Internasional

Katib Syuriyah PBNU Sampaikan Permudahan Dam pada Muktamar Haji

Rabu, 11 Januari 2023 | 22:15 WIB

Katib Syuriyah PBNU Sampaikan Permudahan Dam pada Muktamar Haji

Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Muhammad Faiz Syukran Ma’mun menghadiri Muktamar Haji 1444 H/2023 M di Jeddah, Selasa (10/1/2023). (Foto: Kemenag)

Jakarta, NU Online

Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Muhammad Faiz Syukran Ma’mun menghadiri Muktamar Haji 1444 H/2023 M yang digelar Pemerintah Kerajaan Arab Saudi di Jeddah. Pada kesempatan itu, Gus Faiz, sapaan akrabnya, mengisi sebuah seminar yang digelar pada Selasa (10/1/2023). Seminar tersebut mengangkat tema ‘Fiqhut-Taysiir (kemudahan) dalam Haji dan Implikasinya terhadap Kemudahan Layanan".


Dalam seminar tersebut, Gus Faiz mengajak para ulama dunia untuk mendiskusikan kembali masalah hewan dam, disembelih di mana dan dagingnya dibagikan kepada siapa? Menurutnya, pertanyaan itu menjadi masalah bersama di era kontemporer seiring dengan beragam perubahan yang telah terjadi. Saat ini, jumlah jamaah meningkat drastis di setiap musim haji, mencapai dua hingga tiga juta. Sejalan itu, Kerajaan Arab Saudi juga terus membangun dan memperluas infrastruktur untuk menerima para peziarah di Baitullah di masa-masa mendatang.


Hal ini, pada gilirannya, mengarah pada peningkatan jumlah hewan dam, baik karena tamattu’, atau karena melakukan larangan atau lainnya. Akibatnya, ada kebutuhan nyata akan sejumlah rumah potong hewan dengan peralatan lengkap dan cukup untuk menampung jumlah hewan kurban yang sangat banyak. Selain itu, diperlukan juga keberadaan orang yang berhak atas daging hewan dam.


Gus Faiz mengapresiasi ijtihad ulama yang membolehkan membawa daging-daging yang disembelih sebagai dam tamattu’ dan qiran ke luar Tanah Suci dan distribusikan kepada orang miskin ke berbagai negara Muslim. Sebab, jumlah orang fakir dan miskin di Tanah Suci khususnya, dan Kerajaan Arab Saudi pada umumnya, memang sangat sedikit. 


“Fatwa ini berkontribusi dalam mencapai maslahah seputar nasib daging yang jumlahnya melebihi kebutuhan orang miskin di Tanah Suci,” tegas Gus Faiz sebagaimana dilansir situsweb Kementerian Agama.


Namun, lanjutnya, ijtihad ini belum menjawab semua aspek masalah yang ada dan tantangan di masa yang akan datang. Ijtihad ini belum menjawab masalah proses penyembelihan, di mana itu harus dilakukan di Mina atau Mekkah sesuai dengan Firman Allah dan Hadis Nabi.


Pengkhususan Mina dan Mekkah sebagai tempat penyembelihan, kata Gus Faiz, merupakan tantangan besar. Sebab, dibutuhkan pengembangan rumah pemotongan hewan yang ada, atau bahkan pembangunan rumah pemotongan hewan yang baru, baik di pintu masuk dan keluar Mina atau berbagai tempat di Tanah Suci, untuk menampung hewan yang disembelih dalam jumlah besar.


Apalagi, menurut mayoritas ulama, waktu penyembelihan tidak boleh melewati empat hari, yaitu hari idul adha dan hari tasyriq. Jika jumlah hewan yang disembelih mencapai satu juta ekor, berarti tidak kurang 250.000 ekor penyembelihan dalam satu hari, atau setara dengan penyembelihan sembilan kepala per detik. Ini belum menghitung proses menguliti, memotong, dan mengemas.


Masalah lainnya, jumlah hewan ternak yang sangat besar ini, sebagian didatangkan dari luar Kerajaan Arab Saudi. Setelah disembelih dan dikemas, daging baru diangkut ke luar negeri setelah disimpan dan didinginkan. Ini juga membutuhkan biaya yang besar.


Di sisi lain, tidak baik juga untuk menyerahkan operasi penyembelihan, pengulitan, dan pemotongan hewan dam kepada individu. Penyembelihan harus dilakukan di rumah jagal yang diawasi oleh kerajaan, untuk melindungi para peziarah dan tempat suci dari polusi dan penyebaran penyakit jika hewan kurban disembelih di jalanan.


Gus Faiz mengakui bahwa tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang kekhususan Tanah Suci dan Mekkah sebagai tempat penyembelihan. Sebab, kurban itu sendiri menjadi bagian dari ibadah haji sehingga tidak bisa dilaksanakan kecuali pada waktu dan tempat tertentu, seperti rangkaian ibadah lainnya.


“Ini memang pandangan yang kuat dan tidak ada yang membantahnya,” tegas Pengasuh Pondok Pesantren Daarurrahman Jakarta itu.


Meski dalam kesepakatan yang hampir sampai pada derajat Mujma’ Alaih ini, Ibn Abdil Bar menyebutkan pandangan Al-Tabari bahwa diperbolehkan menyembelih hewan kurban di mana pun orang yang membayar dam (Mahdi) menginginkannya, kecuali dam qiran dan dam karena melanggar larangan berburu. Kedua Dam itu tidak dapat disembelih kecuali di Tanah Suci.


“Saya pikir pernyataan ini tidak mudah diterima, dan sepengetahuan saya, saya tidak menemukan ulama yang mendukungnya, membolehkan dam tamattu’ disembelih di negerinya, kemudian membagikannya kepada tetangganya,” sebut Gus Faiz.


“Namun, dalam konteks keadaan saat ini dan yang akan datang di mana terjadi peningkatan jumlah jamaah, pernyataan ini layak dipertimbangkan, diteliti dan didialogkan,” tandasnya.


Meski harus dikaji lebih mendalam, pandangan Gus Faiz mendapat apresiasi dari peserta seminar yang hadir. Mereka menilai lontaran ide tersebut menarik dan realistis untuk kondisi dunia Islam saat ini.


Direktur Bina Haji Arsad Hidayat mengatakan bahwa pihaknya akan menindaklajuti wacana yang dilontarkan Gus Faiz untuk dibahas dalam forum Bahtsul Masail Perhajian yang melibatkan seluruh ormas Islam, baik Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan lainnya.


Sebagai informasi, Gus Faiz hadir sebagai representasi ulama dari madzhab Syafii. Ia juga menyampaikan rekomendasi Mudzakarah Perhajian yang berlangsung di Situbondo pada Desember 2022, khususnya terkait perlunya perbaikan tata kelola penyembelihan/pembayaran hewan dam.


Selain Gus Faiz, hadir pula Syamsul Anwar dari Muhammadiyah, Syekh Syauqi bin Ibrahim dari Mesir, Syekh Quthub bin Mushthafa, Syekh Ali bin Abdirrahman dari Turki, Syekh Yusuf Bel Ma’hady dari Aljazair, dan Syekh Said bin Nasheer dari Arab Saudi.  Kegiatan ini diikuti juga oleh perwakilan dari 70 negara.


Editor: Syakir NF