Kemenangan Joe Biden atau Donald Trump dan Pengaruhnya bagi Timur Tengah
Kamis, 5 November 2020 | 14:00 WIB
Jakarta, NU Online
Pemilihan Presiden Amerika Serikat dengan kandidat Joe Biden (Partai Demokrat) dan Donald Trump (Partai Republik) menuju detik-detik perhitungan akhir. Untuk saat ini, Capres Joe Biden yang didampingi Cawapres Kamala Harris sementara mengungguli Donald Trump dengan 264 electoral votes (suara elektoral), sedangkan pasangan Donald Trump-Mike Pence sementara mendapat 214 electoral votes.
Secara total ada 538 suara elektoral yang diperebutkan kedua calon. Untuk memenangkan pilpres, dibutuhkan 270 suara elektoral. Dengan kata lain, Biden hanya butuh 6 electoral votes untuk bisa dinyatakan sebagai pemenang pilpres AS.
Pasangan pemenang Pilpres AS selalu dihubungkan dengan hubungan diplomatik dan situasi politik di kawasan tertentu, terutama pengaruh bagi negara-negara di Timur Tengah. Hal ini menunjukkan pengaruh besar AS terhadap negara-negara di dunia, termasuk di Indonesia.
Baca juga: Ibrahim Baycora, Kepala Polisi Muslim Pertama di Kota Paterson AS
Hampir semua negara di kawasan Timur Tengah, kecuali Iran, memiliki hubungan diplomatik dengan AS. Pengaruh AS kuat dalam beberapa isu, khususnya konflik Arab dan Israel.
Pertarungan Donald Trump-Mike Pence dan Joe Biden-Kamala Harris dinilai dapat mengubah situasi politik di Timur Tengah secara signifikan. Mulai dari nasib kesepakatan nuklir Iran, sampai isu bangkitnya otoritarianisme tak terkendali.
Mengutip CNN yang juga dikutip CNNIndonesia, kedua pihak memiliki pendekatan dan pandangan politik global berbeda. Contohnya terkait sanksi terhadap Iran yang didorong oleh Trump. Sedangkan Biden berjanji akan mengembalikan perjanjian nuklir yang ditetapkan bersama Barack Obama pada 2016 lalu.
Biden juga menjanjikan dorongan pemberhentian otokrasi dan pelanggaran hak asasi manusia yang mulai marak di Mesir hingga Arab Saudi, sikap yang tidak dilakukan Trump. Selama masa menjabat, ia malah dinilai menyebabkan dan membiarkan otoritarianisme menjamur di Timur Tengah.
Baca juga: Tit for Tat Amerika-Iran
Otoritarianisme di Arab Saudi dan Mesir
Trump mendorong pengangkatan Pangeran Mohammed bin Salman atau MBS menjadi Putra Mahkota di Arab Saudi, meskipun MBS dikenal lantang membasmi perbedaan pendapat dengan memenjarakan sejumlah aktivis, termasuk pembela hak perempuan.
Salah satunya dialami Loujain al-Hathloul, aktivis hak perempuan yang dikriminalisasi karena menentang larangan perempuan mengemudi. Pada Mei 2018, ia ditangkap karena dituding berusaha mengguncang Kerajaan.
Yang paling ramai terkait kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi di Konsulat Saudi di Istanbul pada 2018 lalu. Selama masa kariernya, Khashoggi gencar mengkritik Kerajaan. Penyelidikan atas pembunuhan tersebut diselimuti isu keterlibatan MBS.
Langkah Trump dikritik Biden. Jika memenangkan pilpres kali ini, ia berjanji akan menilai ulang hubungan AS dengan Arab Saudi.
Baca juga: Sumbul Siddiqui, Muslimah Pertama yang Jadi Wali Kota Cambridge-AS
"Saya akan membela hak para aktivis, pembangkang politik, dan jurnalis di seluruh dunia untuk mengutarakan pikiran mereka secara bebas tanpa takut akan penganiayaan dan kekerasan," ujar Biden bulan lalu di hari peringatan meninggalnya Khashoggi.
"Kematian Jamal tidak akan sia-sia, dan kita berutang pada ingatannya untuk berjuang demi dunia yang lebih adil dan bebas," ucap dia.
Biden juga berjanji akan mengakhiri dukungan AS dalam peperangan di Yaman yang telah merenggut setidaknya puluhan ribu nyawa dan memicu wabah penyakit hingga kelaparan.
Meski begitu, janji ini tak sepenuhnya sesuai dengan langkah yang dilakukan Biden ketika menjadi wapres bersama Presiden Barack Obama. Kala itu AS menjual miliaran dolar senjata untuk Arab Saudi dan melakukan pemboman terhadap Yaman.
Menurut catatan sejarah, Gedung Putih di bawah Obama-Biden juga tak banyak melakukan upaya yang berarti untuk meredam monarki absolut Arab Saudi, meskipun MBS sudah dinilai mendorong pelanggaran hak di Kerajaan sejak saat itu.
Baca juga: Nasib Perdamaian Dunia di Tengah Ketegangan Iran dan AS
Kontroversi lain mencuat terkait dukungan Trump terhadap Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi. Pada pertemuan G7 di Biarritz, Prancis pada 2019 lalu, Trump menyebut Sisi sebagai "diktator favorit"nya.
Kepemimpinan Sisi sendiri bermula dari kudeta pada 2013 lalu yang menjatuhkan Presiden Mesir Mohamed Morsy yang terpilih secara demokratis. Mantan menteri pertahanan itu dikenal memimpin Mesir secara otoriter.
