, bahkan ada juga yang menuduh beliau berlebih-lebihan “mendekati” kaum nonmuslim. Kalangan ini cenderung menyatakan bahwa gagasan tersebut “mengurangi” kadar-kadar ukhuwah islamiyyah atau persaudaraan sesama muslim.” (Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran; Refleksi 65 Tahun Ikut NU, [Surabaya, Khalista: 2006], cetakan ke-3, halaman, 171).
Meski demikian, setidaknya KH Achmad Shiddiq telah berhasil membuat para kiai NU untuk menyepakati pernyataan tentang fanatisme agama. Bahkan dalam makalahnya itu ia berhasil meletakkan dasar saling pengertian antara umat Islam dan umat agama lain. (Andre Feillard, NU vis a vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, [Yogyakarta, LKiS: 2013,], cetakan ke-3, halaman 340-347).
Lalu apakah gagasan trilogi ukhuwah itu memang mengurangi kadar persaudaraan sesama muslim atau bahkan bertentangan dengan Islam itu sendiri?
Dalam hal ini, KH. Abdul Muchit Muzadi menyatakan kalau tri ukhuwah itu dipahami bahwa semuanya bersumber dari ajaran Islam, maka ketiganya akan dapat dipahami secara baik. Menurut Kiai Muchit, pada hakikatnya tiga ukhuwwah itu: Islamiyyah, Insaniyyah atau Basyariyyah dan Wathaniyyah, bersumber pada ukhuwwah yang pertama, yaitu ukhuwwah Islamiyyah, dalam arti persaudaraan, kerukunan berdasarkan ajaran Islam.
Islam telah mengajarkan kerukunan atau hubungan yang baik antarsesama manusia yang kemudian dikenal dengan istilah hablum minan nas. Islam juga telah mengatur hubungan yang baik antarmanusia yang terikat hubungan famili, persaudaraan, pertemanan, sama-sama hidup dalam sekampung, sedaerah, sewilayah negara, dan sesama manusia. Nah, dari sekian hubungan itu, persaudaraan antara sesama pemeluk Islam disebut ukhuwwah Islamiyyah; persaudaraan antarsesama anak bangsa disebut ukhuwwah wathaniyyah; dan persaudaraan antarsesama manusia disebut ukhuwwah insaniyah.
Kiai Muchith menegaskan bahwa ketiganya bersumber dari ajaran Islam yang juga dapat disebut ‘ukhuwwah Islamiyyah’ dalam skala besar. Jadi kata “ukhuwwah Islamiyyah” dapat berarti ukhuwwah yang diajarkan Islam, dan dapat pula berarti ukhuwwah di antara pemeluk umat Islam. (Muchit, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, 170).
Lalu mana dalilnya? Adakah dalil Al-Qur’an yang dapat dijadikan rujukan dalam permasalahan ini. Kiai Muchith mengajukan dua ayat, Surat Al-Hujurat ayat 13 dan Surat Al-Isra’ ayat 70 berikut ini terjemahannya:
“Hai manusia, sungguh Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kalian. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Surat Al-Hujurat ayat 13).
“Sungguh telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rejeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Surat Al-Isra’ ayat 70).
Demikian penjelasan ringkas KH Abdul Muchith Muzadi tentang trilogi ukhuwwah: Islamiyyah, Wathaniyyah, dan Basyariyyah atau Isnaniyyah dari rekan sekaligus gurunya Rais Aam PBNU KH Achmad Shiddiq, yang sangat kontroversial pada saat itu, namun menjadi kebutuhan nyata sekarang di tengah berbagai konflik yang melanda umat manusia.
Ustadz Ahmad Muntaha AM, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jatim.