Berkaca pada sejarah, pada periode Demokrasi Terpimpin, “kabinet gemuk” sebenarnya pernah juga dipraktikkan dalam sistem pemerintahan Indonesia, yaitu Kabinet Dwikora, yang di dalamnya terdapat kurang lebih seratus kementerian dan lembaga lain setingkat kementerian.
Pada Kabinet Dwikora I terdapat 110 Menteri atau Pejabat Setingkat Menteri. Kabinet ini diumumkan pada 27 Agustus 1964, serta kemudian mulai bertugas sejak 2 September 1964 sampai 21 Februari 1966. Dasar hukumnya adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 215 Tahun 1964, tertanggal 27 Agustus 1964, tentang Pembentukan Kabinet Dwikora ditandatangani oleh Presiden Soekarno.
Sebagai sebuah konteks, penamaan Kabinet Dwikora itu berkaitan dengan upaya Indonesia yang saat itu tengah melancarkan operasi “Ganyang Malaysia.” Jargon “Dwikora” diciptakan Soekarno pada 3 Mei 1964 untuk menciptakan taktik yang lebih agresif melawan Malaysia (Crouch, 1999: 76).
“Dwikora” artinya dua komando rakyat; yang isinya adalah pertama, “perhebat ketahanan revolusi Indonesia” dan kedua, “bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Serawak, Sabah, dan Brunei untuk menggagalkan negara boneka Malaysia”.
Lebih jauh, jargon Dwikora ini berujung pada wacana pengadaan 21 juta sukarelawan untuk kampanye anti-Malaysia, dan pembentukan Komando Siaga (Koga) yang bertugas mengkoordinasikan kegiatan militer terhadap Malaysia (Sundhaussen, 1986: 326).
Dalam perkembangannya, Kabinet Dwikora pernah di-reshuffle menjadi Kabinet Dwikora II dan sering diistilahkan dengan “Kabinet Yang Disempurnakan”. Di dalamnya terdapat 132 Menteri atau Pejabat Setingkat Menteri, diumumkan pada 21 Februari 1966, dilantik pada 24 Februari 1966, dan berakhir pada 27 Maret 1966. Dasar hukum pembentukan Kabinet Dwikora II ini adalah Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 1966 tertanggal 21 Februari 1966.
Kabinet Dwikora II ini disusun dalam kondisi perpolitikan Indonesia yang tengah gonjang-ganjing akibat peristiwa G30S 1965. Kekuasaan Presiden Soekarno sedang di ujung tanduk, dipreteli oleh kekuatan militer. Sehingga, menurut analisis sejarawan Ricklefs (2008: 597) perombakan kabinet ini adalah bentuk upaya Presiden Soekarno menyelamatkan kekuasaannya dalam Demokrasi Terpimpin.
Kemudian, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 1966 tertanggal 27 Maret 1966, dilakukan lagi perombakan kabinet dan reshuffle beberapa menteri. Nama kabinet berubah menjadi Kabinet Dwikora III atau “Kabinet Disempurnakan Lagi”.
Di dalamnya, memiliki 79 Menteri atau Pejabat Setingkat Menteri, yang diumumkan pada 27 Maret 1966, serta mulai bertugas pada 30 Maret sampai 25 Juli 1966. Kabinet ini hanya bertahan 5 bulan, karena kemudian digantikan oleh Kabinet Ampera, yang mana dalam Kabinet Ampera ini Soekarno digantikan oleh Soeharto sebagai pejabat presiden, 12 Maret 1967.
Kader-Kader NU dalam Kabinet Dwikora
Tokoh NU yang masuk jajaran menteri dalam Kabinet Dwikora I di antaranya adalah KH Saifuddin Zuhri (lahir 1 Oktober 1919, wafat 25 Maret 1986). Ia diamanahi sebagai Menteri Agama yang menjabat dari 2 September 1964 hingga 21 Februari 1966. Bahkan pada tahun berikutnya jabatan KH Saifudin Zuhri bertambah lagi, yaitu merangkap sebagai Menteri Koordinator Kompartimen Urusan Agama, sejak 21 Juni 1965.
Hal ini berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 180 tahun 1965 yang membentuk Kompartimen Urusan Agama, sebuah kementerian koordinator yang membawahi Kementerian Agama, Kementerian Urusan Hadji, dan Kementerian Urusan Hubungan Pemerintah dengan Alim Ulama. Pada saat itu, Menteri Urusan Haji dijabat oleh Farid Ma’ruf.
Sementara Menteri Urusan Hubungan Pemerintah dengan Alim Ulama dijabat oleh Abdul Fatah Jassin (lahir 26 Juni 1915, wafat 3 Mei 1980), dan dilanjutkan atau digantikan oleh Muhammad Ilyas (lahir 23 November 1911, wafat 5 Desember 1970). Baik Fatah Jassin, juga Muhammad Ilyas, merupakan perwakilan dari Partai NU.
Masih dalam Kabinet Dwikora I, perwakilan lain dari Partai NU adalah H. Aminudin Aziz (lahir 1927, wafat 28 November 1990). Ia menjabat sebagai Menteri Negara Diperbantukan Pada Presidium Kabinet, berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 180 tahun 1965. Menteri Negara yang diperbantukan ini jumlahnya ada 8 orang. Selain H. Aminudin Aziz, ada Oei Tjoe Tat, Njoto, Arifin Harahap, Moedjoko Koesoemodirdjo, Ahmad Sukendro, Bugi Supeno, dan Ibnu Sutowo.
