Makan Daun, Cara Warga Sudan Selatan Bertahan Hidup dari Kelaparan
Ahad, 30 Mei 2021 | 15:15 WIB
Jakarta, NU Online
Krisis kelaparan kembali menerpa warga negara Sudan Selatan. Kondisi miris tersebut disiasati oleh masyarakat dengan memakan daun dan buah-buah liar untuk bertahan hidup.
Dikutip dari Anadolu, Ayen Madit, ibu tujuh anak berusia 40 tahun, mencoba bertahan hidup hanya dengan mengonsumsi daun-daunan dan buah-buahan liar saat kerawanan pangan memburuk di wilayah Bhar El Ghazal Utara, Sudan Selatan.
Madit, seorang penduduk Araith Payam dari Aweil North, mengatakan orang-orang memakan daun yang mereka temui, karena tidak punya pilihan lain untuk sekadar mengusir kelaparan.
Dia mengatakan, sekelompok wanita pergi ke hutan dari jam 8 pagi hingga 3 sore. Mereka mencari buah-buahan liar dan daun pohon untuk memberi makan keluarga.
“Kami pergi berkelompok mencari daun pohon dan buah-buahan liar. Meninggalkan anak-anak kami untuk tinggal di rumah tanpa apapun yang bisa dimakan. Mereka hanya makan di malam hari saat kami kembali dari hutan,” kata Madit.
Northern Bhar El Ghazal adalah satu dari sedikit daerah yang terhindar dari konflik lebih dari enam tahun yang meletus pada Desember 2013.
“Kami mengorbankan hidup kami untuk anak-anak agar mereka bisa makan,” kata dia.
Memang tidak ada makanan yang cukup untuk dimakan. Beberapa anaknya pun mengalami diare setelah makan daun. Diungkapkan Madit, karena kepahitan daun pohon Lalop, yang sering ditemui di hutan, mereka sering kelaparan.
Dia mendesak pemerintah dan lembaga kemanusiaan segera memberikan bantuan untuk menyelamatkan penduduk dari situasi tersebut.
“Warga Sudan Selatan, kami benar-benar menderita dan membutuhkan pemerintah untuk menyelamatkan kami. Kami masih berharap pemerintah bisa menyelamatkan kami dari situasi mengerikan ini,” kata Madit.
Madit dan warga Sudan Selatan lainnya hidup dalam kondisi tersebut tanpa jatah makanan dari pemerintah maupun badan dunia. Badan-badan PBB baru-baru ini memperingatkan bahwa 7,24 juta warga Sudan Selatan di ambang bencana kelaparan karena kerawanan pangan memburuk akibat banjir, konflik, dan virus korona.
Di sisi lain, Program Pangan Dunia (FAO) pada April telah mengurangi jatah makanan sebesar 50 persen, memengaruhi 700.000 pengungsi Sudan Selatan.
Kondisi krisis tersebut dikarenakan konflik yang tidak berkesudahan. Pada 2014, Desa Reke yang dihuni 3.000 pengungsi kasus konflik antara pemerintah dan pemberontak dalam ambang bencana kelaparan. Keadaan makin parah pasca hujan besar yang menghentikan semua bantuan makanan ke daerah tersebut.
Lebih dari 1,5 juta jiwa kehilangan tempat tinggal karena konflik itu. PBB telah memperingatkan Sudan Selatan akan bencana kelaparan yang menimpa akhir atau awal tahun depan. Dengan musim hujan yang melanda daerah tersebut banyak jalan yang harus ditutup dan pengantaran makanan dari World Food Programme (WFP) menjadi terganggu.
Saat itu warga di desa Reke bertahan hidup dengan konsumsi teratai dari sungai terdekat. Biji bunga teratai dikumpulkan, ditumbuk, dan dicampurkan dengan air lalu dibuat menjadi hidangan. Beberapa kilometer dari Reke, terdapat klinik untuk merawat anak yang menderita malnutrisi parah.
Kondisi serupa juga terjadi pada 2017, warga desa di Sudan Selatan makan daun dan persediaan biji-bijian lantaran tidak mendapat makanan. Kabar itu dilaporkan kelompok pekerja kemanusiaan Dewan Pengungsi Norwegia (NRC) kemarin.
NRC menuturkan, penduduk desa di kawasan Aweil, sebelah utara Sudan Selatan, kini dilanda bencana kelaparan. Wilayah itu selama ini belum dinyatakan sebagai darurat kelaparan sementara dua kawasan lainnya sudah.
Sekitar 100 ribu orang di wilayah Leer dan Mayendit kala itu mengalami kelaparan dan NRC memperingatkan angka itu akan bertambah jadi jutaan dalam beberapa bulan lagi.
Pewarta: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon