Adakah Perdamaian Sejati bagi Palestina di Balik Gagasan Trump dan Netanyahu untuk Gaza?
Rabu, 1 Oktober 2025 | 15:30 WIB
Jakarta, NU Online
Pengumuman kesepakatan antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengenai rencana perdamaian baru untuk Gaza di Gedung Putih, New York, pada Senin (29/9/2025) lalu diklaim sebagai "hari bersejarah."
Kendati diikuti embel-embel rencana perdamaian yang lebih dari sekadar Palestina, 21 poin dalam gagasan ini lebih berfokus pada menghentikan kekerasan semata (negative peace) dan mengabaikan prinsip-prinsip fundamental untuk membangun perdamaian yang berkelanjutan (positive peace).
Menurut Pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI), Agung Nurwijoyo, rencana 21 poin Trump tersebut secara jelas merepresentasikan upaya mencapai perdamaian semu yang hanya menitikberatkan pada berakhirnya perang dan kekerasan (negative peace).
"Keberadaan Trump Peace Plan hari ini lebih kepada usaha untuk menghentikan perangnya, untuk menghentikan genosidanya, menghentikan kekerasannya," ujar Agung kepada NU Online, Rabu (1/10/2025).
Perdamaian semu, sebagaimana dijelaskan Agung, sekadar berarti absennya perang dan kekerasan. Poin-poin seperti gencatan senjata, pengembalian sandera, dan penarikan pasukan Israel dari Gaza termasuk dalam kategori ini.
Namun, lanjut Agung, langkah ini harusnya menjadi batu loncatan menuju perdamaian sejati (positive peace), yakni perdamaian yang lebih abadi dan membangun harmonisasi.
Terhambatnya Perdamaian Sejati
Sayangnya, terdapat tiga problem utama dalam rencana ini yang justru menghambat terwujudnya prinsip positive peace.
Pertama, Agung memaparkan rencana ini dinilai timpang dalam hal jaminan keamanan. "Bobotnya lebih besar terhadap security guarantee atau jaminan keamanan bagi Israel," kritik Agung.
Sementara, jaminan keamanan bagi rakyat Palestina untuk hidup bebas dari blokade dan kekerasan terstruktur Israel tidak mendapatkan porsi yang seimbang.
Kedua, masalah kedaulatan. Rencana pembentukan pemerintahan sementara oleh teknokrat yang dipimpin langsung oleh Trump dan melibatkan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair dinilai sebagai bentuk pelemahan aktor lokal.
"Mengapa masa depan Palestina yang menentukan adalah pihak eksternal dan menegasikan peran-peran aktor yang sebenarnya mereka bagian penting dalam sejarah mereka sebagai sebuah bangsa," ujarnya. Hal ini semakin memperkuat premis otoritas pemerintahan pascaperang akan mengesampingkan tokoh utama politik Palestina.
Ketiga, rencana ini dinilai mengabaikan penegakan hukum internasional. Agung menyoroti bahwa pelanggaran-pelanggaran yang nyata dilakukan oleh Israel seolah terabaikan, sebaliknya yang muncul adalah narasi yang menempatkan Israel sebagai korban.
Ultimatum Netanyahu yang mengancam akan "menuntaskan ini sendiri" jika Hamas menolak atau melanggar perjanjian semakin mempertegas bahwa rencana ini dibungkus dengan ancaman militer, bukan kesetaraan dalam negosiasi.
Lebih jauh, Agung menekankan bahwa untuk mencapai positive peace, solusi dua negara harus menjadi tujuan akhir. Namun, hal ini menemui tantangan besar karena PM Israel sendiri tidak melihat Palestina sebagai entitas negara.
"Netanyahu sama sekali tidak menggunakan diksi Palestina as a state (sebagai negara) tetapi yang digunakan hanya diksi-diksi seperti Gaza, Hamas, dan Palestine Authority," paparnya.
Dari pernyataan Netanyahu tersebut, Israel, sebagai pihak yang memiliki kekuatan dominan, tidak memiliki keyakinan terhadap solusi dua negara.
Menurut Agung, negative peace dan positive peace seharusnya berjalan beriringan dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina, bukan selesai dalam penghentian perang saja. Negara-negara pendukung kedaulatan Palestina semestinya memberikan dorongan agar rakyat Palestina bisa memiliki kebebasan menentukan masa depan negaranya sendiri.
Trump Peace Plan versi saat ini berisiko hanya menjadi jeda sementara dalam konflik. Gagasan ini tidak memuat peta jalan yang jelas menuju penyelesaian akar masalah yang adil dan berkelanjutan bagi Palestina.
Di tengah berbagai perundingan dan inisiatif perdamaian, Pasukan Pendudukan Israel masih terus melancarkan agresi di Gaza. Melansir situs resmi Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS) hingga hari ini, 67.144 orang menjadi martir dan 177.570 orang terluka akibat serangan Israel ke Palestina sejak 7 Oktober 2023.