Menjelang perhelatan Muktamar Ke-34 NU di Lampung pada 22-24 Desember 2021, kandidat Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf menegaskan bahwa ia mempunyai misi kembali memperkuat marwah NU. Salah satunya tidak memperbolehkan pengurus, termasuk dirinya untuk nyalon presiden maupun wapres.
Gagasan tersebut terus diperkuat oleh Gus Yahya ketika dia terpilih menjadi Ketua Umum PBNU. “Kenapa demikian, Gus?” salah seorang wartawan bertanya. “Karena saya sudah pernah jadi presiden,” seloroh Gus Yahya.
Usut punya usut, ketika sidang terakhir KTT OKI di Doha, Qatar, berlangsung hingga agak larut. Sekitar jam 11 malam waktu setempat baru usai.
Keluar ruang sidang, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kelihatan capai sekali. Padahal sepuluh menit lagi upacara penutupan.
“Aku nggak kuat lagi ini,” kata Presiden. “Aku mau langsung tidur saja. Biar Yahya yang nggantiin ikut penutupan!” kata Gus Dur lagi. Semua orang melongo, tapi tak ada yang berani membantah.
Di ruang sidang saya bingung: hanya dua kursi tersedia, satu untuk Presiden, satunya lagi untuk Menteri Luar Negeri.
“Saya duduk di mana, Pak Alwi?” tanya Gus Yahya kepada Menlu Alwi Shihab.
“Ya di situ!” Pak Alwi Shihab menunjuk kursi Presiden.
“Itukan ada tag-nya Presiden RI, kita tukeran aja deh,” Gus Yahya merengek.
“Nggak bisa! Saya Menteri Luar Negeri. Harus duduk di kursi saya sendiri!” sergah Alwi Shihab.
Akhirnya, Gus Yahya terpaksa duduk di kursi Presiden RI yang sedari tadi sudah banyak disorot kamera televisi. Begitulah kisah Gus Yahya pernah menjadi presiden sesaat menggantikan Gus Dur. (Fathoni)