Berikutnya, tokoh NU yang berada dalam Kabinet Dwikora I adalah KH Idham Chalid (lahir 27 Agustus 1921, wafat 11 Juli 2010). Ia menjabat Menteri Koordinator Wakil Ketua MPRS, yang pada saat itu ketua MPRS-nya dijabat oleh Chairul Saleh. Beberapa tahun kemudian, ketika Orde Baru berdiri menggantikan Orde Lama, KH Idham Chalid diangkat menjadi Ketua MPR pada 28 Oktober 1971, menggantikan Jenderal AH. Nasution.
Kemudian, perwakilan lain Partai NU di Kabinet Dwikora I adalah KH Achmad Sjaichu (lahir 29 Juni 1921, wafat 4 Januari 1995). Ia menjabat Menteri Wakil Ketua DPR-GR, bersama tiga tokoh lain dari non-NU, yaitu I Gde Gusti Subamia, M.H. Lukman, dan Mursalin Daeng Mamangung.
Satu nama terakhir, tokoh NU yang duduk di Kabinet Dwikora I adalah seorang etnis Tionghoa, yaitu Tan Kim Liong. Ia seorang pengusaha dan fotografer yang mula-mula bekerja di harian Suluh Indonesia lalu kemudian di harian Duta Masyarakat, surat kabar milik NU. Pada tahun 1950-an, ia mualaf memeluk Islam, dan namanya berganti Mohammad Hasan (Fealy, 2003: 209).
Dalam Kabinet Dwikora I, Mohammad Hasan menjabat Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan, dan Pengawasan. Namun ia menjabat hanya sembilan bulan, karena kementerian ini kemudian dileburkan ke Menteri Urusan Anggaran Negara sejak 21 Juni 1965.
Sebagai tambahan, kader Partai NU dari kalangan Tionghoa di masa itu bukan hanya Tan Kim Liong. Ada pula seorang pengusaha kaya bernama Tan Eng Hong, yang bahkan tetap beragama Budha meski afiliasi politiknya ikut Partai NU. Meski tidak menjadi bagian dalam Kabinet Dwikora, Tan Eng Hong adalah salah satu dari 47 wakil NU di Parlemen tahun 1956. Dan baik Tan Kim Liong maupun Tan Eng Hong, keduanya memiliki relasi kedekatan dengan KH Wahab Hasbullah dan KH Idham Chalid.
Bahkan, KH Idham Chalid pernah membujuk Johannes Cornelis Princen (seorang mantan tentara Belanda yang membelot menjadi pejuang Indonesia pada masa Perang Kemerdekaan), untuk menjadi bergabung dengan faksi NU di parlemen. Meskipun ajakan ini ditolak Princen (Fealy, 2003: 209).
Ketika Kabinet Dwikora I berganti menjadi Kabinet Dwikora II, beberapa tokoh NU ada yang digeser posisinya, seperti:
- Mohammad Hasan atau Tan Kim Liong, menjabat Menteri Pembantu Urusan Bank Sentral/Gubernur BNI.
- KH Idham Chalid merangkap dua jabatan. Selain sebagai Menteri Koordinator Wakil Ketua MPRS, juga menjabat Wakil Perdana Menteri Bidang Hubungan Lembaga-Lembaga Tinggi.
- Abdul Fatah Jassin menjabat Menteri Negara Pembantu Menteri Koordinator Kompartimen Urusan Agama. Pada posisi ini, tugasnya ialah membantu KH Saifudin Zuhri.
- H. Aminudin Aziz menjabat Menteri Pengembangan Masyarakat Desa
- KH. Achmad Sjaichu Menteri Sekretaris Jenderal Front Nasional.
Berlanjut dalam Kabinet Dwikora III, kader-kader NU tidak banyak mengalami perubahan jabatan. Malahan, dalam kabinet ini masuk tokoh baru dari NU yang namanya cukup legendaris, Mohammad Subchan Z.E. (lahir 22 Mei 1931, wafat 21 Januari 1973). Ia menempati satu dari 6 jabatan Wakil Ketua MPRS. Meski pun jabatan itu hanya diemban satu bulan saja, yaitu sejak 22 Juni 1966 sampai 25 Juli 1966, karena riwayat Kabinet Dwikora III berakhir digantikan Kabinet Ampera.
Itulah kader-kader NU yang menjadi bagian dari Kabinet Dwikora I, II, dan III. Dalam setiap periode sejarah Indonesia, dari sejak pra-Kemerdekaan (sebelum 1945), masa Kemerdekaan tahun 1945, periode Revolusi Fisik/Perang Kemerdekaan (1945-1949), Republik Indonesia Serikat (1949-1950), Demokrasi Liberal (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1967), Orde Baru (1967-1998), hingga masa Reformasi kini, NU tidak pernah absen menempatkan tokoh-tokohnya dalam catatan perjuangan dan pengabdian untuk negara dan bangsa.
Agung Purnama, pengurus Lakpesdam NU Jawa Barat, dosen tetap Jurusan SPI UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan mahasiswa S3 Ilmu Sejarah Universitas Indonesia