Di mana militer memiliki kekuasaan yang tak terkendali, pemilihan umum tidak dilakukan secara bebas dan adil, serta penerapan pemenjaraan, penyiksaan, pembongkaran rumah, penghilangan paksa, kekerasan seksual hingga pembunuhan terhadap pengkritik negara.
Salah satu kasus yang dinilai menjadi bukti kuat dari otoriterisme di Mesir adalah meninggalnya aktivis LGBTQ Sarah Hegazi. Hidupnya berakhir karena bunuh diri seiring perjuangan melawan depresi setelah diduga menjadi sasaran pelecehan seksual dan fisik di penjara. Hegazi ditahan karena mengibarkan bendera pelangi di sebuah konser tahun 2017.
Israel-Palestina
Perjanjian damai antara Israel dengan negara-negara di Timur Tengah yang diprakarsai Trump pada awal 2020 dinilai sebagai salah satu capaian yang menentukan.
Perjanjian yang bertujuan menyelesaikan konflik Israel-Palestina itu merupakan kesepakatan pertama yang berhasil dibahas negara-negara terkait dalam dua dekade terakhir.
Kendati begitu, Palestina mencap perjanjian itu sebagai pengkhianatan karena mengabaikan Inisiatif Perdamaian Arab tahun 2002 yang menginstruksikan penarikan Israel dari wilayah Tepi Barat, Gaza, Dataran Tinggi Golan dan Lebanon.
Langkah Trump yang secara sepihak mendukung klaim Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan legitimasi permukiman di Tepi Barat yang dianggap ilegal di bawah hukum internasional juga dinilai merusak negosiasi dengan Israel.
Baca juga: Gus Yahya: Pemakzulan Trump Tak Berdampak Apa pun pada Dunia Islam
Sedangkan Biden menyebut pendekatan Trump terhadap Israel dan Palestina sebagai upaya yang menentang unilateralisme. Ia berjanji akan mendorong pendekatan serupa dengan Inisiatif Perdamaian Arab dalam menangani konflik ini.
"Biden menentang langkah sepihak oleh kedua belah pihak yang merusak solusi dunia negara," demikian pernyataan di situs kampanyenya.
Jika terpilih, ia berjanji akan mengembalikan dukungan ekonomi dan kemanusiaan kepada Palestina, membuka kembali misi Organisasi Pembebasan Palestina di Washington, dan membuka Konsulat AS untuk Palestina di Yerusalem.
Kendati begitu, rencana ini bisa jadi dihadang dengan pendukung vokal Israel di Washington. Biden pun sesungguhnya punya resolusi akhir yang serupa dengan Trump terkait masalah Israel-Palestina. Hanya saja ia tak setuju dengan pendekatan yang digunakan Trump dalam menyelesaikan polemik ini.
Perjanjian dengan Iran
Biden mengaku akan mengembalikan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), kesepakatan nuklir dengan Iran di era Obama yang ditarik secara sepihak oleh Trump pada Mei 2018.
Sejak itu sanksi AS yang berperan besar dalam ekonomi Iran kembali diterapkan. Industri di AS dilarang menjual pesawat dan suku cadang ke perusahaan penerbangan Iran. Sanksi embargo kesepakatan dengan negara AS kepada Iran juga ditetapkan.
"Jika Iran kembali memenuhi kewajiban nuklirnya, saya akan masuk kembali ke JCPOA sebagai titik awal untuk bekerja bersama sekutu kami di Eropa dan kekuatan dunia lainnya untuk memperpanjang batasan kesepakatan nuklir," kata Biden kepada Kode Aturan Federal (CFD).
Janji Biden ini dinilai menjadi alasan di balik penolakan Iran kembali berunding dengan Gedung Putih di bawah kepemimpinan Trump. Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif berulang kali mengatakan pihaknya tidak akan lagi berunding dengan Trump.
Baca juga: Ilhan Omar, Muslimah yang Memulai Gelombang Kritik Israel di Amerika Serikat
Namun situasi ini akan sulit jika Trump kembali terpilih. Iran mau tak mau harus menerima tawaran perundingan Trump berkaca pada tantangan ekonomi yang dijalani empat tahun terakhir.
Krisis semakin menghantam Iran dengan adanya pandemi Covid-19. Survei Pemuda Arab tahun ini menemukan mayoritas pemuda Arab di negara bagian yang dilanda krisis mendukung protes anti pemerintah. Sedangkan setengahnya mempertimbangkan meninggalkan negara mereka.
Intervensi agresif dan ceroboh AS dinilai mendorong pemerintahan yang korup di negara-negara seperti Irak. Hal ini kemudian mendorong ketidakpercayaan rakyat di negara tersebut terhadap pemerintah yang dianggap tak mumpuni mengurus negara.
"Secara keseluruhan, kebijakan luar negeri Amerika belum terlalu berhasil," kata Rami Khouri, rekan senior non-residen di Harvard Kennedy School.
"Tahun-tahun (kepemimpinan) Trump hanya membuat kebijakan Timur Tengah Amerika yang buruk menjadi lebih buruk."
Langkah AS di Timur Tengah memang tak banyak meninggalkan impresi bagus bagi rakyat setempat. AS dinilai memiliki peran terhadap ragam konflik di sana, seperti perang di Yaman, Libya dan Suriah. Sementara rakyat di Timur Tengah masih mengharapkan perubahan drastis yang bisa di bawah Gedung Putih di masa depan.
Pewarta: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon