Alasan Hamas Serang Israel: 75 Tahun Rakyat Palestina dalam Penindasan dan Ketidakadilan
Senin, 9 Oktober 2023 | 14:00 WIB
Satu kondisi perang Hamas-Israel. Asap membubung di atas gedung-gedung Kota Gaza pada Sabtu (7/10/2023), saat serangan udara Israel menghantam gedung Palestine Tower. (Foto: AFP)
Jakarta, NU Online
Pada Sabtu pagi (7/10/2023) waktu setempat, Hamas telah melancarkan serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya ke Israel, dengan para militannya memasuki komunitas-komunitas di dekat Jalur Gaza.
Serangan yang dinamai "Operasi Badai Al Aqsa" ini meluncurkan lebih dari 5.000 roket ke arah Israel. Israel juga telah berulang kali menyerang Hamas dengan serangan udara yang menargetkan situs-situs militan di Gaza.
Pemerintah Palestina mengatakan, alasan di balik serangan pasukan Hamas ke wilayah Israel yang tak lain berkaitan dengan ketidakadilan yang dialami rakyat Palestina selama 75 tahun.
Selain itu, penolakan Israel terhadap perjanjian yang telah ditandatangani dan ketidakpatuhan mereka terhadap resolusi-resolusi internasional yang sah, telah menyebabkan terhentinya proses perdamaian.
“Tidak adanya solusi terhadap permasalahan Palestina setelah 75 tahun penderitaan dan pengungsian, berlanjutnya kebijakan standar ganda, dan diamnya komunitas internasional mengenai praktik kriminal dan rasis yang dilakukan pasukan pendudukan Israel terhadap rakyat Palestina, dan berlanjutnya ketidakadilan dan penindasan yang dialami rakyat Palestina adalah alasan di balik situasi yang meledak-ledak ini dan tidak adanya perdamaian dan keamanan di wilayah tersebut,” tulis Kementerian Luar Negeri Palestina melalui akun media sosial X, Sabtu (7/10/2023).
Serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 menandai eskalasi kedua pihak sejak mereka terlibat perang 11 hari pada tahun 2021. Lantas, apa pemicu Hamas menyerang Israel?
Dilansir Al Jazeera, juru bicara Hamas Khaled Qadomi mengatakan serangan ini diklaim Hamas sebagai balasan atas serangkaian tindakan Israel di Yerusalem dan Tepi Barat. Setidaknya tercatat, 700 kali kekerasan pemukim Israel ke warga Palestina di Tepi Barat pada 2023.
Pemukim Israel mengambil alih paksa rumah-rumah warga Palestina. Pengusiran ini bahkan tak jarang hanya jadi tontonan pihak keamanan Israel. Selain itu di Yerusalem, kelompok Ultranasionalis Yahudi memaksa masuk kompleks Masjid Al Aqsa untuk melakukan perjalanan yang dianggap provokatif.
Di luar itu, faktor lain sedang terjadi proses normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel yang dimediasi Amerika Serikat. Jika Arab Saudi setuju dan mengakui kedaulatan Israel, negara-negara Arab lainnya akan melakukan hal yang sama. Hal ini akan merugikan kelompok-kelompok pejuang Palestina.
Selain itu, Israel tengah dilanda perpecahan politik. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang terlibat skandal korupsi, mencoba mengubah sistem peradilan di Israel. Gelombang demonstrasi dari oposisi dan warga Israel pun bermunculan pada awal 2023.
Ia juga mengeluarkan Undang-Undang yang membuat perdana menteri tidak bisa dipecat. Mantan Komandan NATO, James Stavridis menyebut perpecahan politik dalam negeri Israel jadi peluang potensial Hamas dan pendukungnya untuk melakukan serangan.
Sementara itu kurang dari 24 jam usai diserang Hamas, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan kabinet Israel resmi mendeklarasikan perang. Ini menjadi deklarasi perang pertama Israel, setelah 50 tahun Perang Yom Kippur di tahun 1973. Deklarasi perang ini artinya militer Israel diberikan lampu hijau untuk mengerahkan kekuatan secara signifikan.