Dai dan Imam Utusan PBNU Beri Kesan di Daurah Universitas Al-Azhar
Senin, 28 Oktober 2019 | 23:00 WIB
KH Choirul Ansori saat menyampaikan kesan pada penutupan Daurah Tadrib al-Duat wa al-Aimmah Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Ahad (27/10). (Foto: NU Online/Syakir)
Jakarta, NU Online
Setelah dua bulan berjalan, Tadrib al-Duat wal Aimmah ketiga tahun 2019 yang digelar oleh Universitas Al-Azhar resmi berakhir pada Ahad (27/10). Pada kegiatan penutupan, dua utusan Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU) tampil mewakili puluhan peserta dari belasan negara, yakni KH Choirul Ansori menyampaikan kesan dan KH Jazim Hamidi melantunkan ayat suci Al-Qur’an.
“Alhamdulillah untuk gelombang tiga ini memberi kesan sendiri pada akhir penutupan daurah ini. Kita dipilih untuk mewakili para peserta tampil sebagai pembaca Al-Qur’an. Saya sendiri dipilih untuk menyampaikan kesan pesan atas nama peserta seluruhnya. Kemudian ada juga atase dari KBRI yang juga memberikan sambutan pada saat itu,” terang KH Choirul Ansori, ketua daurah ketiga utusan PBNU, kepada NU Online, Senin (28/10).
Ia bersyukur para peserta dan masyayikh Al-Azhar mengakui kapasitas keilmuan delegasi PBNU. Hal itu tentu bukan tanpa sebab mengingat proses seleksi yang tidak sembarangan. “Jadi alhamdulillah Indonesia dari keilmuan diakui karena memang teman-teman dikirim oleh LD PBNU adalah teman-teman pilihan, bukan orang sembarangan yang dikirim,” katanya.
Di samping itu, beberapa pengajar di sana juga, menurutnya, pernah memiliki pengalaman berkunjung ke Indonesia. Tak ayal di antara mereka memahami betul karakter dan kultur Islam dan Muslim yang berkembang di Nusantara.
“Memang ada beberapa dosen yang sudah sering ke Indonesia dan mereka memahami betul tentang NU dan Indonesia bagaimana tabiatnya orang Islam di Indonesia, tawadu, ramah tamah. Sebetulnya Indonesia punya pandangan sendiri bagi para dosen,” ujar Wakil Direktur Yayasan Syahamah, Duren Sawit, Jakarta Timur itu.
Kiai Ansori juga mengungkapkan bahwa manhaj NU dan Al-Azhar sebetulnya sama, yakni moderat. Kesamaan cara pandang inilah yang, menurutnya, penting untuk dikenalkan melalui media tertentu dengan pengantar bahasa Arab atau Inggris guna memudahkan masyarakat luar memahaminya.
“Jadi, saya usulkan memang harus kita kenalkan, mungkin itu melalui media sosial, video, atau secara tertulis melalui brosur atau buku kecil dalam bahasa Arab atau Inggris mengenalkan NU ke para peserta dan mungkin dibagikan ke seluruh peserta lebih baik,” ungkapnya.
Para peserta berasal dari kalangan yang memiliki otoritas di negaranya masing-masing. Pengenalan NU kepada mereka melalui media yang berbahasa Arab dan Inggris itu sangat penting sebagai sarana yang bisa diteruskan kepada para jamaahnya di luar sana. “Penting brosur itu untuk dilihat mereka sebetulnya ada kesamaan visi misi dengan Al-Azhar dan mereka akan mengenalkan NU di jamaahnya masing-masing,” terangnya.
Sebagai salah seorang peserta, ia sangat terkesan dengan program tersebut mengingat seluruh kegiatan diisi oleh pakar di bidangnya masing-masing. “Dosen-dosennya adalah orang-orang yang berkompeten di bidangnya dan khusus untuk daurah ini adalah guru besar di masing-masing bidangnya,” katanya.
Meskipun demikian, bukan tidak ada kendala selama dua bulan sejak awal September hingga akhir Oktober program berlangsung. Bahasa ‘amiyah yang terkadang digunakan oleh para pengajar menjadi satu kendala tersendiri bagi peserta yang tak terbiasa mendengar bahasa tersebut.
“Ada beberapa muhadir yang kadang menggunakan bahasa ‘amiyah. Itu yang kadang bagi teman-teman dan saya juga sesuatu yang berbeda dari belajar di Indonesia. Kadang ya aneh bagi teman-teman kita ini,” ucapnya.
Di samping itu, keluarga dan berbagai macam tugas yang ditinggal juga menjadi kegalauan bagi para peserta di Negeri Kinanah. Dua bulan bukanlah waktu yang sebentar untuk menahan rindu terhadap tanah air. “Waktu dua bulan itu tidak gampang. Seminggu dua minggu masih semangat. Tapi minggu ketiga keempat jenuh itu ada. Kangen keluarga dan segala macam,” katanya.
Meskipun demikian, kerinduannya itu sedikit terobati dengan keaktifan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Mesir yang tak pernah sepi berkegiatan. Ia dan rekan-rekannya sesama peserta merasa terhibur dengan beragam acara yang digelar oleh Nahdliyin di sana.
“Dalam seminggu itu mesti ada (acara) sehingga kita sedikit terhibur dengan acara-acara mereka karena di acara mereka bisa memberikan nasihat, tausiah, ketemu dengan sesama orang Indonesia, mahasiswa Indonesia,” katanya.
Obat yang tak kalah mujarab yang disajikan oleh Nahdliyin Mesir adalah hidangan makanan khas Nusantara. Beberapa kali mustasyar PCINU Mesir juga mengundang para peserta daurah untuk makan-makan. “Kadang yang paling berkesan adalah makanan yang disiapkan adalah makanan Indonesia. Kita sering diundang untuk makan-makan. Itu menghibur kita. Candaannya juga bikin kita terhibur. Jadi tidak jenuh,” katanya.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Aryudi AR