Ketua PBNU Sampaikan Gagasan Islam Nusantara di Forum Tiongkok-ASEAN
Ahad, 9 November 2025 | 08:00 WIB
Ketua PBNU Ahmad Suaedy saat menghadiri Forum Lembaga Administrasi dan Think Tank Tiongkok-ASEAN yang berlangsung di Nanning, Guangxi, pada 2 November 2025.
Guangxi, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sekaligus Dekan Fakultas Peradaban Islam (FIN) Universitas Nahdlatul Ulama (UNUSIA), Ahmad Suaedy, menghadiri Forum Lembaga Administrasi dan Think Tank Tiongkok-ASEAN yang berlangsung di Nanning, Guangxi, pada 2-4 November 2025.
Forum ini diselenggarakan oleh Akademi Tata Kelola Tiongkok dan mempertemukan perwakilan akademi administrasi serta lembaga pemikir dari negara-negara ASEAN.
Dalam kesempatan tersebut, Suaedy menyampaikan pidato utama bertajuk Islam Nusantara dan Bhinneka Tunggal Ika: Perspektif Harmonis untuk Perubahan Global.
Forum tahun ini mengangkat tema Tata Kelola Nasional dan Peradaban Asia yang berfokus pada pengalaman modernisasi pemerintahan di kawasan Asia dalam kerangka nilai tradisi peradaban Timur. Dari Indonesia, hadir pula Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) Muhammad Taufiq.
Kehadiran Suaedy dalam forum ini mewakili Center for Sino-Nusantara Studies (CSNS) FIN UNUSIA. Dalam pidatonya, ia menegaskan peran sejarah dan pengalaman kebudayaan Indonesia, khususnya tradisi Nahdlatul Ulama yang menekankan nilai keragaman dan harmoni. Ia mengutip semboyan Bhinneka Tunggal Ika dari kitab Sutasoma karya Mpu Tantular abad ke-14, sebagai landasan etis untuk membangun koeksistensi yang damai di Asia.
“Umat manusia menghadapi ketidakpastian, tidak hanya dalam politik akibat perubahan geopolitik, tetapi juga dalam nilai-nilai inti kemanusiaan, yang juga terus berubah. Bangsa-bangsa dengan sejarah dan tradisi yang berbeda tetapi memiliki kepedulian yang sama juga dituntut untuk berkolaborasi guna berkontribusi secara kuat dan kolektif,” ujarnya.
Ia menyoroti peran peradaban Timur yang memiliki model kebijaksanaan dan pengetahuan sendiri, berbeda dari model pengetahuan Barat modern.
Menurutnya, Indonesia dengan sejarah panjang kerukunan antarsuku, agama, dan kerajaan, memiliki pengalaman penting dalam membangun harmoni sosial.
Ia menyebut kedatangan Cheng Ho ke Nusantara sebagai salah satu momentum persinggungan sejarah Islam Nusantara dan budaya Tionghoa.
“Kita harus bersama-sama mempelajari dan merenungkan pengalaman historis koeksistensi yang harmonis ini, dan melalui dialog hari ini, meneruskan tradisi saling pengertian dan keharmonisan antara Muslim Nusantara dan budaya Konfusianisme Tionghoa,” katanya.
Ia menegaskan bahwa spiritualitas dan agama di Indonesia tidak terpisah dari kehidupan sosial dan politik, melainkan menjadi bagian utuh dari struktur pemerintahan dan relasi masyarakat. Prinsip moderasi beragama menjadi dasar dalam membangun ruang keberagaman.
"Saya sangat yakin bahwa jika kita bekerja sama, membangun spiritualitas, agama, dan tradisi kita yang harmonis namun dinamis, kita dapat menempa kekuatan moral baru, kekuatan yang melampaui pola-pola egois dan monopoli yang telah mendominasi dunia di bawah hegemoni Barat selama berabad-abad," kata Suaedy.
Para peserta forum sepakat bahwa pertemuan ini menjadi langkah awal bagi penguatan dialog dan kerja sama antara PBNU, pemerintah daerah di Tiongkok, serta akademi administrasi di kawasan ASEAN. Forum ini membuka peluang kolaborasi lebih lanjut dalam bidang tata kelola, kebijakan publik, dan pertukaran pengetahuan antarlembaga.
Suaedy juga melakukan pertemuan dengan Wakil Presiden Eksekutif Akademi Tata Kelola Tiongkok, Xie Chuntao, serta sejumlah pemimpin Daerah Otonomi Guangxi Zhuang.
Forum ini diikuti oleh sejumlah tokoh dan akademisi di kawasan ASEAN, antara lain: Doan Minh Huan (Vietnam), Anggota Komite Sentral PKT sekaligus Wakil Direktur Tetap Akademi Politik Nasional Ho Chi Minh; Yu Hongjun (Tiongkok), Mantan Wakil Menteri Departemen Internasional Komite Sentral PKT; Clarita Reyes Carlos (Filipina), Direktur Eksekutif StratSearch Foundation; Choong Chee Keong (Malaysia), Wakil Presiden dan Profesor Senior Universitas Tunku Abdul Rahman; Soly Vannpok (Kamboja), Wakil Presiden Sekolah Administrasi Kerajaan; Khambay Malasing (Laos), Dekan Fakultas Sosialisme Ilmiah NAPPA; Kyaw Soe (Myanmar), Rektor Akademi Layanan Sipil; Christopher Pragasam (Singapura), Direktur Eksekutif CSC International, Civil Service College; Kovit Puang-ngam (Thailand), Direktur Kantor Keterlibatan Sipil dan Inklusi Politik King Prajadhipok’s Institute.