Lebih dari 100 Ribu Anak Rohingya Lahir di Kamp Pengungsian
Kamis, 27 Agustus 2020 | 08:00 WIB
Save the Children memperkirakan, setidaknya 108.037 anak Rohingya lahir kamp pengungsian di Bangladesh dan Myanmar. (Foto: Reuters)
Cox’s Bazar, NU Online
Lembaga advokasi anak-anak, Save the Children, melaporkan bahwa setidaknya 108.037 anak-anak Rohingya telah lahir di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh dan Myanmar dalam beberapa tahun terakhir.
Untuk menandai tiga tahun eksodus lebih dari 730 ribu etnis Rohingya ke Bangladesh, Save the Children menganalisa data populasi dari kamp-kamp pengungsian di Bangladesh sejak 2017 dan dari kamp-kamp pengungsian di negara bagian Rakhine, Myanmar sejak 2012 lalu.
“Mereka hidup di kondisi yang tidak layak untuk anak-anak, dengan akses yang terbatas pada sektor pendidikan dan kesehatan, tidak ada kebebasan untuk bepergian atau kewarganegaraan, dan hampir sepenuhnya bergantung pada bantuan,” demikian laporan Save the Children dilansir dari laman lembaga advokasi anak itu, Selasa (25/8).
Merujuk data badan PBB yang mengurusi pengungsi, UNHCR, dari Cox’s Bazar hingga 31 Mei 2020, Save the Children memperkirakan bahwa saat ini ada 75.971 anak di bawah tiga tahun di kamp-kamp pengungsi di Cox's Bazar. Jumlah tersebut merupakan 9 persen dari total populasi pengungsi di wilayah itu.
“Sebagian mereka lahir setelah ibu mereka melarikan diri dari Myanmar,” lanjutnya.
Masih menggunakan data UNHCR dari Myanmar hingga Desember 2019, Save the Children memprediksi bahwa ada 32.066 anak Rohingya di bawah tujuh tahun yang tersebar di 21 kamp pengungsian. Jumlah itu mewakili 25 persen dari total populasi pengungsi.
“Kami mengajari anak-anak kami untuk bermimpi yang besar, tapi bagi seorang anak yang tidak mengetahui apa-apa selain kamp pengungsian, banyak dari harapan dan cita-cita mereka sepertinya berada di luar jangkauan,” kata Direktur Save the Children Bangladesh, Onno van Manen.
Manen menyebut, rakyat dan pemerintah Bangladesh menyambut para pengungsi ketika mereka melarikan dari kampung halamannya, Myanmar, setelah mendapatkan persekusi. Akan tetapi, pihaknya tidak lagi mendekati solusi berkelanjutan untuk krisis pengungsi ini setelah tiga tahun berlalu.
“Anak-anak dan keluarga Rohingya harus dapat kembali ke rumah mereka di Myanmar secara sukarela dan dengan cara yang aman dan bermartabat,” katanya.
Dia mendorong para pemimpin—terutama yang memiliki kedekatan dengan Myanmar- agar melakukan segala upaya untuk menyelesaikan krisis Rohingya. Sebab, pihaknya tidak bisa membiarkan anak-anak menghabiskan seluruh masa kecilnya di dalam kurungan.
Pada Selasa, 25 Agustus 2020, Para pengungsi Rohingya menggelar aksi diam di kamp pengungsian. Aksi tersebut merupakan peringatan tiga tahun mereka melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh setelah tentara Myanmar melakukan operasi militer pada 25 Agustus 2017 lalu. Operasi tersebut membuat lebih dari 730 ribu etnis Rohingya terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka dan mengungsi di Bangladesh. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut tindakan militer Myanmar itu sebagai ‘pembersihan etnis’. Otoritas Myanmar menolak tuduhan itu.
Pewarta: Muchlishon
Editor: Fathoni Ahmad