Internasional

Di Malaysia, Ketua PBNU Ungkap Hubungan Historis Tiongkok dan Jawa

Selasa, 18 November 2025 | 19:30 WIB

Di Malaysia, Ketua PBNU Ungkap Hubungan Historis Tiongkok dan Jawa

Ketua PBNU Ahmad Suaedy dalam International Conference Cheng Ho’s Economic Nexus for Global Harmony and Outreach yang berlangsung di The Grand Ballroom Birkin Hotel, Melaka, Malaysia, Selasa (18/11/2025). (Foto: dok. istimewa)

Melaka, NU Online

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Suaedy mengungkapkan hubungan historis antara Tiongkok dan Asia Tenggara dalam International Conference Cheng Ho’s Economic Nexus for Global Harmony and Outreach yang berlangsung di The Grand Ballroom Birkin Hotel, Melaka, Malaysia, Selasa (18/11/2025).


Dekan Fakultas Islam Nusantara (FIN) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) itu membidik hubungan Tiongkok dan Jawa yang terajut melalui Jalur Sutra Maritim (Maritime Silk Road). Dalam hubungan tersebut, ia mengungkapkan sisi peran penting Laksamana Muslim Dinasti Ming, Cheng Ho (Zheng He) dalam diplomasi, perdagangan, dan penyebaran Islam secara damai di Jawa.


Menurutnya, pelayaran Cheng Ho pada abad ke-15 tidak hanya membuka jalur dagang, tetapi juga meletakkan fondasi bagi karakter Islam Nusantara yang toleran dan asimilatif.


Cheng Ho: Diplomasi dan Jalur Sutra Ganda

Ahmad Suaedy menjelaskan bahwa meskipun Tiongkok terkenal dengan Jalur Sutra Darat, mereka juga mengombinasikan kekuatan dengan Jalur Sutra Maritim untuk menjangkau wilayah kepulauan seperti Asia Tenggara.
 

“Selama tahun 1405-1433, Cheng Ho atau Zheng He setidaknya melakukan tujuh kali pelayaran dan beberapa di antara mampir ke beberapa pelabuhan Asia tenggara seperti Malaka, Palembang, Bangka-Belitung, Sunda Kelapa (sekarang Jakarta), Cirebon, Semarang, Tuban dan Surabaya. Zheng He memimpin tujuh ekspedisi besar dengan armada hingga 307 kapal dan 28.000 kru,” jelasnya saat diwawancarai NU Online selepas acara tersebut.


Ia menjelaskan, tujuan utama Zheng He berlayar ke seluruh penjuru dunia termasuk ke Asia Tenggara adalah untuk diplomasi terkait perubahan kebijakan Kaisar Yongle yang menerapkan perdagangan terpimpin. Para pedagang dan saudagar Tiongkok tidak lagi bebas untuk berdagang di luar negeri melainkan harus dikendalikan oleh penguasa saat itu.


Warisan Budaya dan Asimilasi Islam
Zheng He, yang juga seorang pendakwah Muslim mazhab Hanafi, meninggalkan warisan Islam yang khas. Kedatangan armadanya memungkinkan sebagian kru Muslim untuk menetap, bermukim, dan beranak pinak di sekitar pelabuhan.


Di Palembang dan Semarang, misalnya, sempat terbentuk komunitas pengamal Islam mazhab Hanafi. Selain itu, Cheng Ho dan krunya mendirikan sejumlah tempat ibadah (masjid) dengan arsitektur Tiongkok.


Hal itu, kata Suaedy, berbanding terbalik dengan pelayar Eropa satu atau dua abad kemudian yang mengutamakan perampokan dan monopoli, sementara pelayaran Cheng Ho mengedepankan diplomasi, perdagangan, dan dakwah secara damai.


Namun, Suaedy juga menyinggung ironi sejarah: setelah pelayaran Tiongkok terhenti, masjid-masjid berarsitektur Tiongkok yang didirikan Cheng Ho kemudian berubah fungsi menjadi klenteng karena kurangnya sosialisasi Islam yang mantap, dan kedatangan gelombang Tionghoa berikutnya yang menganut Kong Hu Chu.


Paralelitas wali songo dan karakter Islam Nusantara

Strategi dakwah Cheng Ho yang mengedepankan asimilasi memiliki paralel dengan cara Islam berkembang di Jawa. Suaedy menekankan kesamaan strategi ini dengan para Wali Songo.


Para Wali Songo mengadopsi kesenian rakyat seperti wayang kulit dan wayang orang dari tradisi Hindu-Buddha. Wayang diubah menjadi sarana yang sepenuhnya sufistik untuk mengajarkan dimensi spiritual Islam.


"Nilai-nilai Sufi telah memberikan sentuhan batin paling dalam pada masyarakat Nusantara, menjadikan mereka harmoni dalam kehidupan antaragama dan antaretnis," tegas Suaedy.


Peran NU dalam memperkuat hubungan

Karakter Islam yang damai dan dialogis ini terlembaga dalam Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia yang berpegang pada Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah dan mengamalkan tasawuf.


“NU, dengan lebih dari 125 juta pengikut, adalah pilar penting dalam masyarakat Indonesia yang berlandaskan nilai-nilai toleran dan adil,” tegasnya.


Ia kemudian mengungkapkan salah seorang tokoh penting NU yang juga Presiden Ke-4 RI, yaitu KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), disebut sebagai keturunan Tionghoa. Ia berperan dalam menghapus semua pembatasan dan diskriminasi terhadap orang Tionghoa di Indonesia.


Ia menegaskan bahwa NU melanjutkan berbagai hal yang telah dilakukan Gus Dur dan siap berkolaborasi di berbagai bidang, termasuk perdagangan, industri, teknologi, dan budaya. Banyak anggota muda NU yang belajar di seluruh dunia, termasuk di Tiongkok.


“Sebagai pemimpin dan akademisi NU, saat ini saya bekerja sama dengan Museum dan Kebudayaan Zheng He di Melaka untuk melakukan penelitian tentang warisan budaya Tiongkok dan Zheng He di Indonesia dan Asia Tenggara,” tutupnya.