Internasional

Berkunjung ke Masjid Darul Aman Bangkok

Ahad, 5 Mei 2019 | 04:35 WIB

Berkunjung ke Masjid Darul Aman Bangkok

masjid Darul Aman Bangkok (Istimewa)

Senin sore (29/4) pekan lalu saat langit di Kota Bangkok Thailand sudah mulai berwarna emas, NU Online diajak seorang kawan membelah jalanan Kota Bangkok yang sedang merayap. Kemacetan ibu kota negara Gajah Putih ini seperti Jakarta; cukup parah terutama di sore hari. Bedanya, jumlah kedaraan roda dua lebih sedikit dari pada roda empat. Dari sebuah kesaksian, ternyata pajak kendaraan roda dua, relatif tinggi jika dibandingkan roda empat. Hal itu menjelaskan kecilnya populasi kendaraan roda dua dibanding roda empat.

Setelah taksi yang membawa kami melintasi jalanan kota selama kurang lebih 30 menit, tibalah kami di kawasan Ratchathewi, tempat sebuah masjid bernama Darul Aman, sebuah masjid yang menjadi salah satu tujuan pariwisata umat Islam di sini. “Nanti kita makan di sini ya, sekalian aku mau buka puasa,” kata Lina Farida Jihadah (30), warga NU yang menetap di Bangkok dalam logat Jawa yang cukup kental.

Lina menceritakan, masjid ini merupakan salah satu masjid favorit umat Islam setempat, termasuk warga Indonesia di kawasan ini. Karena selain menjadi tempat beribadah, di sekitar masjid ini juga terdapat puluhan penjual makanan halal di sana. Puluhan meter Gang Ratchathewi tempat masjid berada terdapat penjual makanan halal dengan menu-menu yang beraneka ragam. “Di sini pusat makanan halal di kota. Jadi ‘aman’ beli makanan di sini,” kata Lina.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Saat kami mengunjungi masjid ini sore itu, tampak beberapa orang sedang mempercantik tampilan masjid ini. "Mereka sepertinya sedang menyiapkan bulan Ramadhan," kata Lina. Tampak seseorang bendiri di atas tangga lipat sambil mengecat pintu gerbang dengan warna keemasan dan seorang lainnya menyirami bunga di taman kecil di depan masjid dengan selang panjang berwarna biru.

Masjid itu sendiri terbagi atas dua lantai. Tempat ibadah utamanya terletak di lantai atas, sementara lantai bawah digunakan sebagai aula dan tempat sejumlah spot foto. Ruang di lantai atas terbagi menjadi dua; bagian depan yang ditempati jamaah laki-laki cukup luas dengan ukuran sekitar 300 meter persegi dengan karpet lembut berwarna merah dan atap-atap setinggi lima meter, dan ruang untuk perempuan yang lebih kecil di bagian belakan. Pengimaman di bagian depan dihiasi dengan gorden putih berenda hijau tua. Bagian yang taka lazim ditemukan di masjid Indonesia adalah keberadaan hiasan dari bunga dalam pot di samping kanan kiri sajadah imam, lengkap dengan dua hiasan lampu berbentuk payung kecil.

Di kanan kiri tempat imam terdapat ukiran kayu selebar empat meter-an dengan ukiran ayat Al-Qur’an berwarna keemasan. Ukiran tulisan berbahasa Arab lain dengan ukuran lebih kecil juga menghiasi dinding masjid di bagian atas jendela berukuran besar itu. Secara umum, ruang utama masjid ini dipenuhi dengan warna keemasan yang menjadi ciri khas kerajaan Thailand.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Masjid dua lantai ini di awal pembangunannya hanya satu lantai saja. Saat dibangun pada tahun 1882 oleh komunitas muslim di kawasan Selatan Thailand, masjid ini dibangun dengan model arsitektur gaya Thailand yang bernama ‘Panya’. Lalu model ini diubah dalam sebuah renovasi setelah masjid ini mendapat sumbangan dari warga sekitar. Sekarang masjid ini bisa menampung kurang lebih seribu orang untuk beraktivitas. Komite masjid Darul Aman dan Komunitas Muslim Phayatai bahkan mempersilakan siapapun untuk menggunakan fasilitas masjid tersebut untuk agenda keagamaan.

Keberadaan masjid ini sendiri sekaligus menandai masuknya Islam di Thailand Selatan tepatnya di Distrik Thungphayathai sejak awal periode Rattanakosin. Komunitas muslim ini lantas membangun masjid ini pada awal tahun 80an dengan nama ‘Darul Aman’ yang berarti ‘Sebuah Tempat yang Aman’. Dalam bahasa melayu lokal disebut dengan ‘Surau Phayathai’.

Saat ini, menurut Lina, masjid ini semakin ramai saat Ramadhan tiba. Umat Islam memenuhi masjid untuk beribadah, termasuk melaksanakan Shalat Tarawih.  Lina sendiri sangat suka melaksanakan Shalat Tarawih di sini. Alasannya substansial: karena masjid ini memenuhi hasrat ke-NU-annya dengan menyelenggarakan Shalat Tarawih 23 rakaat lengkap dengan Shalat Witirnya. "Ini 'masjid NU' lho, soalnya di sini shalatnya 23 rakaat. Makanya saya suka tarawih di sini. Ada juga takjil gratis di sini,” kata dia sambil tertawa.

Bagaimanapun tidaklah mudah menemukan masjid di negara yang populasi muslimnya hanya lima persen dari 69 juta orang, apalagi yang spesifik dengan tarawih 23 rakaat. Pemeluk agama Budha adalah mayoritas di sini, dengan angka sekitar 93 persen. Beberapa persen sisanya dibagi pemeluk agama lain atau yang memilih tak beragama apapun.


Lina sendiri termasuk muslim yang taat. Walaupun bekerja penuh waktu di negara yang tak banyak komunitas muslimnya, ia tetap menjalankan ibadah wajib dengan ketat, lengkap dengan puasa sunnahnya. Dia juga termasuk orang yang cukup disiplin untuk urusan makanan, padahal ia tinggal di negara yang tak mudah menemukan makanan halal.

Sepengalaman penulis, untuk urusan makanan di negara mayoritas non muslim seperti  ini, umat Islam setidaknya terbagi menjadi dua bagian: pertama mereka yang membolehkan diri makan apapun selama tidak mengandung unsur babi, kedua kelompok yang sangat ketat menjaga makan dan tidak mau mengonsumsi sesuatu selama tidak ada jaminan halal, misalnya dengan logo halal pada bungkusnya. “Aku memilih yang ketat aja. Soalnya jika dibiasakan makan yang tidak pasti kehalalannya bisa berdampak buruk bagi yang lain,” kata Lina.

Menghadapi bulan Ramadhan ia mengaku tertarik untuk lebih mendalami kajian keagamaan melalui program pengajian online yang sedang ramai. Ia mengaku secara rutin mengikuti sejumlah kajian online di antaranya pengajian Ihya’ Ulumuddin Gus Ulil Abshar Abdalla, dan pengajian lain yang tersedia secara online. Ia bersyukur atas kemudahan yang disediakan oleh kemajuan zaman saat ini. (Ahmad Rozali)


Terkait